Friday 30 September 2016

Apa Sebenarnya Hukum Menonton Film Porno Menurut Fikih Islam ?

hukum menonton film bokep, hukum menonton film porno, hukum menonton bf
Tanya : Apakah hukumnya menonton film porno atau blue film (BF)? (Bu Titi, Semarang) 

Jawab : Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya membawa pengaruh positif bagi kehidupan manusia. Teknologi sangat tergantung pada bagaimana cara menggunakannya. Selain dapat digunakan untuk kebaikan, dapat juga untuk kejelekan. Salah satu gejala yang sangat memprihatinkan dewasa ini adalah makin mudah akses terhadap perangkat maupun alat hiburan yang tidak layak dilihat.

Manusia oleh Allah Swt. dilengkapi dengan 3 (tiga) potensi, al-quwa al-a qliya (daya intelektual), al-quwa al-syahwiyah (nafsu, syahwat), al-quwa al-ghadhabiah (emosi). 

Karena nafsu, manusia tertarik kepada lawan jenisnya. Sifat ini adalah alamiah dan sesuai dengan kodratnya. Karenanya nafsu tidak harus dihilangkan secara total. Sebab hal itu tidak mungkin. Dan sama dengan makhluk hidup lainnya, manusia dituntut untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan di muka bumi ini. Dan ini dapat dilakukan dengan kecenderungan untuk tertarik dengan lawan jenis tersebut.

Bisa kita bayangkan kalau manusia tidak mempunyai nafsu untuk makan dan minum maupun keinginan s*ksual, niscaya sudah lama punah atau mati, dan tidak lagi berkembang biak seperti sekarang. 

Namun nafsu (s*ksual) tidak lantas boleh dipuaskan sesuka hati, apalagi dengan perilaku s*ks bebas. Sebab dampak yang diakibatkan dan s*ks menyimpang itu tidak kalah negatif. 

Untuk menghindari semua itu, Islam mengambil jalan tengah dan mengatur cara penyaluran kebutuhan biologis tersebut sedemikian rupa lewat lembaga pernikahan.

Pernikahan dianjurkan, bahkan terkadang wajib dan termasuk sunah nabi. Sebaliknya, sistem kependetaan (rahbaniyah) yang menganulir kebutuhan biologis tersebut sangat dikecam dan dilarang. Demikian pula mengumbar hawa nafsu tanpa aturan dan ikatan yang jelas (zina) juga merupakan hal yang diharamkan agama. 

Status hukum zina, semua kaum muslimin sudah maklum yaitu haram. Keharaman zina termasuk al-ma‘lum min ad-din bi adh-dharurah, suatu hal yang sangat jelas dan gamblang dalam agama.

Sehingga, bila ada yang mengingkari kenyataan ini bisa berakibat fatal. Sebab secara tidak langsung hal ini berarti mengingkari pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis atau ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. 

Hanya yang sering kurang dipahami, pengharaman zina itu tidak terbatas pada melakukan zina secara langsung, melainkan menetapkan hal-hal yang bisa menjerat atau mendorong orang ke arah perzinahan (muqaddimah az-zina). 

Menarik sekali ketika Al-Quran melarang zina. Redaksi yang dipakai, “janganlah kalian semua mendekatinya,” sebagaimana termaktul, dalam Al-Quran :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al sra’: 32) 

Jadi, bukan “janganlah melakukan zina.”. Dengan demikian yang diharamkan dalam ayat tersebut bukan hanya zina, melainkan juga mendekatinya.

Pengharaman mendekati zina secara otomatis (al-mahfum bi al-aula) membawa konsekuensi pengharaman zina.

Perbuatan-perbuatan yang potensial mendekatkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan zina, jumlahnya banyak sekali. Misalnya melihat aurat orang lain (bukan istrinya) atau berduaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi. Termasuk di dalamnya melihat sesuatu yang mer*ngsang nafsu birahinya, di antaranya film p*rno (blue film atau film biru). 

Dalam satu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, sebagaimana termaktub dalam kitab Jawahir Al-Bukhari dinyatakan, melihat sesuatu yang membangkitkan gairah (an nazhar bi syahwah) dinamakan zina (zina mata) dan hukumnya haram. Menurut sebagian ulama, adanya pelarangan itu karena pandangan tersebut dapat mendorong seseorang untuk melakukan zina yang sesungguhnya.

Dalam fikih ada kaidah adz-dzarai, yang intinya adalah hukum suatu perbuatan itu terkait erat dengan akibat lanjutannya. Memang tidak selamanya melakukan perkara yang mendekati zina pasti akan berakibat pada perzinaan. Begitu pula tidak semua orang yang zina diawali dengan tindakan yang menjurus ke arah itu.

Dalam konteks ini, yang dititik beratkan adalah sikap kehati-hatian, dan langkah-langkah yang bersifat preventif atau pencegahan. Karena pada umumnya, satu kejadian itu ada proses dan tahapan-tahapan yang mendahuluinya, di samping situasi yang memang kondusif.

Begitu pula dengan zina. Dalam kenyataannya tidak secara tiba-tiba seseorang ingin melakukan tindakan asusila itu. Kebanyakan ada rangs*ngan-rangs*ngan (stimulus) yang datang dari dalam atau dari luar dirinya.

Perlu juga disadari, manusia itu bermacam-macam. Di satu pihak ada yang memiliki nafsu besar, ada pula yang sedang, dan ada pula yang kecil. Di pihak lain, ada yang mampu mengendalikan nafsunya dan ada yang justru sebaliknya. 

Yang jelas, bila nafsu sudah bergejolak dan membara, akan makin sulit dihindari. Kalau boleh diibaratkan dengan api yang membara, maka sangat sulit untuk dipadamkan. 

Karena itu, termasuk kebaikan tertinggi adalah sikap mujahadah an-nafsi, yaitu memerangi hawa nafsu. Bahkan, lebih berat daripada perang secara fisik. Sebab nafsu tidak terlihat menyatu di depan mata kita dan tidak pernah mati. Sedangkan mujahadah an-nafsi akan makin mudah bila kita tidak membangun nafsu itu sendiri.

Sebaliknya, akan makin sulit, bahkan mungkin menjadi tak terbendung lagi, jika nafsu telah demikian membara, sehingga membutakan akal pikiran dan kesadaran kita. Apalagi jika tidak dilandasi dengan iman dan takwa yang kuat serta pemahaman ajaran agama secara memadai, maka kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang nantinya akan menjadi aib ini semakin menjadi-jadi.

Akibat negatif film-film p*rno, sudah sering dimuat di media rnassa. Ada anak kedil yang masih duduk di bangku SD melakukan hubungan s*ksual setelah melihat film tersebut. Itu hanya salah satu contoh kasus, dan yang lain tentunya masih banyak.

Berangkat dari semua itu, hendaknya semua pihak menaruh kepedulian terhadap merebaknya film-film yang tidak layak ini. Masing-masing pihak sesuai kemampuan, wewenang dan tugasnya hendaknya diharapkan perannya untuk menanggulangi dampak buruk dari hal tersebut. Keluarga, masyarakat, sekolah dan aparat pemerintah serta keamanan, semua berkewajiban menanggulangi dekadensi moral khususnya perzinaan, yang salah satu faktor penyebabnya adalah merebaknya p*rnografi dalam berbagai bentuk.

Apakah Ilmu Sains Itu Bid'ah Menurut Fikih Islam ?

hukum ilmu sins
Tanya : Ada orang berpendapat pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran yang tidak bersumber dari syariah adalah bid’ah, kekejian atau kemusyrikan. Bagaimana dengan pengetahuan atau inspirasi tentang hakikat kebenaran yang bersumber dari sains, terutama ilmu pengetahuan ? Bukankah ilmu alam dapat memantapkan keimanan manusia tentang adanya Tuhan? (Agung Widiyoutomo, Magelang)

Jawab : Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh dengan memahami aspek-aspek apa saja yang dimuat dalam syariat, dan dengan cara bagaimana kebenaran atau pengetahuan itu didapat. 

Sumber ajaran Islam adalah wahyu yang terbuktikan dalam Al-Quran dan hadis. Ruang lingkup ajaran Islam dapat diketahui dari kedua sumber primer itu. Para pakar telah mengamati dengan seksama terhadap Al-Quran dan hadis menyimpulkan, ajaran Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa komponen. Yakni akidah (keyakinan atau kredo), ibadah dan akhlak, muamalah, jinayah, siyasah, munakahat, dan lain-lain. 

Sedangkan sumber kebenaran dari pengetahuan minimal ada 3 (tiga). Salah seorang kontemporer, Syaikh Al-Maraghi dalam tafsirnya -yang diberi nama sesuai pengarangnya Al Maraghi- menjelaskan, hidayah Allah diberikan lewat berbagai cara. Di antaranya hidayah diniyyah (petunjuk agama) yang bersumber dari wahyu. Selain itu juga ada hidayah ‘aqliyah, yakni petunjuk atau kebenaran yang diperoleh dengan akal pikiran. Ada pula hidayah inderawi lewat pancaindera.

Kalau hidayah yang pertama hanya dimiliki manusia-manusia tertentu (nabi dan rasul) yang memang telah ditunjuk dan dipilih Allah, maka hidayah kedua dan ketiga bisa dinikmati oleh semua orang yang sehat jasmani dan rohaninya. Selain itu hidayah dapat diperoleh dari mimpi, ilham, kasyf, dan lain-lain. 

Melihat ruang lingkup ajaran Islam dan bervariasinya sumber hidayah (petunjuk) tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan tidak semua hal telah dibahas secara tuntas dalam Al-Quran dan hadis, misalnya sains dan teknologi. Syariat -atau lebih tepatnya Al Quran dan hadis- sebagai sumber kebenaran adalah benar tetapi tidak satu-satunya. 

Manusia dengan akal pikirannya mampu menemukan kebenaran. Namun perlu disadari tidak semua masalah mampu dipecahkan dengan akal semata. Bagaimanapun juga kapasitas akal ada batasnya. Sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat membuktikan hal itu. Berapa banyak ilmuwan dan fiosof yang pendapatnya saling bertentangan. 

Selain itu banyak teori yang secara mapan dianut banyak orang, suatu ketika dikritik bahkan dibatalkan generasi sesudahnya. Pendapat seseorang dalam masalah yang sama sering berubah-ubah dan tidak bertentangan sesuai dengan perkembangan informasi dan kematangan intelektualnya. 

Karena itu, benarlah pendapat yang menyatakan, akal itu laksana timbangan emas. Pendapat tersebut mengisyaratkan tidak semua masalah bisa diatasi dengan bantuan alat, sebagaimana tidak semua benda dapat diketahui beratnya dengan timbangan emas.

Berangkat dari itulah dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Allah menurunkan wahyu kepada nabi dan rasul untuk menjelaskan perkara-perkara yang sama sekali di luar akal (fauq al-’aql) atau dapat dicapai dengan akal, tetapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang. Padahal informasi tentang hal itu sangat urgen (penting) untuk diketahui, misalnya informasi tentang Tuhan, metafisika, akhirat dan moral.

Berangkat dari kenyataan tersebut, dalam menyikapi suatu perkara kita mesti merujuk pada tiap-tiap sumbernya. Harus diadakan pemilahan antara bidang agama dan bidang akal. Dalam masalah-masalah yang memang menjadi otoritas agama, sudah tentu harus kembali kepada sumbernya, yaitu Al-Quran dan hadis. 

Demikian halnya, jika masalah tersebut termasuk dalam wilayah akal pikiran, kita dipersilahkan mendayagunakannya semaksimal mungkin. Intinya pada bidang agama sumbernya Al-Quran dan hadis. Dalam masalah duniawi termasuk di dalamnya sains dan ilmu pengetahuan adalah akal. 

Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya: “Kalian lebih mengetahui urusan duniamu sendiri.”

Jelas sekali, Rasulullah dalam masalah duniawi menyerahkan sepenuhnya kepada manusia dengan catatan tidak menyimpang dari syariat Islam. 

Berkaitan dengan ilmu pengetahuan, Islam merupakan agama yang paling menghargai akal pikiran. Banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan umatnya berpikir, dan bersikap kritis serta melarang taklid. 

Demikian pula halnya dengan hadis, Islam meninggikan derajat para ulama atau ilmuwan, dan memerintahkan umatnya mencari ilmu, baik ilmu agama maupun non agama yang bermanfaat bagi kehidupan. Dalam satu hadisnya Rasulullah Saw. menyuruh mencari ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Padahal Cina saat itu terkenal dengan industrinya, bukan pusat kajian agama. 

Memang dijumpai sejumlah ayat dalam Al-Quran yang membicarakan ilmu pengetahuan, misalnya, proses terciptanya alam semesta, tahapan-tahapan perkembangan janin, berputarnya bumi pada porosnya, madu mengandung obat dan lain-lain. Namun bukan berarti Al-Quran merupakan buku ensikiopedia ilmu pengetahuan yang memuat informasi yang mendetail tentang sains. 

Al-Quran adalah petunjuk bagi seluruh manusia untuk menggapai keselamatan di dunia dan akhirat. Al-Quran dengan menyinggung beberapa fenomena ilmiah, dimaksudkan untuk menunjukkan kebesaran Allah dan membuktikan Dia adalah pencipta alam semesta ini.

Bukankah setiap pencipta mengetahui proses dari karakter ciptaannya ? Lebih dari itu Al-Quran ingin menandaskan tidak ada pertentangan antara ayat Quraniyah dan ayat kauniyah, atau antara agama di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain. Sebab keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Swt.

Ilmu pengetahuan diperoleh manusia lewat pengamatan dan penyelidikan terhadap alam semesta, dengan kernampuan akal dan inderanya. Sebagai bukti, bangsa-bangsa yang maju dalam sains justru tidak pernah membaca Al-Quran dan hadis, sumber syariat.

Dengan demikian, sains dan ilmu pengetahuan yang bersumber dari akal pikiran dan pengamatan indera bukanlah bid’ah, atau kemusyrikan dan kekufuran. Bahkan sains dan ilmu pengetahuan diperintahkan Allah untuk dipelajari dan dikembangkan, karena berguna untuk meningkatkan kualitas hidup manusia sekaligus dapat mempertebal iman. Sebab ada sebagian kebesaran Allah yang hanya dapat diketahui lewat ayat-ayat-Nya. Ayat-ayat (tanda-tanda) itu ada yang berupa tulisan, tetapi ada pula yang berwujud hukum-hukum alam atau sunnatullah.

Apa Hukum Jual Beli Narkoba Menurut Fikih Islam ?

hukum menjual narkoba
Tanya : Bagaimana hukum jual beli narkoba ? Soalnya ada yang berpendapat yang dilarang cuma mengkonsumsinya. (Muhyiddin, Demak) 

Jawab : Akhir-akhir ini merebak sekali kampanye tentang bahaya narkoba yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, dengan memasang spanduk-spanduk dan iklan layanan masyarakat lewat televisi atau media cetak.

Aparat keamanan seperti diberitakan media massa, gencar melakukan penggerebekan pengedar narkoba dan menangkap pemakainya. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya narkoba, khususnya di kalangan generasi muda, pemilik masa depan dan penerus perjuangan bangsa. 

Sebelum membicarakan hukum jual beli narkoba, perlu ditegaskan terlebih dahulu narkoba sepenuhnya dilarang oleh agama (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 75-76). Hukumnya sama dengan minuman keras dalam bahasa Al-Quran disebut al-khamr. Baik narkoba maupun miras, keduanya sama-sama menghilangkan kesadaran dan membuat akal pikiran tidak berfungsi. 

Padahal akal pikiran adalah anugerah terbesar Allah kepada manusia, yang membedakannya dan binatang. Salah satu fungsi akal adalah pengendali moral. 

Nah, ketika akal tidak berfungsi, perbuatan menjadi lepas kontrol dan menimbulkan berbagai kesalahan. Karena itu, dalam literatur agama, miras dianggap “Ibu pelbagai keburukan/kejelekan” (ummu al-khaba‘its). Artinya, miras menjadi sumber berbagai tindakan negatif dan amoral. 

Memang, mengkonsumsi narkoba ada “manfaatnya” misalnya bisa merasakan kenikmatan saat mengalami ekstase. Karena tidak mungkin orang melakukan sesuatu yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Paling tidak menurut pikiran pelaku sendiri secara subjektif. 

Begitu juga dengan miras. Namun dibandingkan dengan kenikmatan sekejap yang dijanjikan, akibat negatif dan kerugian yang dialami jauh lebih besar secara fisik, mental intelektual dan sosial-ekonomi. Dalam Al-Quran, Allah mengakui adanya manfaat dan madharat dalam miras, pada surat Al-Baqarah :
Artinya: “Mereka bertanya tentang khamr dan judi, Katakanlah, Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. A1-Baqarah: 219) 

Kata dosa dalam ayat diatas (al-itsm) menunjukkan adanya dampak negatif. Karena dosanya lebih besar, berarti kerugiannya lebih besar juga. Allah tidak memerintahkan dan melarang sesuatu kecuali mengandung hikmah berupa jalb al-mashalih (memperoleh maslahah) atau daf’u al-mafasid (menolak mafsadah). 

Meskipun ayat tadi berbicara tenang miras/khamr, tetapi dapat diterapkan juga pada narkoba karena keduanya terdapat kesamaan, yakni madharatnya lebib besar daripada manfaatnya. 

Karena mengkonsumsi narkoba diharamkan, maka memperjualbelikannya juga dilarang (Madzahib Al-Arba‘ah. 5/39). Sebagaimana diterangkan literatur-literatur fikih, dalam masalah jual-beli terdapat persyaratan, benda yang diperjualbelikan harus bermanfaat menurut ukuran syara’ (Kifayah Al-Akhyar. I, h. 241)

Benda-benda yang diharamkan oleh agama, tidak termasuk dalam kategori bermanfaat. 

Ketentuan fikih diperkuat oleh hadis riwayat Imam Bukhari dan Jabir ra. bahwa Rasulullah hersabda : “Sesungguhnya Allah mengharamkan menjual khamr, bangkai, babi dan patung’.

Dari hadist ini, dapat disimpulkan segala sesuatu yang dilarang dikonsumsi oleh agama, tidak diperkenankan diperjualbelikan. (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam: 137) 

Agama menyuruh umatnya melakukan hal-hal positif dan menghindari yang tidak berguna, apalagi yang jelas-jelas merugikan. Salah satu kaidah fikih menyatakan adh-dhararu yuzal, segala hal yang negatif/membawa madharat harus dihilangkan atau dihindari. Tidak menjual narkoba termasuk perbuatan preventif sebagai upaya menghindari madharat.

Dari sisi lain, pelarangan jual-beli narkoba dapat pula dirujukkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengrjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Ma’idah: 2) 

Memang, pada dasarnya manusia dalam menjalani hidupnya membutuhkan kerja sama dan tolong menolong. Tetapi kerjasama itu tidak boleh dalam hal-hal yang dilarang oleh agama. Menjual narkoba pada orang lain dapat dimaknai sebagai sikap bekerjasama dengan orang itu dan membantunya melakukan dosa, seperti mengkonsumsi narkoba. Intinya, seperti kita dilarang melakukan dosa, dilarang pula membantu dalam bentuk apapun kepada orang lain untuk melakukan dosa itu.

Dengan kata lain, membantu orang lain melakukan dosa adalah dosa juga. (al-i’anah ‘ala al-itsm itsm) 

Dengan demikian, pendapat sebagian masyarakat yang menyatakan, “tidak apa-apa menjual narkoba asal tidak mengkonsumsi”, sama sekali tidak dibenarkan, begitu juga dengan minuman keras dan sejenisnya, yang meliputi semua produk atau barang yang dilarang oleh agama. 

Keharaman jual-beli narkoba membawa koksekuensi tidak halal keuntungan yang diperoleh darinya. Sesuai dengan sabda Rasulullah dalam hadis riwayat dan Ibnu Abi Syaibah yang berasal dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Allah itu kalau mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula tsaman-ny.” (Madzahib Al-A rba‘ah, V, h. 41) 

Tsaman adalah sesuatu yang ditukar dengan benda yang dijual, berupa uang atau barang. Cuma sayang, orang sekarang cenderung tidak peduli apakah yang dimakan itu halal atau tidak. 

Dalam upaya memberantas narkoba, terdapat pertanyaan yang mendasar, sebenarnya orang menjual narkoba banyak yang membutuhkan/konsumen, ataukah konsumen itu banyak karena peredaran merebak ?. 

Saya kira keduanya bisa sama-sama benar. Sehingga, penanggulangannya harus dilakukan dengan dua jalur, yakni mengurangi konsumen dan membatasi peredaran secara simultan. Karena itu diperlukan kerja sama dan partisipasi dari semua pihak.

Sunday 25 September 2016

Apa Hukum Air PDAM Yang Berbau Obat Menurut Fikih Islam ?

hukum air berbau obat
Tanya : Air PDAM yang asalnya keruh lalu menjadi bening karena obat, apakah suci dan mensucikan ?Air tersebut berbau obat, apakah dapat untuk bersuci ?

Jawab : Sering saya kemukakan, hanya air yang suci dan mensucikan (thahir muthahir) yang dapat (sah) digunakan untuk bersuci, wudhu, mandi atau menghilangkan najis. Air thahir muthahir disebut juga air mutlaq.

Air yang dapat digunakan bersuci ada enam, yaitu air sumur, mata air, sungai, laut, hujan dan embun. Intinya, air yang keluar/ memancar dari bumi atau jatuh dari langit (ma naba-a min al ardh au nazala min as-sama). 

Selain air mutlaq adalah air thahir ghair muthahir dan najis. Air thahir ghair muthahir hukumnya suci, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci. Sedangkan air najis selain tidak bisa untuk bersuci, juga tidak boleh dikonsumsi. 

Air thahir ghair muthahir adalah air yang telah banyak mengalami perubahan rasa, warna maupun bau dari keadaannya semula, karena bercampur benda-benda suci. Sedangkan air najis adalah air yang kurang dari dua kulah (sekitar 193 kg) yang terkena najis, baik berubah maupun tidak, atau mencapai dua kulah dan berubah (Al-Fiqh Al-Manhajy bab thaharah).

Air yang telah berubah dapat menjadi air muthlaq bila perubahannya hilang dengan sendirinya atau karena jumlahnya diperbanyak (At-Tanbih pada pembahasan tentang air). 

Selanjutnya bagaimana dengan air PDAM yang berbau kaporit ? Bagaimana pula perubahan dari keruh menjadi bening karena pengaruh bahan kimia tertentu?

Untuk menilai apakah air seperti itu layak digunakan bersuci, tidak terlepas dari kondisi aslinya. Artinya, kalau diambil dari sumber air yang suci dan mensucikan, maka layak digunakan untuk bersuci. Perubahan bau akibat dicampur bahan kimia tidak bermasalah. Karena kadar perubahan itu sedikit.

Lain hal jika berasal dari air thahir ghair muthahir atau najis. Pemberian obat tidak bisa mengubah statusnya menjadi air muthlaq. Sebab, air yang najis atau thahir ghair muthahir hanya dapat menjadi air mutlaq jika perubahannya menjadi jernih kembali terjadi dengan sendirinya atau airnya diperbanyak. Bukan karena pengaruh bahan kimia atau benda lain. 

Intinya, bahan kimia yang dicampurkan tidak mempengaruhi status air yang semula.

Apa Hukum Pakaian Dari Kulit Atau Bulu Bangkai ?

hukum pakaian dari kulit bangkai, hukum pakaian dari bulu bangkai
Tanya : Bagaimanakah membuat pakaian dari bulu bangkai menurut ajaran Islam ? (Usro, Purwodadi)

Jawab : Kata bangkai dalam bahasa Indonesia memiliki kesepadanan dengan al-maitah dalam bahasa Arab. Menurut ahli bahasa (ahl al-lughah) sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi, kata itu merujuk pada pengertian “ma faaraqathu ar-ruh bi ghair dzakah” (makhluk hidup yang mengalami perpisahan jasad dengan roh tanpa melalui proses penyembelihan). 

Pengertian al-maitah ini tidak berbeda jauh dari pengertian lughawi-nya. Imam Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan, al-maitah itu “az-zaallah al-hayah bila dzakah syar ’iyyah” (hewan yang kehilangan hidup tanpa melalui proses penyembelihan yang sah berdasarkan syara). Definisi lain al-maitah itu “maa faaraqathu ar-ruh min ghair dzakah syar ‘iyyah mimma yudzbah” (Al Bajuri. I; 39, Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughah. II; 146).

Hewan dapat dipilah menjadi dua kelompok, halal dimakan (al-ma’kul), dan tidak halal dimakan (ghair al-ma’kul). Penyembelihan hanya berlaku untuk jenis yang pertama. Hewan haram dimakan, seperti anjing dan babi, penyembelihannya tidak membawa pengaruh apa-apa meskipun disembelih secara benar. Hukumnya tetap sama dengan bangkai, najis, dan tidak boleh dikonsumsi. Penyembelihan yang benar tidak bisa menghalalkan binatang yang sejak semula diharamkan oleh Syara. 

Dengan demikian bangkai itu; a). al-ma’kul yang mati tanpa proses penyembelihan; b). al-ma‘kul yang disembelih dengan cara yang tidak sesuai dengan syara’; c). ghair al-ma’kul yang mati. Tumbuh-tumbuhan dan benda mati bukan bangkai. Binatang yang halal dimakan yang mati akibat disembelih dengan cara yang dibenarkan syara’ juga bukan bangkai. 

Dalam Al-Quran, Allah Saw. Berfirman :
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi. dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. “ (QS. Al Baqarah: 173) 

Ayat ini secara eksplisit menjelaskan, bangkai termasuk salah satu benda yang diharamkan. Lalu timbul pertanyaan, apakah yang diharamkan ? 

Mayoritas ulama mengharamkan semua bentuk pemanfaatan al-intif’(bangkai). Tidak terbatas dengan memakan, tetapi juga menggunakan untuk hal-hal lain kecuali apabila ada dalil syar’i yang memperbolehkan (Rawai’ Al-Bayan. I; 160-164). 

Najis
Ketika Al-Quran mengharamkan bangkai, para ulama berusaha mencari alasan yang mendasari, yang dalam istilah ushul fikih disebut al-illah. Setelah mereka berijtihad diperoleh kesimpulan, alasannya itu najasah (najis). Jadi, bangkai haram karena najis. Status bangkai sebagai benda najis dapat kita lihat dalam kitab-kitab fikih pada pembahasan tentang kesucian (ath thaharah). 

Sebagai akibat ketika kita mengerjakan ibadah yang mensyaratkan kesucian seperti shalat, bangkai seharusnya dihindarkan dari badan, pakaian dan tempat shalat. 

Seperti kita maklumi, hewan terdiri atas beberapa unsur seperti daging, tulang, rambut dan bulu. Keempat unsur itu memiliki sifat berbeda-beda. Daging mengandung darah, membusuk, dapat tumbuh dan kalau dilukai terasa sakit. Tulang jika dilukai menyakitkan tetapi tidak membusuk, tidak berdarah dan tidak lekas hancur. Rambut dan bulu, dapat tumbuh tetapi tidak memiliki rasa sakit. 

Berdasarkan kenyataan itu, para ulama dalam menghukumi berbeda-beda. Semua ulama sepakat daging bangkai berhukum najis. Mengenai tulang dan bulu, mereka berbeda pendapat. Imam Syafi’i mengemukakan tulang dan bulu bangkai berhukum najis.

Tentang pandangan Imam Ahmad, terdapat dua riwayat yang bertentangan antara najis dan suci. Tetapi di kalangan pengikutnya ada perbedaan. Tulang berhukum najis, sedangkan rambut dan bulu tidak. Ulama Hanafiah menyatakan, rambut, tulang dan bulu bangkai berhukum suci. Menurut Imam Malik rambut itu suci, tetapi tulangnya najis. (Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah: I; 10-11). 

Perbedaan pendapat (khilaf) itu berakibat pada hukum untuk memanfaatkan hal-hal di luar konsumsi (dimakan), seperti bulu untuk pakaian. Ulama yang menganggap suci maka memperbolehkan. Sedangkan yang berpendapat najis, melarang menggunakannya. (Ahkam Al-Ath’imah fi Asy Syariah Al-Islamiyah; 374-375)

Dengan demikian, membuat pakaian dari bulu bangkai dalam madzhab Syafi’i tidak diperkenankan. Adapun bila bulu diambil dari hewan yang masih hidup, dibedakan antara hewan yang halal dan haram. Binatang yang tidak halal, bulunya juga najis. Sedangkan hewan yang halal, maka bulunya dthukumi suci. (Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. I; 9).

Apakah CD Dan Kaset Al-Quran Sama Dengan Mushaf ?

arti mushaf, definisi mushaf
Tanya : Seperti dimaklumi, sekarang ini banyak beredar CD dan kaset Al-Quran di tengah-tengah masyarakat. Padahal kita tahu, Al-Quran memiliki beberapa khususiyah (kekhususan). Salah satunya adalah tidak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar. Pertanyaan saya adalah : apakah CD atau kaset Al-Quran secara hukum disamakan dengan Al-Quran, sehingga untuk menyentuhnya diper1ukan berwudlu dulu ? (Nazar, Yogya)

Jawab : Pertanyan ini sangat menarik dan penting sekali. Sekarang, pada era komputer, penggunaan CD Al-Quran sudah banyak. Pemilik komputer yang memiliki CD Al-Quran, tidak hanya bisa menampilkan ayat-ayat Al-Quran di layar monitor, tetapi juga bacaan, dan terjemahan, lengkap dengan bermacam penafsiran para ulama yang dinukil dari berbagai kitab tafsir.

Jadi sangat praktis sekali. CD ini bisa diperoleh dengan mudah di toko dengan harga yang relatif murah. Tidak hanya Al-Quran, sekarang banyak pula CD yang berisi kitab-kitab keislaman dalam berbagai disiplin ilmu, seperti fiqh, tafsir, bahasa dan lain-lain. 

Penggunaan CD dan kaset Al-Quran menjadi masalah, lantaran Al-Quran atau lebih tepatnya mushaf sebagaimana diungkapkan penanya mempunyai beberapa khususiyah, atau keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab atau buku lain. Salah satunya adalah tidak boleh disentuh dalam keadaan tidak suci karena menyandang hadas kecil maupun besar. Berbeda dengan membacanya, yang tidak diperkenankan bagi penyandang hadas besar saja.

Larangan menyentuh mushaf dalam keadaan hadas, misalnya didasarkan pad.a sebuah kitab/surat yang ditulis Rasulullah dan ditujukan kepada Amru Ibnu Hazm, yang termaktub di dalamnya “la yamassu Al-Qurana illa thahir” artinya: tidak boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci.

Yang dimaksud orang suci (thahir) adalah orang yang terbebas dari hadas. Pelarangan ini, oleh penulis kitab Mausu‘ah Al-Ijma’ fi Al-Fiqh Al-Islami, dimasukkan ke dalam kategori permasalahan yang mujma’ ‘alaih, dalam artian telah disepakati hukumnya oleh para ulama. (Subul As-Salam. I, h. 70, Mausu’ah Al-Ijma’ fi Al-Fiqh Al-Islami. h. 878).

Definisi Mushaf
Kaset dan CD Al-Quran sudah barang tentu merupakan fenomena baru, yang belum terjadi pada zaman para ulama mengarang kitab-kitab fiqhnya.

Oleh karenanya, untuk memperoleh mengenai jawaban tersebut secara harfiyah/tekstual sangat sulit sekali. Apalagi sebagian ulama ada yang menghindari membicarakan persoalan yang belum terjadi (al-fardhiyyat).

Tetapi paling tidak, pertanyaan tersebut dapat diselesaikan dengan mengacu pada definisi mushaf. Apakah mushaf itu? Lalu apakah CD dan kaset Al-Quran dapat dinamakan mushaf ?

Penulis kitab I’anah Ath-Thalibin, mendefinisikan mushaf sebagai nama untuk kertas (al-waraq) yang ditulisi kalamullah. Sementara dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri disebutkan, bahwa mushaf adalah : nama sesuatu yang ditulisi kalamullah. Definisi ulama-ulama yang lain tidak berbeda dengannya. Dari dua definisi ini, dapat kita lihat bahwa tulisan merupakan faktor penentu, apakah sesuatu itu dinamakan mushaf atau bukan. (I’anah Ath-Thalibin, I, h. 66, Al-Bajuri, I, h. 144) 

Pada sisi lain, baik CD maupun kaset tidak memuat tulisan huruf Al-Quran. Dan dua premis tersebut maka muncullah satu natijah (konklusi) bahwa CD dan kaset Al-Quran bukan mushaf. 

Alasannya jelas, yaitu; tidak adanya tulisan Al-Quran. Karena bukan mushaf dengan sendirinya, menyentuhnya tidak diharuskan berwudlu terlebih dulu. 

Nampaknya CD atau kaset Al-Quran mempunyai persamaan dengan penghapal Al-Quran yang secara populer mendapat julukan al-hafizh. Orang yang hapal Al-Quran di luar kepala (bi al-ghaib), tidak dinamakan mushaf, misalkan mampu mengucapkan seluruh ayat Al-Quran mulai surat Al-Fatihah sampai An-Nas secara fasih. Sehingga kita dapat bersalaman dengannya dalam keadaan menanggung hadas sekalipun.

Terakhir, perlu juga diketahui, permasalahan tersebut dengan jawaban yang sama, pernah dibahas dalam Muktamar Nahdhatul Ulama ke-26 di Semarang, sebagai termaktub dalam kitab Ahkam Al-Fuqaha yang memuat semua hasil Muktamar dan Munas NU ke-1 s/d 29, yang diterbitkan oleh PP RML Ada baiknya kitab tersebut dimiliki, karena memuat beragam masalah dalam berbagai aspek kehidupan.

Saturday 24 September 2016

Kenapa Siwak Dianjurkan Dan Apa Hukum Bersiwak Menurut Islam

hukum bersiwak, dalil bersiwak,
Tanya : Kapan beisiwak dianjurkan ? (Abdul Kholiq, Jepara)
Jawab : Islam memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap kesehatan dan kebersihan. Kadar perhatian ini, misalnya terlihat jelas pada sebuah hadis :
Artinya : “Kesucian merupakan separuhnya iman.” (HR.Muslim)

Pengertian kebersihan dan kesucian yang dimaksud oleh Islam tentu sangat luas, yang mencakup kebersihan dan akidah yang salah, sifat-sifat yang tercela, serta tindakan-tindakan yang tidak terpuji.
Dalam istilah sufi, upaya penyucian itu disebut at-takhalli, yakni terbebasnya seseorang dari akhlak yang tercela dan dosa. At-takhalli selanjutnya disusul dengan at-tahalli, yaitu menghiasi diri dengan akhlak dan perbuatan yang baik. Setelah itu seorang akan mencapai at-tajailli.

Dengan demikian, Islam menekankan keseimbangan antara lahir dan batin, jiwa dan raga, material dan spiritual, dunia dan ukhrawi. Keseimbangan ini juga terwujud dalam masalah kebersihan. Sebagai agama, Islam tidak hanya memerintah umatnya membersihkan hati dan akhlak, tapi juga badan secara keseluruhan, yang salah satu caranya adalah dengan bersiwak (menyikat gigi) secara rutin. 

Sebenarnya bersiwak bukanlah perkara baru bagi umat Islam. Bukan 100 (seratus) atau 200 (dua ratus) tahun yang lalu mereka baru mengenalnya. Jauh sebelum itu, lebih dan 14 (empat belas) abad yang lalu Rasulullah Saw. telah memerintah umatnya untuk membiasakan diri bersiwak sebagai terlihat dalam banyak hadis, seperti termaktub dalam kitab Shahih Muslim: I; 24 dan Jawahir A1-Bukhar. 84.

Misalnya diriwayatkan dari orang tua Abu Burdah bahwa beliau pernah menemui Rasulullah Saw. dalam keadaan bersiwak. Bahkan tradisi bersiwak sudah dimulai Nabi Ibrahim as. (Al-Bajuri. I; 42).
Berangkat dari beberapa hadis tersebut, para ulama berkesimpulan bersiwak hukumnya sunah. Anjuran bersiwak berlaku kapan dan di mana saja kecuali bagi orang berpuasa setelah lingsir matahari (zawal) sampai terbenam. Bersiwak pada saat itu hukumnya makruh. Pengecualian ini berangkat dan sebuah hadis yang menginformasikan bahwa bau mulut orang berpuasa yang tidak sedap itu di sisi Allah lebih wangi daripada minyak misik. Jika Allah menyukai hal itu, sudah seyogyanya tidak dihilangkan. 

Sebenarnya masalah ini termasuk persoalan khilafiyah. Terbukti ada ulama yang tidak menghukumi makruh. (Al-Bajuri. I; 43). Meskipun secara umum bersiwak dianjurkan, ada waktu-waktu tertentu bersiwak lebih ditekankan daripada saat-saat yang lain.

Waktu yang sangat dianjurkan bersiwak adalah ketika hendak mengerjakan shalat sebelum berwudhu, membaca Al-Quran, hadis atau ilmu-ilmu syar’i, sebelum dan setelah tidur, dan ketika bau mulut berubah menjadi tidak sedap akibat makan bawang pete dan sejenisnya, atau karena diam terlalu lama.

Dari segi alat, menurut para ulama, segala benda kasar yang bisa menghilangkan kotoran yang menempel pada gigi dapat digunakan untuk bersiwak, seperti kayu arak (kayu siwak), dan kain.

Jadi bersiwak tidak harus menggunakan sikat atau pasta gigi seperti yang selama ini kita kenal. Kalau misalnya tidak mampu membeli pasta gigi, kita bisa bersiwak dengan kayu siwak yang banyak diperjual belikan atau meminta kepada orang yang pulang dari tanah suci Makkah.

Kayu itu sangat murah dan tidak membutuhkan pasta gigi. Jadi sangat praktis dan ekononus. Hasilnyapun tidak kalah dari sikat yang biasa kita pakai dengan pasta gigi sehari-hari. Para ulama tidak hanya membahas dari segi hukum bersiwak. Mereka juga menjelaskan faedahnya.

Sebagai termaktub dalam kitab Al-Iqna’. I; 214, dengan bersiwak kita mendapatkan beberapa keuntungan, memperoleh ridha Allah, melipatgandakan pahala ibadah, menjadikan gigi lebih putih dan bersih, menghilangkan bau mulut yang tidak sedap, memperkuat gusi, memperlambat tumbuhnya uban di kepala, punggung tetap lurus (tidak bengkok), menambah kecerdasan dan mempertajam penglihatan.

Karena itu, kalau umat Islam masih kurang memperhatikan masalah kesehatan khususnya bersiwak jelas hal itu lebih karena masih sempitnya pemahaman tentang ajaran agama, di samping keminiman kesadaran akan arti penting kesehatan secara umum akibat rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan.

Kebersihan merupakan salah satu masalah yang sangat ditekankan oleh Islam, tetapi kurang mendapat perhatian secara dengan semestinya oleh umatnya. Justru orang lain yang mengamalkan.

Apa Hukum Obat Memperlambat Atau Menghentikan Haid Saat Haji ?

hukum obat memperlambat haid, hukum obat menghentikan haid
Tanya : Menggunakan obat untuk mempercepat, menghentikan atau memperlambat datangnya haid untuk kepentingan haji bagi perempuan, bagaimana hukumnya ? 

Jawab : Sebentar lagi musim haji tiba. ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam. Berhaji wajib ditunaikan oleh setiap Muslim lelaki dan perempuan yang telah memenuhi kriteria istitha’ah (mampu melaksanakan). Seseorang dianggap telah mampu menunaikan haji bila telah memenuhi segala persyaratan kewajibannya. Di antaranya sehat, mempunyai bekal, dan keamanan terjamin. 

Haji memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Haji tidak sah bila salah satu dari rukun itu ditinggalkan. Kelima rukun itu adalah ihram (niat), wuquf di Arafah, thawaf ifadhah, sa’i dan mencukur rambut. Setiap rukun memiliki aturan pelaksanaan. Misalnya thawaf yang harus dikerjakan dalam keadaan suci dari hadas kecil dan besar. 

Permasalahannya,jika seorang perempuan di tengah-tengah menunaikan ibadah haji menjalani haid. Padahal perempuan haid tidak diperkenankan melakukan thawaf.

Karena itu, timbul pemikiran untuk mempercepat atau memperlambat kedatangan haid supaya tepat selama menunaikan ibadah haji dalam keadaan suci. Atau menghentikannya untuk sementara waktu.
Menurut para ulama, sebagai termaktub dalam kitab-kitab fikih, pada dasarnya menggunakan obat untuk kedatangan menstruasi hukumnya diperbolehkan. Imam Ramli dan kalangan Syafi’iyah menyatakan hal itu dalam kitab Nihayah A1-Muhtaj Syarah Al-Minhaj.

Pendapat ini tidak hanya dijumpai di kalangan Syafi’iyah. Imam Ahmad, pendiri Madzhab Hanbalj, dalam kitab Al Mughni berkata: “Tidak apa-apa seorang perempuan minum obat untuk menghentikan haid.” Demikian halnya dalam Madzhab Maliki. 

Sudah barang tentu dalam rangka pemakaian obat tersebut, penting untuk dipertimbangkan dampak-dampak negatif yang mungkin timbul. Untuk itu konsultasi dan rekomendasi dokter ahli diperlukan, supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak dimginkan. 

Sudah barang tentu, haji perempuan pemakai obat tersebut hukumnya sah. Yang penting dia pada saat menjalankan thawaf dalam keadaan suci. Apakah kesuciannya terjadi secara alamiah atau akibat rekayasa dengan meminum obat, tidak dipermasalahkan. 

Di sini perlu juga dicamkan, bahwa thawaf merupakan satu-satunya rukun haji yang menuntut kesucian. Dengan demikian, rukun-rukun selain thawaf bisa dilaksanakan dalam kondisi haid. Sebenarnya ada alternatif lain untuk menghadapi masalah tersebut. Yang sangat sederhana adalah menunda thawaf sampai haid berhenti mengalir. Hal ini sangat dimungkinkan karena thawaf waktunya sangat longgar, tidak seperti wuquf di Arafah. Lagi pula, pada umumnya haid rata-rata berlangsung berkisar 6 (enam) sampai 7 (tujuh) hari. Bahkan ada yang hanya sehari semalam. 

Selain itu kadang-kadang darah haid tidak mengalir terus-menerus. Ada perempuan yang haidnya terputus-putus. Misalnya sehari mengeluarkan lalu sehari berhenti, kemudian keluar lagi. Perempuan yang demikian dapat menjalankan thawaf ketika darahnya berhenti. 

Karena untuk melakukan thawaf tidak memerlukan waktu yang lama. Seperti dimaklumi, thawaf adalah mengitari Ka’bah 7 (tujuh) kali. Sebab, menurut pendapat Imam Syafi’i, ketika darah tidak mengalir (al-naqa) status perempuan adalah suci. 

Alternatif lain, sebagaimana dikatakan Syekh Jadul Haq Ali Jadul Haq dalam kitab Ahkam As-Syan’ah Al-Islamiyah fi Masail Thibbiyah ‘an Al-Amrad An-Nisafiyah halaman 20. Dengan menunjuk pada kitab Fath Al-Aziz karangan Imam Rafi’i bahwa thawaf perempuan yang haid dapat digantikan orang lain yang telah selesai melakukan thawaf untuk dirinya. ini dilakukan bila tidak dimungkinkan bagi perempuan tersebut berada di Makah sampai haidnya berhenti.

Apa Hukum Istinja' Dengan Tisu (Hukum Cebok Dengan Tisu) Menurut Fikih Islam ?

hukum cebok dengan tisu, hukum istinja dengan tisu
Tanya : Kiai Sahal, kami ingin tanya masalah najis. Kalau saya pergi ke kota-kota besar, terus terang saya yang santri ini jadi repot. Seperti di Tunjungan Plaza, kalau kita pergi ke toilet,. di WC-nya tidak disediakan air untuk cebok. Hanya ada tissue. Bisakah tissue yang memang kasar itu, diqiyaskan dengan batu ? (Munir, Pasuruan). 

Jawab : Seperti sering saya ungkapkan pada edisi-edisi dialog sebelumnya, Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan masalah kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan pernyataan an-nazhafatu min al-iman, kebersihan merupakan bagian dari iman, atau ath-thuhuru syatr al-Iman, kesucian merupakan separuh dari keimanan. Namun demikian, sering kali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian mereka. 

Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja‘ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja‘ terlebih dahulu, selain wudhu kalau sedang dalam keadaan hadas kecil, dan mandi jika dalam kondisi berhadas besar. 

Meski istinja’ pada hakikatnya adalah menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak. 

Berbeda pula dari wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan nyaman dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah (‘ibadatullah) dalam hal ini shalat.

Seperti saya sebut di atas, shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini, menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan, kurang lebih 85% dan sisanya daratan. 

Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dapat dikerjakan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus. 

Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus. 

Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.

Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori benda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar dan kulit hewan. Semua  itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja. Dengan demikian hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukumnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam ilat (alasan terjadinya hukum). 

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinjaa’.

Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak menggunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air di toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering. 

Orang yang kesadaran agamanya tinggi menghadapi kenyataan tersebut wajar jika kemudian bertanya apakah tissue memang telah mencukupi untuk istinja’ ? 

Seperti saya terangkan, istinja’ dapat dilakukan dengan buang air dan batu, baik hakiki maupun syar‘i. Tissue bukan air, bukan pula batu hakiki. Pertanyaannya, apakah dapat untuk istinja’ ? 

Jawabannya, mesti dicari pada pertanyaan : apakah tissue termasuk hajar syar’I ? Merujuk pada bagian literatur fikih Madzhab Syafi’i, seperti Al-Majmu syarah A1-Muhadzdzab, Syarqawi syarah Tuhfah Ath- Thullab, Bujairami syarah Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan sebagai berikut :
Pengertian hajar syar’i meliputi semua benda padat yang suci, bisa menghilangkan najis serta muhtaram. Namun jika kita amati, tissue sering digunakan. 

Akan kita jumpai kenyataan, tissue terbuat dari kertas yang kasar atau tidak halus (qali’un atau bisa menghilangkan najis). Dengan demikian, dia termasuk benda padat (jamid), tidak najis dan tidak muhtaram.
 
Dalam kitab-kitab tersebut, disebutkan tidak boleh menggunakan kitab maupun buku keagamaan untuk istinja’. Alasannya bukan karena buku tersebut terbuat dari kertas, melainkan lebih dilandasi pertimbangan kemuliaannya, yaitu nilai tulisan yang menempel pada kertas itu. 

Secara logis, kalau tidak ada tulisan yang menempel pada kertas itu, boleh-boleh saja dipakai istinja’ Dalam kitab Bughyah Al- Mustarsyidin juga disinggung penggunaan auraq al-bayadh (kertas putih) yang berisi ilmu-ilmu sendiri. 

Satu hal yang perlu dicamkan, kalau istinja’ memakai batu hakiki atau syar’i diisyaratkan 3 (tiga) kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap 3 (tiga) kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih.

Apa Hukum Mempercepat Haid Dengan Obat Menurut Fikih Islam ?

mempercepat haid dengan obat
Tanya : Bagaimana hukumnya mempercepat haid dengan obat-obatan atau ramuan ? Kalau darah yang keluar kurang dari minimal haid, yaitu sehari semalam (24 jam) karena pengaruh obat apakah disebut darah fasad (bukan haid)? Dan apakah orang yang menggunakan obat tersehut dianggap mengubah sunnatullah? 

Jawab :
Para ulama fikih (fuqaha) telah mengelompokkan darah yang keluar dari kemaluan perempuan menjadi tiga jenis, yaitu darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah atau juga darah fasad (rusak). 

Mereka juga telah menerangkan definisi masing-masing jenis beserta dampak hukumnya (fikih). Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang telah berusia 9 (sembilan) tahun, minimal selama sehari-semalam (24 jam) dan maksimal 15 (lima belas) hari, tidak karena penyakit dan tidak pula akibat melahirkan. 

Keluarnya darah itu semata-mata karena sudah menjadi watak atau kodrat. Dalam sejarah, barangkali hanya putri Rasulullth Saw. Sayyidah Fatimah saja yang tidak pernah haid selama hidupnya sehingga dijuluki az-zahra. Selain Fatimah, semua perempuan pernah mengalaminya. Lama haid serta jaraknya antara satu perempuan dengan yang lain berbeda-beda. Ada yang lama, ada yang sebentar. Ada yang sering, ada pula yang jarang. 

Adapun darah nifas adalah darah yang keluar mengiringi kelahiran bayi. Maksimal darah nifas 60 (enam puluh) hari. Galibnya 40 (empat puluh) hari dan paling sedikit setetes saja. 

Selain keduanya termasuk dalam ketegori darah yang ketiga, yaitu istthadhah atau fasad. Sebenarnya, permasalahan tersebut tidak sesederhana itu. Untuk lebih jelasnya, saya sarankan menelaah buku-buku tentang haid yang banyak disusun kalangan pesantren dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. 

Pemahaman pembagian tersebut sangat penting, karena menimbulkan hukum yang berbeda. Haid dan nifas memiliki konsekuensi hukum-hukum tertentu, yang tidak terdapat pada darah istthadhah. 

Perempuan yang sedang menstruasi, dilarang menjalankan shalat, puasa, thawaf, menyentuh dan membawa mushaf, membaca Al-Quran, menyentuh anggota badan antara pusat dan lutut, lebih-lebih persetubuhan. Namun hal itu tidak berlaku pada darah istihadhah. 

Seperti dimaklumi, keluarnya haid mempengaruhi kondisi psikologis perempuan. Ada semacam rasa sakit, nyeri, dan pusing. Sehingga pikiran terganggu. Intinya kondisi perempuan ketika haid tidak sama dengan ketika dalam keadaan normal. 

Sementara itu, ada peristiwa-peristiwa penting dalam hidup kita yang membutuhkan adanya kondisi psikologis dan fisik secara optimal dan konsentrasi penuh dalam menghadapinya. Misalnya saja, menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan sebagainya.

Haji, barangkali hanya sekali seumur hidup, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan memperbanyak ibadah. Begitu juga pernikahan. Adapun tes, jelas membutuhkan kesiapan mental dan konsentrasi pikiran. Dan menstruasi, bisa menghalangi semua itu. 

Sehubungan hal tersebut timbul ide memajukan atau mengakhirkannya. Atau dengan kata lain, me-manage haid sesuai dengan kehendak kita. Untuk merealisasikan gagasan itu, sudah tersedia obat dan ramuan-ramuan. 

Permasalahannya adalah, apakah haid karena obat-obatan secara hukum sama dengan haid yang terjadi secara normal. Dan bagaimana pula hukum melakukanya ? 

Kemungkinan haid dapat dimajukan dan ditunda waktunya, ternyata telah disadari oleh para ulama fikih. Terbukti dengan adanya pembahasan mengenai masalah tersebut, sebagaimana termaktub dalam kitab karangan mereka. Misalnya, Imam Al-Qalyuby, pengarang kitab Al-Qalvubi svarah Al-Mahaji karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli.

Beliau berpendapat, haid yang maju atau mundur karena pengaruh obat-obatan hukumnya disamakan dengan haid yang terjadi secara natural. Demikian juga pendapat Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyah. 

Artinya, seorang perempuan kalau haid diharamkan melakukan larang-larangan yang ditentukan. Dan jika bersih (dari haid), maka tidak diharamkan melakukan hal-hal tersebut, tanpa memandang sebab-sebab terjadinya. 

Patokannya adalah, kenyataannva mengeluarkan darah berarti dia haid. Kalau tidak, berarti tidak. Dan kalau darahnya kurang dari sehari semalam (24 jam), maka dinamakan darah fasad atau istihadhah. Adapun hukumnya memajukan atau menunda haid, selagi tidak membawa dampak negatif, kita berpegang pada kaidah: segala sesuatu yang bermanfaat dalam arti tidak berdampak negatif adalah boleh dan yang membawa mudharat, adalah dilarang. Dan melakukan hal itu, tidak sampai dianggap melanggar sunatuillah. Untuk memahami sejauh mana dampaknya terhadap kesehatan, sebaiknva dikonsultasikan kepada dokter yang berkompeten dalam bidangnya.

Friday 23 September 2016

Bolehkah Air Seni (Urine) Digunakan Untuk Obat ?

air kencing untuk obat
Tanya : Beberapa edisi lalu, ada keterangan Kiai yang memuat penjelasan manfaat air kencing untuk pengobatan. Pada sisi lain, air kencing tidak boleh diminum. Pertanyaan saya, bolehkah meminum urine (air kencing) untuk berobat ? 

Jawab : Dari pemahaman dan penelitian terhadap Al-Quran dan Hadis, para ulama fikth telah mengadakan pengelompokan mengenai apa yang boleh dimakan (minum) dan tidak. Secara garis besar sesuatu diharamkan karena 6 (enam) factor : 1). diperoleh secara illegal menurut syara’; 2). najis (an-najasah); 3). memabukkan (al-iskar); 4). membahayakan bagi tubuh manusia (adh-dharar); 5). buas (al-iftiras); 6). menjijikkan (al-istiqdzar). Oleh karena itu, tidak diperkenankan memakan barang hasil curian, bangkai, batu, harimau, sperma, serangga dan lain sebagainya. (Ahkam Al-Hikmah fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah; 113- 116). 

(Baca juga : Apa Hukum Menggunakan Air Seni (Air Kencing) Sebagai Obat Menurut Fikih Islam ?)

Pelarangan mengkonsumsi beberapa jenis makanan maupun minuman tidak lain kecuali untuk kemaslahatan manusia sendiri. Apa yang disyariatkan oleh Allah Swt. pasti mengandung hikmah. Dalam hal ini Islam mengambil jalan tengah, hanya melarang perkara yang perlu dilarang dan memperbolehkan apa-apa yang semestinya diperbolehkan. Apa yang membawa dampak positif dipersilahkan. Sebaliknya apa yang berdampak negatif dicegah. Jadi, Islam tidak membolehkan semua, tidak pula melarang semua. Tidak terlalu longgar dan terlalu sempit. 

Pada sisi lain, manusia tidak diciptakan di dunia ini melainkan untuk beribadah kepada Allah Swt. dan memakmurkan bumi (imarah al-ardh). Untuk itu dia perlu mempertahankan hidupnya. Karenanya manusia membutuhkan makanan dan juga minuman sebagai sumber energi serta kesehatan. Tanpa makanan dan minuman, manusia akan kekurangan gizi sehingga membuatnya lemah dan rawan penyakit. Padahal penyakit adalah awal dari kematian jika sudah sangat parah dan tidak segera diobati. 

Penyakit merupakan kematian kecil. Akibat sakit, orang tidak mampu beraktivitas. Seperti halnya orang yang telah mati, tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian, makanan dan minuman serta obat, sama pentingnya dalam mempertahankan hidup. 

Menurut ajaran Islam, mempertahankan hidup wajib hukumnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendirl ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.“ (QS. Al Baqarah: 195) 

Hidup adalah karunia sekaligus amanat Allah Swt. yang harus dijaga, dilestarikan dan dipertahankan. Sebagai amanat, manusia akan dimintai pertanggungjawaban. 

Untuk kepentingan mempertahankan hidupnya, dalam keadaan darurat, seseorang diperkenankan bahkan diwajibkan memakan benda yang diharamkan dalam keadaan normal (dalam keadaan terpaksa perkara yang dilarang menjadi diperbolehkan). Hal ini sejalan dengan kaidah lain dalam fikih yaitu adh-dharar yuzal (kemelaratan atau perkara yang negatif dihilangkan). Keduanya bersumber dari sabda Rasulullah Saw. :
“Laa dharara wala dhirara.” (al-Asybah wa An-Nazhair. 56-57). 

Jika dalam kondisi darurat, kita diperbolehkan mengkonsumsi makanan maupun minuman yang semula diharamkan. Bagaimanakah jika untuk keperluan pengobatan ? Seperti telah diterangkan di atas, bahwa menghilangkan penyakit tidak kalah penting daripada menghilangkan lapar dan dahaga. Ketiganya: lapar, dahaga, penyakit, membawa konsekuensi yang sama. 

Oleh karena itu, sebagaimana untuk menolak lapar dan dahaga dalam keadaan darurat diperbolehkan makan dan minum barang haram, diperkenankan pula mengkonsumsi barang haram untuk keperluan pengobatan. (AI-Majmu. IX; 50). 

Dengan begitu, meminum air kencing (urine) dapat dijadikan sebagai pengobatan alternatif. Mengingat pembolehan ini termasuk rukhshah (dispensasi), maka harus memenuhi dua persyaratan : 1). Tidak ada alternatif lain yang halal, 2). Menurut dokter yang berkompeten, urine efektif menyembuhkan penyakit yang diderita. (Al-Majmu IX; 51). 

Pengobatan dengan air kencing sebenarnya bukan fenomena baru abad modern. Rasulullah Saw. pada 14 (empat belas) abad yang lampau, pernah menyarankan sekelompok orang meminum susu dan air kencing onta untuk menyembuhkan penyakit. (HR Bukhari dan Muslim). 

Berangkat dari hadis inilah, banyak fuqaha‘ menyimpulkan : berobat dengan barang haram -selain minuman keras- diperbolehkan. Hal ini tentunya tidak terbatas pada air kencing saja. Tetapi dengan jalan qiyas (analogi), hukum ini juga berlaku untuk benda-benda haram selain urine. (Al-Majmu IX; 50). 

Memang ada juga ulama yang tidak memperbolehkan berobat dengan urine. Mereka berpegang pada sebuah hadis, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan pada sesuatu yang dtharamkan atas kalian.” 

Hadis ini secara eksplisit membatasi pengobatan pada hal-hal yang dihalalkan. Barang haram merupakan sumber penyakit, bukan sumber kesehatan. (Al-Majmu IX; 53). 

Dua hadis yang nampak bertentangan ini dikompromikan oleh para ulama dengan mengadakan perbedaan antara dalam keadaan terpaksa (adh-dharurah) dan tidak. Kalau terpaksa diperbolehkan, jika tidak terpaksa maka dilarang. Keterpaksaan dalam konteks pengobatan dengan barang haram, berarti tidak ditemukannya obat dan bahan yang halal dalam penyakit tertentu. (Al-Majmu IX; 51)

Apa Hukum Menggunakan Air Seni (Air Kencing) Sebagai Obat Menurut Fikih Islam ?

hukum obat air seni
Tanya : Apa hukumnya berobat dengan air seni, seperti di perkenalkan seorang ahli pengobatan alternatif akhir-akhir ini ? Kalau tidak boleh, seberapa jauh tidak bolehnya ? Bagaimana jika obat yang lain sudah dicoba dan penyakit tidak sembuh-sembuh, bolehkah kita mencoba air seni untuk obat ? (Husni, Sidoarjo).
Jawab : Manusia diciptakan Allah untuk menyembah-Nya, ini berarti secara fungsional manusia mengemban taklif untuk beribadah baik yang menyangkut ibadah muthlaqah (ibadah yang tidak diatur dengan syarat-rukun) maupun ibadah muqayyadah (ibadah yang diatur dengan syarat rukun). Dalam rangka menjalankan taklif itu, kesehatan dipandang sangat penting, sebagai prasyarat yang harus dimiliki. Oleh karena itu, orang tidak bisa tidak harus selalu mengusahakan dirinya dalam keadaan sehat agar tidak mengganggu fungsi itu.

(Baca juga : Bolehkah Air Seni (Urine) Digunakan Untuk Obat ?)

Sebagian masyarakat seringkali memandang kesehatan secara sempit. Seseorang dianggap sehat jika ia berada dalam keadaan tidak sakit atau tidak cacat. Kesehatan dipandang sebagai sesuatu yang alami sehingga tidak perlu dipermasalahkan lagi. Orang baru sadar akan pentingnya kesehatan bila dirinya atau keluarganya menderita sakit. Dengan demikian yang terjadi di sebagian masyarakat barulah kesadaran sakit dan kesadaran berobat bukannya kesadaran untuk menangkal penyakit atau melestarikan dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan pada saat orang berada dalam keadaan sehat. 

Oleh karena itu, dalam ajaran Islam ada 4 (empat) pokok untuk menjaga kesehatan. pertama, an-nazhafah (kebersihan) yang tercermin dari syariat wudhu, mandi, siwak (gosok gigi), kebersihan pakaian, tempat dan lain-lain. Kedua, makan-minum yang tercermin dari adanya makanan dan minuman yang terlarang. Ketiga, kesehatan umum, artinya karantina demi kesehatan umum. Rasulullah pernah bersabda dalam riwayat Ashabu As-Sunan sebagai berikut :
Artinya : “Apabila kamu mendengar di satu daerah terjadi wabah berjangkit, janganlah kalian masuk di dalamnya.” (HR. Muslim) 

Jadi, istilah karantina untuk penyakit menular bukanlah hal yang baru, karena ternyata jauh sebelumnya sudah dianjurkan oleh Rasulullah. Yang keempat, riyadhah (olahraga) dimana tercermin dalam perilaku shalat dan puasa dari menggunakan tenaga fisik yang melebihi batas. 

Namun demikian, betapapun kita telah berusaha maksimal untuk sehat terkadang masih juga terjangkit oleh sejenis penyakit sehingga berbagai langkah pengobatanpun ditempuh. Karena pada dasarnya, setiap penyakit itu ada obatnya sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim bahwa setiap penyakit itu ada obatnya. Maka bila obat itu menyentuh penyakit akan menjadi sembuh dengan izin Allah. 

Masalahnya kemudian muncul manakala sejenis penyakit harus diobati dengan sesuatu yang najis atau dilarang seperti seni atau air kencing. Karena pada prinsipnya ajaran Islam tidak membenarkan pengobatan dengan sesuatu yang diharamkan sebagaimana hadis riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim :
Artinya : “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat dan menjadikan untuk setiap penyakit obatnya, maka ambilah itu sebagai obat, janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.", (Al-Fiqhu ‘ala Madzahib Al-A rba‘ah. V. 33) 

Dalam hal ini Syafi’iyah, Hanafiyah memberikan batasan boleh apabila tahu betul (alima yaqinan) bahwa obat najis itu memang satu-satunya obat dan sudah tidak ditemukan lagi obat atau ramuan yang suci berdasarkan keterangan ahli medis Muslim yang adil. Dengan kata lain, keadaannya darurat dimana apabila tidak diobati dengan obat najis itu penyakit akan terus berjangkit dan dikhawatirkan merusak sebagian anggota badannya atau bahkan merenggut nyawanya. Bukankah menjaga diri (hifzhu an-nafsi), harta dan kehormatan adalah wajib. Dalam kaidah fikih disebutkan adh-dharurah tubihu al mahdhurah dan dalam Al-Quran juga dinyatakan :
Artinya : “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.“ (QS. Al aqarah: 173) 

Waihasil, berobat dengan air seni itu boleh dengan syarat tidak ada obat lain yang suci, dan tahu betul bahwa di situ mengandung unsur obat bukan dalam konteks mencoba atau ragu-ragu.

Hukum Memakai Kawat Gigi, Gigi Palsu Dan Tambal Gigi Menurut Fikih Islam

kawat gigi menurut islam
Tanya : Apakah memasang kawat gigi, memasangg gigi palsu, dan menambal gigi yang berlubang halal hukumnya? (Wahyudi, Kiaten) 

Jawab : Allah memberikan nikmat dan karunia kepada manusia beberapa organ tubuh yang satu dengan lainnya sangat berkaitan. Dan apabila kita perhatikan, seluruh ciptaan-Nya mempunyai beberapa fungsi yang penting untuk kehidupan.

Salah satu dari beberapa organ tersebut adalah gigi. Gigi yang kelihatannya hanya sebagai organ yang sepele sehingga banyak sekali orang yang belum memahami akan kegunaannya tidak berusaha untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan giginya- sebenarnya mempunyai beberapa fungsi dan manfaat. Di antara manfaatnya membantu alat pencernaan untuk menghancurkan makanan yang sekiranya tidak bisa dicerna oleh organ pencernaan yang ada di dalam tubuh kita. Karena bisa kita bayangkan, bagaimana semua makanan langsung masuk ke dalam saluran makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dengan gigi kita? Tentunya hal itu akan merepotkan organ kita yang ada di dalam tubuh. Dan bukan tidak mungkin hal itu akan mengganggu kinerja serta kesehatan organ yang ada di dalam.

Fungsi lainnya adalah membantu memperjelas huruf-huruf yang diucapkan, karena orang yang giginya tidak sempurna pasti dia akan kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang di dalamnya terdapat huruf yang makhrajnya dekat dengan gigi, sehingga akan mempengaruhi bacaan-bacaan yang diucapkan karena kalimat yang diucapkannya menjadi tidak jelas (yang akhirnya bisa mengubah makna yang terkandung dalam kalimat tersebut) dan bahkan tidak bisa dipahami oleh orang yang mendengarkannya. 

Kemudian fungsi lainnya adalah sebagai hiasan yang akan kelihatan elok dan enak dipandang apabila gigi kita masih kelihatan utuh serta sehat. 

Dari beberapa fungsi dan kegunaan gigi yang tersebut di atas sudah semestmya kita harus menjaga dan selalu merawat gigi kita agar tetap sehat dan tidak cepat rusak. Ini penting di samping sebagai perwujudan rasa syukur terhadap nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita, juga karena memang kita benar-benar membutuhkan manfaat gigi itu sendiri. 

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk merawat serta menjaga agar gigi kita tetap sehat. Di antaranya adalah tidak makan makanan yang terlalu panas maupun dingin, menggosok gigi dengan teratur atau dengan siwakan. Hal ini penting karena dapat menghilangkan kotoran-kotoran sisa makanan yang masih tertinggal pada gigi kita. Dalam sebuah penelitian, sisa makanan yang mengundang bakteri dapat merusak gigi apabila dibiarkan dan tidak dibersihkan. Dan yang lebih penting, dengan menyikat gigi akan memperkuat gusi yang kita miliki. 

Bahkan untuk yang terakhir (siwakan) Rasulullah Saw. sendiri telah menganjurkan dengan sangat dalam sebuah hadis :
Artinya: “Seandainya saya tidak khawatir menyusahkan umat saya maka saya akan memerintahkan mereka untuk siwakan ketika akan wudhu.” (HR. Ahmad) 

Perintah yang dimaksud hadis di atas (la ammartuhum) adalah perintah wajib. Tetapi karena Nabi khawatir bahwa hal itu bisa memberatkan umatnya maka perintah wajib itu pun tidak jadi, tetapi hanya menjadi perintah yang sunah. 

Jadi, siwakan atau membersihkan gigi untuk ibadah akan mendapatkan pahala, begitu juga perbuatan lainnya seperti makan dan minum, misalnya, apabila dilakukan dengan niat untuk beribadah maka hal itu juga akan mendapat pahala. 

Mengingat berbagai fungsi dan manfaat gigi seperti di atas maka wajar apabila kita banyak melihat orang-orang yang sudah terlanjur rusak giginya ingin mempunyai gigi yang utuh kembali. Karena giginya yang asli sudah tidak mungkin tumbuh kembali, maka mereka mengambil jalan untuk menambal maupun memasang gigi palsu. 

Sekarang masalahnya apakah menambal, memasang gigi palsu itu diperbolehkan? 

Dalam kumpulan fatwa Syaikh Athiyah Saqr (Ketua Lajnah Fatwa Mesir tahun 1997) menjelaskan bahwa memakai gigi palsu tidak dilarang dalam agama karena memang tidak ada dalil yang melarangnya. Dalam kaidah fikih dijelaskan bahwa asal segala sesuatu di luar ibadah adalah boleh (al-ashlu al-ibahah) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Bahkan sebagian ulama ada yang memperbolehkan menggunakan gigi palsu yang terbuat dan emas. 

Dalam fatwanya juga dijelaskan apabila pemakai gigi palsu tersebut meninggal, maka gigmya tidak perlu dilepas kalau memang dipasang secara permanen. Dalam artian ketika kita akan melepaskan gigi tersebut harus dilakukan melalui operasi, karena demi untuk menghormati jasad mayit. Kecuali apabila gigi tersebut terbuat dari bahan yang mempunyai nilai seperti emas misalnya sehingga akan mendorong manusia untuk mencurjnya, maka lebih baik gigi tersebut dilepas. 

Namun apabila gigi palsu yang ada tidak dipasang secara permanen sehingga mudah untuk dilepas maka lebih baik dilepas. Karena hal itu tidak ubahnya seperti perhiasan yang tidak ada manfaatnya apabila disertakan kepada mayit bahkan termasuk tabdzir (menyia-nyiakan harta benda) yang tidak disukai oleh agama.

Thursday 22 September 2016

Apa Hukum Memakai Gigi Palsu Menurut Fikih Islam ?

hukum gigi palsu
Tanya : Bagaimana hukumnva memakai gigi palsu? Dan bagaimana kalau pemakai gigi palsu terbut meninggal ? (Putra, Semarang) 

Jawab : Memakai gigi palsu tidak dilarang agama. Tidak ada dali yang melarang. Bahkan sebagian ulama memperbolehkan menggunakan gigi palsu yang terbuat dari emas sekalipun. (Fatwa Syaikh Athiyah Saqr, Ketua Ljnah Fatwa A1-Azhar Mesir 1997). 

Ketika pemakai gigi palsu tersebut meninggal, bila gigi tersebut permanen, sehingga untuk menccpothya hams dengan operasi, maka tidak perlu mencopotnya demi menghormati jasad mayit. Kecuali bila gigi tersebut terbuat dari bahan yang bernilai (seperti emas), sehingga akan mendorong orang untuk mencurinya. Kalau gigi tersebut tidak permanen lebih baik dicopot, karena itu tak ubahnya hiasan seperti cincin yang tidak ada gunanya untuk disertakan kepada mayit.

Apa Hukum Penukaran Organ Tubuh Menurut Fikih Islam ?

hukum penukaran organ tubuh, fikih islam, bilik islam
Tanya : Atas kemajuan teknologi terutama dalam dunia kedokteran, seringkali ditemukan kasus-kasus pemindahan anggota badan baik dari manusia yang sudah mati maupun yang masih hidup kepada manusia lain (pasien), seperti pemindahan ginjal, transfusi darah, jantung, rambut, dan lain sebagainya. Bagaimanakah ketentuan hukum Islam dalam masalah ini ? (Indah Sri lestari, Semarang). 

Jawab : Pemindahan anggota badan baik berupa pencangkokan, transfusi, donor dan lain sebagainya merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Proses pemindahan itu secara medis biasa dilakukan terhadap orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati. 

Dalam berbagai macam referensi, masalah ini masih menjadi ikhtliaf (materi perdebatan) para fuqaha. Pertama, jika pemindahan itu dari manusia yang masih hidup. Dalam hal ini apabila anggota badan yang dipindahkan itu akan menjadi sebab kematiannya sendiri seperti pemindahan hati, maka hal ini haram secara mutlak. Artinya baik ada izin maupun tidak (secara paksa mengambilnya atau membunuh) tetap haram, karena mengizinkannya berarti bunuh diri. Begitu pula apabila pemindahan itu menyebabkan ia meninggalkan kewajiban-kewajibannya atau pemindahan itu menolong pada maksiat meskipun hal itu masih memungkinkan untuk kehidupannya, maka hukumnya tetap haram seperti pemindahan dua tangan atau dua kaki sekaligus yang menyebabkan ia tak dapat bekerja. Apabila tidak demikian (tidak menjadi sebab meniggalkan kewajiban dan tidak menolong pada perbuatan maksiat) seperti pemindahan salah satu mata, satu ginjal atau darah, apabila pemindahannya tanpa izin maka haram dan wajib menggantinya sesuai dengan aturan syara’ yang secara terperinci dijelaskan dalam kitab-kitab fikih bab diyat ‘ala an-nafsi wa al- a’dha. Apabila dengan izinnya maka sebagian ulama tetap mengharamkannya dengan alasan bahwa kemuliaan manusia tidak membolehkan salah satu bagian tubuhnya untuk orang lain, jika terpotong harus di kuburkan. (Majmu.III. 149). Ada juga ulama yang membolehkan itu dengan catatan tidak menjadikan tadlis atau fitnah seperti yang disampaikan Ibn Hajar dalam kitahnya Fath Al-Bari. 

Dari pendapat ini nampaknya pemindahan anggota badan dari manusia hidup harus tetap memperhatikan eksistensi kemanusiaannya sebagai makhluk yang mempunyai tanggungjawab kepada Khaliq maupun makhluk lainya serta bagaimana dia menjaga jasadnya sendiri (tetap hidup) karena itu merupakan karunia Allah yang tidak boleh dinafikan. 

Kedua, jika pemindahan ini dari manusia yang sudah mati (mayit), sebagian berpendapat bahwa apabila pemindahan aggota badan itu dari mayit yang sebelumnya sudah berwasiat atau berpesan untuk memberikan salah satu bagian dari anggota badannya atau dengan kata lain sebelumnya sudah ada izin dari mayit, maka pemindahan itu diperbolehkan. Pendapat ini mendasarkan pada tidak adanya dalil yang mengharamkan hal tersebut. Bahwa kemuliaan anak Adam yang menjadi illat (sebab) diharamkannya pemindahan anggota badan, pendapat tersebut tidak melarang untuk memanfaatkannya demi kehidupan.

Hal ini sesuai juga dengan kaidah fikih adh-dharurah tubihu al mahdhurah. Sama halnya jika sebelumnya tidak ada izin dari mayit tetapi walinya (keluarganya) memperbolehkan, maka hal itu juga diperbolehkan. Sebaliknya, apabila mereka tidak mengizinkan maka ada dua pendapat. tidak memperbolehkan dan membolehkan (Fatwa Syaikh Athiyah Saqr, Ketua Lajnah Fatwa Al-Azhar Mesir). 

Pendapat di atas secara eksplisit bisa dicerna bahwa pemindahan aggota badan dari mayit boleh dilakukan dengan catatan ada izin dari mayit sebelum meninggal atau keluarganya. Karena memandang tidak adanya dalil yang secara jelas tidak memperbolehkan pemindahan salah satu anggota badan.

Apakah Boleh Umroh Saat Haji Menurut Fikih Islam ?

umrah saat haji
Tanya : Orang yang sudah pernah umrah tetapi belum berhaji. wajibkah mengulangi umrah di kala beribadah haji ? (Abdul Hakim, Punjer, Kebumen) 

Jawab : Haji dan umrah pada dasarnya dua ibadah yang berdiri sendiri, meski dalam banyak hal yang berkaitan dengan kriteria orang yang diwajibkan dan tata cara pelaksanaannya memiliki kesamaan. 

Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis, umrah disyariatkan dalam Islam, meskipun status hukumnya diperselisihkan para ulama. 

Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan umrah hukumnya sunah muakkadah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat umrah adalah wajib. 

Terjadinya khilaf itu menurut pengarang kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-’Arba’ah, sebuah kitab fikih perbandingan empat mazdzhab, merupakan salah satu aspek yang membedakan umrah dengan haji. Kalau haji semua sepakat hukumnya wajib bagi yang telah mampu sebagaimana tercantum dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajihan manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah, barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. “(QS. Ali Imran: 97) 

Bagi yang berpendapat wajib, umrah cukup dilakukan sekali saja selama hidup (marrah thul al-umr) dan berlaku atas orang orang yang berkewajiban haji. Lebih dari itu hukumnya sunah. Karena haji dan umrah merupakan ibadah yang berdiri sendiri, keduanya dapat dilakukan secara terpisah, tidak dalam satu tahun. Dalam artian boleh saja umrah dilakukan tahun 1995 dan baru tahun berikutnya menunaikan haji, tanpa harus mengulangi umrah untuk kali yang kedua. Seperti yang saya sebutkan di atas, kewajiban umrah hanya satu kali dalam hidup ini. 

Meski demikian untuk menghemat tenaga dan biaya, orang biasanya -terutama yang jauh dari Makkah- mengerjakan umrah dan haji sekaligus. Karena dengan begitu, seseorang yang belum pernah umrah, pada tahun-tahun berikutnya tidak perlu pergi ke Makkah lagi untuk melakukannya. Sedangkan bagi yang sudah pernah menjalankan umrah ketika haji dimaksudkan sebagai optimalisasi kesempatan yang sangat berharga tersebut -berada di tanah suci- dengan memperbanyak ibadah.

Ibadah haji yang demikian, dalam arti dirangkai dengan umrah, dapat ditempuh dengan tiga cara. Pertama, ihram haji terlebih dahulu, setelah selesai kemudian umrah. Kedua, tammattu, kebalikan ifrad. Ketiga, qiran, ihram haji dan umrah secara bersamaan. 

Ketiga cara tersebut, mana yang paling utama termasuk masalah khilafiyah, lantaran ada perbedaan pendapat dalam menentukan cara yang dipilih Rasulullah Saw. saat mengerjakan haji wada (perpisahan) apakah ifrad, tammattu atau qiran. Yang jelas semua boleh dipakai, dan mempunyai pendukung sendiri-sendiri. 

Dalam Madzhab Syafi’i yang dianut mayoritas kaum muslim Indonesia, yang paling utama adalah ifrad, sebagaimana termaktub dalam kitab Fath Al-Qarib, dan 1ain-lain.

Apa Hukum Wanita Berhaji Tanpa Muhrim ?

haji tanpa muhrim
Tanya : Mengapa perempuan harus disertai muhrim ketika melaksanakan haji. Bagaimana jika tidak disertai muhrim atau suami? 

Jawab : Seperti kemarin telah saya singgung, bahwa berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, haji hanya dapat dilaksanakan di tanah suci Makkah. Thawaf di Ka’bah, sa’i dari Shofa ke Marwah, wukuf di Arafah dan seterusnya. Ibadah haji selain di tempat-tempat tersebut tidak sah. Sebab tempat-tempat tersebut memiliki nilai historis yang tidak dimiliki tempat lain. 

Padahal di sisi lain, kewajiban haji berlaku bagi umat Islam di seluruh dunia, yang memenuhi persyaratan istitha‘ah, yakni mempunyai kemampuan mengerjakan haji. 

Sebelum membicarakan status muhrim bagi perempuan yang berangkat haji, sebaiknya diketahui terlebih dahulu perbedaan 3 (tiga) jenis persyaratan haji, yaitu, syarth al-wujub wa ash-shihhah, syarth al-wujub wa al-ijza’ wa laisa syarth ash-shihhah, dan syarth al-wujub faqath. 

Persyaratan pertama adalah Islam dan berakal. Orang Islam dan berakal saja yang sah dan terkena kewajiban haji. Non muslim atau orang gila tidak wajib dan tidak sah. Kedua, baligh dan merdeka (bukan budak atau hamba). Anak kecil sebelum baligh dan budak, tidak wajib melakukan haji. Kalau pun mengerjakan, hajinya sah. Tetapi setelah baligh atau merdeka wajib mengulangi lagi. Ketiga adalah istitha’ah (memiliki kemampuan menunaikan haji). Orang yang belum atau tidak mampu, misalnya tidak punya perbekalan, tidak wajib berhaji. 

Tetapi kalau memaksakan diri berangkat ke tanah suci, hajinya sah dan sudah mencukupi sebagai haji Islam. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2076). 

Seseorang dianggap mampu dan wajib menunaikan haji apabila sehat, memiliki perbekalan dan biaya transportasi, tersedia alat transportasi, keamanan terjamin dan waktunya masih longgar untuk mengerjakan haji. Khusus bagi istri, persyaratannya adalah adanya suami, muhrim, atau jamaah perempuan yang terpercaya minimal tiga orang yang menyertai. 

Dengan demikian, keberadaan mereka termasuk syarat istitha‘ah. Oleh karena itu, perempuan yang tidak disertai suami, muhrim atau jamaah perempuan tidak wajib mengerjakan haji. Meskipun begitu, hajinya tetap sah. Karena keberadaan suami dan muhrim atau 3 (tiga) perempuan terpercaya, menjadi syarat kewajiban (syarth al-wujub), bukan syarat keabsahan (syarth ash-shihhah) ibadah haji perempuan. 

Kalau kita perhatikan, sebenarnya persyaratan tersebut justru meringankan perempuan. Kondisi tempat haji pada zaman dahulu belum seaman sekarang. Alat transportasi masih menggunakan kuda dan onta. Sehingga ibadah haji sangat melelahkan. Keberadaan suami atau muhrim dalam kondisi demikian sangat dibutuhkan. 

Perempuan diperbolehkan berangkat haji dengan disertai satu perempuan yang terpercaya. Boleh juga berangkat sendirian jika keamanan terjamin. (Mausu‘ah Al-Fiqh Al-Islami. VII, 116). 

Pada zaman sekarang, segala urusan haji sudah ditangani oleh pemerintah. Faktor keamanan juga sangat diperhatikan pemerintah setempat. Jamaah haji tinggal membayar ONH (ongkos naik haji). Oleh sebab itu, boleh-boleh saja perempuar barangkat haji tanpa suami dan muhrim. Toh jamaah haji perempuan jumlahnya sangat banyak.

Pengertian Haji Badal Dan Cara Haji Badal

pengertian badal haji, cara badal haji
Tanya : Saat naik haji beberapa tahun lalu saya dititipi uang badal haji sebanyak 700 riyal oleh kerabat saya untuk ibunya yang sudah meninggal di tanah air. Sampai di Makkah saya minta teman saya yang sudah berhaji untuk menghajikan ibu kerabat saya tadi. Pak Kiai, bolehkah badal haji dengan uang sejumlah itu. Kabarnya itu memang harga umum. Padahal ONH jauh lebih banyak dari itu? Apakah syarat-syarat badal haji? (Toha, Jakarta) 

Jawab :
Pertama saya jelaskan dahulu apa itu haji badal, haji badal, atau badal haji adalah haji yang diwakilkan kepada orang lain karena alasan tertentu, atau singkatnya membayar orang untuk mewakilkan melaksanakan haji.

Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji hanya bisa dilangsungkan di tanah suci. Thawaf harus mengitari Ka’bah. Sa’i dari bukit Shofa dan Marwah. Wukuf dilaksanakan di Padang Arafah. 

Ibadah haji memerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibadah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliah). Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajian haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahib A1-Arba’ah. I, 706). 

Pada prinsipnya sebagai ibadah badaniyah, haji harus dilakukan sendiri. Dalam kondisi normal, di mana yang bersangkutan mampu mengerjakan sendiri, haji tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. 

Tetapi dalam kondisi sakit yang kronis dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya, sebagai ibadah maliyah, menurut pendapat mayoritas ulama, haji boleh diwakilkan kepada orang lain. Begitu pula orang yang meninggal dunia dalam keadaan belum pernah menunaikan ihadah ini, padahal yang bersangkutan sudah mampu. Diceritakan dalam sebuah hadis sahih, seorang perempuan dan Khats’am berkata kepada Rasulullah :
Artinya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya? Beliau menjawab, “Ya”. (Muttafaq‘alaih) 

Oleh sebab itu, para fuqaha mengklasifikasikan istitha’ah (kemampuan haji) menjadi dua, istitha’ah bi nafsih dan istitha’ah bi ghairih. Istitha’ah bi nafsih artinya, sanggup mengerjakan haji sendiri. Istitha’ah bi ghairih, ketika seseorang karena alasan sakit atau termakan usia tidak mampu berangkat sendiri, tetapi memiliki uang untuk menyewa orang lain melakukan haji atas namanya. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2098). 

Seseorang dianggap sudah istitha’ah bi ghairih, apabila mempunyai uang dalam jumlah yang cukup untuk membayar orang lain mengerjakan haji menurut ukuran lumrah yang berlaku di masyarakat (ujrah al-misl). 

Transaksi antara orang yang mewakilkan dan wakil atau badal termasuk kategori akad ijarah. Sehingga tidak ada batasan yang baku mengenai upah yang harus diberikan. Yang terpenting terdapat kata sepakat antara keduanya, atau dalam bahasa fikihnya disebut ‘an taradhin. Mungkin juga si wakil tidak meminta bayaran sepeserpun, semata-mata ingin membantu orang. Hal ini sangat mungkin terjadi, bilamana antara keduanya terjalin hubungan kekerabatan misalnya. 

Orang yang sah ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah orang yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh dan berakal), dan mampu melakukannya. Wakil diisyaratkan sudah melaksanakan haji sebelumnya. Yidak dibenarkan mewakilkan kepada orang yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.

Hendaknya dicarikan orang yang dapat dipercaya (al-mautsuq bih), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Wakil melakukan ihram atas nama orang yang mewakilkan. Ihram dilakukan dan miqat orang yang diwakili. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2106)

Tabir Wanita