Thursday 22 October 2015

Jenis Shalat Sunah

Shalat-Shalat Sunat

Yang dimaksud dengan salat sunat ialah semua salat selain dari salat fardu (salat lima waktu), di antaranya adalah : 
 
Salat hari raya
Hari raya di dalam, Islam ada dua:
a. Hari Raya Idul Fitri, yaitu pada setiap tanggal 1 bulan Syawal.
b. Hari Raya Haji, yaitu pada setiap tanggal 10 bulan dzulhijjah. Hukum salat hari raya adalah sunat Muakkad (sunat yang lebih penting) karena Rasulullah Saw. tetap melakukan salat hari raya selama beliau hidup.
Firman Allah Swt.:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, berkurbanlah.” (AL-KAUSAR: 1-2)

Hadis : “Dari Ibnu Umar, “Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan Umar pernah melakukan salat dua hari raya sebelum berkhotbah.” (RIWAYAT JAMAAH AHLI HADIS)


Mula-mula Rasulullah Saw. salat hari raya pada tahun kedua (tahun Hijriah). Salat hari raya itu dua rakaat, waktunya sesudah terbit sampai tergelincir matahari. Rukun, syarat, dan sunatnya sama dengan salat yang lain ditambah dengan beberapa sunat yang lain, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. (baca : sunah-sunah shalat hari raya)

Hadis : “Dan Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi Saw salat han raya 2 rakuat. Beliau tidak salat sebelum dan sesudahnya.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Semua orang dianjurkan untuk berkumpul dan salat pada hari raya, baik orang yang menetap (mukim) maupun orang yang dalam perjalanan, baik laki-laki ataupun perempuan, besar ataupun kecil; hingga perempuan yang berhalangan karena haid pun disuruh juga pergi berkumpul untuk mendengar khotbah (pidato), tetapi mereka tidak boleh salat. Sungguhpun begitu, bila seseorang salat sendirian, sah juga.

Hadis : “Dari Ummi Aisyah. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah menyuruh kami keluar pada Hari Raya Fitri dan Hari Raya Haji, supaya kami membawa gadis-gadis, perempuan yang sedang haid, dan hamba perempuan ke tempat salat hari raya. Adapun perempuan yang sedang haid mereka tidak mengerjakan salat.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Tempat Salat Hari Raya
Tempat yang lebih baik ialah di tanah lapang, kecuali kalau ada halanga seperti hujan dan sebagainya. Keterangannya adalah amlan Rasulullah Saw.
“Allamah Ibnu Al-Qayyim berkata, “Biasanya Rasulullah Saw. melakukan salat dua hari raya (Hari Raya Fitri dan Haji) pada tempat yang dinamakan musalla (Nama tempat di dekat pintu gerbang kota Madinah di sebelah timur kota. Sekarang ia menjadi tempat perhentian kendaraan orang haji yang hendak ke Madinah) Beliau tidak pernah salat hari raya di masjid kecuali hanya satu kali, yaitu ketika mereka kehujanan”. Apalagi kalau dipandang dari sudut keadaan salat hari raya itu guna dijadikan syiar dan semaraknya agama, maka lebih baik dilaksanakan di tanah lapang.

Sebagian ulama berpendapat, “Lebih baik di masjid, sebab masjid itu adalah tempat yang mulia.”

Pada salat hari raya tidak disyariatkan (tidak disunatkan) azan dan tidak pula iqamah. Yang disyariatkan hanyalah menyerukan “Marilah salat berjamaah”
Hadis : “Dari Jabir bin Samurah. Ia berkata, “Salat hari raya bersama-sama Rasulullah Saw. bukan sekali dua kali saja; beliau salat tidak azan dan tidak iqamah.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

“Dari Zuhri, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah menyuruh tukang azan pada hari raya supaya mengucapkan, ‘Assalata jami’atan’ (Marilah salat berjamaah)’ (RIWAYAT SYAFI’I)


Salat Han Raya Tanggal Dua Syawal

Sebagaimana telah diterangkan, waktu salat Hari Raya Fitri itu adalah tanggal satu bulan Syawal, mulai dari terbit matahari sampa tergelincirnya. Akan tetapi, jika sesudah tergelincir matahari diketahui bahwa hari itu tanggal satu Syawal, jadi waktu salat sudah habis, maka hendaklah salat pada hari kedua (tanggal dua) saja.

Hadis : “Dari Umar bin Anas. Para sahabat berkata, “Telah tertutup atas kami hilal (awal bulan) Syawal. Maka Siang harinya kami puasa kemudian diakhir hari itu datang beberapa orang, mereka menjadi saksi didepan Rasulullah Saw. bahwa mereka telah melihat bulan kemarinnya. makaa Rasulullah Saw. terus menyuruh orang manyak supaya berbuka puasa pada hari itu, dan supaya besoknya mereka pergi shalat hari raya (RIWAYAT LIMA ORANG AHLI HADIS SELAIN TIRMIZI)

(baca shalat sunah lainnya : shalat sunah)

Wednesday 21 October 2015

Syarat Sah Shalat Qasar Dan Jamak

Salat qasar artinya salat yang diringkaskan bilangan rakaatnya, yaitu di antara salat fardu yang lima; yang mestinya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Salat lima waktu yang boleh diqasar hanya Lohor, Asar, dan lsya. Adapun Magrib dan Subuh tetap sebagaimana biasa, tidak boleh diqasar.

Hukum salat qasar dalarn mazhab Syafi’i harus (boleh), bahkan lebih baik bagi orang yang dalam perjalanan serta cukup syarat-syaratnya.
Firman Allah Swt.:
“Dan apabila kamu bepergian di muka buni, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasar salat(mu). Jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (AN-NISA: 101)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Telah bercerita Ya’la bin Umar,. “Saya telah berkata kepada Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman (tidak takut lagi). Umar menjawab, Saya heran juga sebagaimana engkau maka saya tanyakan kepada Rasulullab Saw.. dan beliau menjawab ; “Salat qasar itu sedekah yang diberikan Allah keppada kamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberianNya) itu’.” (RIWAYAT MUSLIM)


Syarat Sah Salat Qasar

1. Perjalanan yang dilakukan itu bukan perjalanan maksiat (terlarang), seperti pergi haji, silaturahmi; atau berniaga, dan sebagainya. 

2. Perjalanan itu berjarak jauh, sekurang-kurangnya 80,640 km atau lebih (perjalanan sehari semalam).
Sabda Rasulullah Saw.:
“Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak diizinkan untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama-sama mahramnya.” (RIWAYAT JAMA’AH AHLI HADIS, KECUAILI NASAI)


Sebagian ulama berpendapat, “Tidak hanya disyaratkan dalam perjalanan jauh, tetapi asal dalam perjalanan, jauh ataupun dekat’
Sabda Nabi :
“Dari Syu’bah. Ia berkata, “Saya telah bertanya kepada Anas tentang meng-qasar salat. Jawabnya, ‘Rasulullah Saw. apabila menempuh jarak perjalanan tiga mil (80,640 km) atau tiga farsakh (25,92 km) beliau salat dua rakaat” (RIWAYAT AHMAD, MUSLIM, DAN ABU DAWUD)


3. Salat yang diqasar itu ialah salat ada’an (tunai), bukan salat qada. Adapun salat yang ketinggalan di waktu dalam perjalanan, boleh diqasar kalau diqasar dalam perjalanan; tetapi yang ketinggai sewaktu mukim tidak boleh diqada dengan qasar sewaktu dalam perjalanan. 

4. Berniat qasar ketika takbiratul ihram.

Syarat Sah Mengikuti Imam (Tata Cara Makmum)

1. Makmum hendaklah berniat mengikuti imam. Adapun imam tidak disyaratkan berniat menjadi imam, hal itu hanyalah sunat, agar ia mendapat ganjaran berjamaah.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.” (RIWAYAT BUKHARI)


(baca juga : Arti Dan hukum Masbuq)

2. Makmum hendaklah mengikuti imam dalam segala pekerjaannya. Maksudnya, makmum hendaklah membaca takbiratul ihram sesudah imamnya; begitu juga permulaan segala perbuatan makmum, hendaklah terkemudian dari yang dilakukan oleh imamnya
 Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya imam itu dijadikan pemimpin supaya diikuti perbuatannya. Apabila ia telah takbir, hendaklah kamu takbir; dan apabila ia rukuk, hendaklah kamu rukuk pula.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya imam itu gunanya supaya diikuti perbuatannya. Maka apabila Ia takbir, hendaklah karnu takbir, janganlah kamu takbir sebelum Ia takbir. Apabila ia rukuk hendaklah kamu rukuk, janganlah kamu rukuk sebelum ia rukuk. Apabila ia sujud, hendaklah kamu sujud, janganlah kamu sujud sebelum Ia sujud.” (RIWAYAT AHMAD DAN ABU DAWUD)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Abu Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Apakah seseorang di antara kamu tidak takut apabila ia mengangkat kepalanya mendahului imam, Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala himar.” (RIWAYAT JAMA’AH AHLI HADIS)

“Dari Anas. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Hai manusia sesungguhnya aku imam bagi kamu, maka janganlah kamu mendahului aku waktu rukuk, sujud, berdiri, duduk, dan salam.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)


3. Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam, umpamanya dari berdiri ke rukuk, dan rukuk ke i’tidal, dan i’tidal ke sujud, dan seterusnya baik dengan melihat imam sendiri, melihat saf (barisan) yang di belakang imam, maupun mendengar suara imam atau suara mubalignya.

4. Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat, umpamanya dalam satu rumah. Sebagian ulama berpendapat bahwa salat di satu tempat itu tidak menjadi syarat, tetapi hanya sunat, sebab yang perlu ialah mengetahui gerak-gerik perpindahan imam dari rukun ke rukun atau dan rukun ke sunat, dan sebaliknya, agar makmum dapat mengikuti gerak-gerik imamnya.

5. Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan daripada imam. Yang dimaksud di sini ialah lebih depan ke arah kiblat. Bagi orang yang salat sambil berdiri diukur tumitnya, dan bagi orang yang duduk diukur pinggulnya. Adapun apabila berjamaah di Masjidil Haram, hendaklah saf mereka melengkung sekeliling Ka’bah; di lain pihak, imam berhadapan dengan makmum.

Susunan makmum :
Kalau makmum hanya seorang, hendaklah Ia berdiri di sebelah kanan imam agak ke belakang sedikit; dan apabila datang orang lain, hendaklah ia berdiri di sebelah kiri imam. Sesudah takbir, imam hendaklah maju, atau kedua orang itu (makmum) mundur. 

Sabda nabi : “Dari Jabir. Ia berkata, “Saya telah salat mengikuti Nabi Saw Saya berdiri di sebelah kanan beliau, kemudian datang jabir bin Sakhrin berdiri di sebelah kiri beliau, maka beliau inenganbil tangan kami berdua sehingga beliau dirikan kami di belakang beliau.” (RIWAYAT MUSLIM)

Kalau jamaah itu terdiri atas beberapa saf, terdiri atas jamaah laki-laki dewasa, kanak-kanak, danperempuan, hendaklah diatur saf sebagai berikut: Di belakang imam ialah saf laki-laki dewasa, saf kanak-kanak, kemudian saf perempuan.
“Nabi Saw. pernah mengatur saf laki-laki dewasa di depan saf kanak-kanak dan saf perempuan di belakang saf kanak-kanak. (RIWAYAT MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Abu Hurairah telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Sebaik-baik saf laki-laki dewasa ialah saf yang pertama seburuk-buruknya (saf laki-laki dewasa) ialah saf yang di belakang sekali. Sebaik-baik saf perempuan ialah saf yang di belakang sekali, dan seburuk-buruknya ialah saf yang pertama.” (RIWAYAT MUSLIM )


Saf hendaklah lurus dan rapat, berarti jangan ada renggang antara satu orang dengan yang lain.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Anas, “Rasulullah Saw. menghadapkan muka kepada kami sebelum takbir. Beliau berkata, Rapatkanlah dan luruskanlah barisan kamu’.” (RIWAYAT MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Amamah. Rasulullah Saw. telah bersabda, “Penuhkan olehmu jarak yang kosong di antara kamu. Karena sesungguhnya setan dapat masuk di antara kamu sebagai anak kambing.” (RIWAYAT AHMAD)

6. imam hendaklah jangan mengikuti yang lain. Imam itu hendaklah berpendirian, tidak terpengaruh oleh yang lain. Kalau Ia makmum, tentu Ia akan mengikuti imamnya.

7. Aturan salat makmum dengan salat imam hendaklah sama. Artinya, tidak sah salat fardu yang lima mengikuti salat gerhana atau salat mayat karena aturan (cara) kedua salat itu tidak sama. Tetapi orang yang salat fardu tidak berhalangan mengikuti orang yang salat sunat yang sama aturannya, seperti orang salat Isya mengikuti orang salat tarawih, dan sebaliknya, karena aturan kedua salat tersebut sama.

8. Laki-laki tidak sah mengikuti perempuan. Berarti laki-laki tidak boleh menjadi makmum jika imamnya perempuan. Adapun perempuan yang menjadi imam bagi perempuan pula, tidak berhalangan.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Perempuan janganlah dijadikan imam, sedangkan makmumnya laki-laki.” (RIWAYAT IBNU MAJAH)

9. Keadaan imam tidak ummi, sedangkan makmum qari. Artinya imam itu hendaklah orang yang baik bacaannya. 

10. Makmum janganlah berimam kepada orang yang ia ketahui tidak sah (batal) salatnya. Misalnya mengikuti imam yang makmum ketahui bukan orang Islam, atau ia berhadas atau bernajis badan, pakaian, atau tempatnya. Imam seperti itu hukumnya tidak sah dalam salat.

Tuesday 20 October 2015

Arti Dan Hukum Masbuq

Masbuq ialah orang yang mengikut kemudian, Ia tidak sempat membaca Fatihah beserta imam di rakaat pertama.

Hukumnya yaitu: Jika ia takbir sewaktu imam belum rukuk, hendaklah Ia membaca Fátihah sedapat mungkin. Apabila imam rukuk sebelum habis Fatihah-nya, hendaklah Ia rukuk pula mengikuti imam. Atau didapatinya imam sedang rukuk, hendaklah Ia rukuk pula. Ringkasnya, hendaklah Ia mengikuti bagaimana keadaan imam sesudah ia takbiratul ihram. (baca juga : Syarat Sah Mengikuti Imam)

Apabila masbuq mendapati imam sebelum rukuk atau sedang rukuk dan Ia dapat rukuk yang sempurna bersama imam, maka ia mendapat satu rakaat; berarti salatnya itu terhitung satu rakaat. Kemudian hendaklah kekurangan rakaatnya ditambah jika belum cukup, yaitu sesudah imam memberi salam.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabi1a seseorang di antara kamu datang untuk salat sewaktu kami sujud, hendaklah kamu sujud, dan janganlah kamu hitung itu satu rakaat; dan barang siapa yang mendapati rukuk beserta imam, maka ia telah mendapat satu rakaat.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

Adapun Fatihah-nya ditanggung oleh imam, ini adalah pendapat jumhurul ‘ulama. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa masbuq tidak mendapat satu rakaat kecuali apabila Ia dapat membaca Fatihah sebelum imam rukuk. Mereka beralasan dengan hadis berikut.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Bagaimana keadaan imam ketika kamu dapati, hendaklah kamu ikuti; dan apa yang ketinggalan olehmu, hendaklah kamu sempurnakan.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Orang yang lebih berhak menjadi imam ialah orang yang disebutkan dalam hadis berikut.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Uqbah bin Amr, “Rasulullah Saw. telah berkata, ‘Yang menjadi imam di antara kamu ialah mereka yang terbaik bacaannya. Kalau mereka sama bacaannya, maka yang terpandai dalam sunnah; kalau kepandaian mereka sama dalam sunnah, dilihat yang lebih dulu berhijrah (ke Madinah); kalau bersamaan pula, dilihat yang lebih tua. Janganlah diimamkan seseorang di tempat kekuasaan laki-laki lain (artinya tuan rumah lebih berhak menjadi imam), dan janganlah seseorang duduk di rumah orang lain di atas tikarnya kecuali dengan izin tuan rumah itu’.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

Imam yang dibenci
Apabila seseorang menjadi imam masjid, langgar, atau tempat-tempat berjamaah yang lain, tetapi kaum (orang banyak) yang berjamaah di situ benci kepadanya, sedangkan kebencian mereka kepadanya disebabkan oleh keagamaan, maka hukum imam yang seperti itu menurut sebagian ulama haram, sebagian lagi berpendapat makruh. Dengan adanya kebencian itu mereka tentu akan menjauhkan diri darinya dan salat berjamaah di situ akan berkurang, ataupun mungkin juga menimbulkan fitnah yang tidak diinginkan oleh agama Islam.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abdulllah bin Umar,; “Rosulullah Saw. Telah berkata, Allah tidak menerima salat orang yang menjadi imam di antara satu kaum, sedangkan mereka benci kepadanyu.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN IBNU MAJAH).

Sunday 18 October 2015

Sunnah Dalam Khotbah Jumat

Sunnah-sunnah Dalam Khotbah Jumat

1. Khotbah itu hendaklah dilakukan di atas mimbar atau di tempat tang tinggi. Keterangannya adalah amal Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mimbar tiga tangga tempatnya di sebelah kanan pengimaman. 

2. Khotbah itu diucapkan dengan kalimat yang fasih, terang, mudah dipahami, sederhana, tidak terlalu panjang, dan tidak pula terlalu pendek. 

3. Khatib hendaklah tetap menghadap orang banyak jangan berputar-putar, karena yang demikian itu tidak disyariatkan. 

4. Membaca surat Al-Ikhlas sewaktu duduk di antara dua khotbah. 

5. Menertibkan tiga rukun, yaitu dimulai dengan puji-pujian, kemudian salawat atas Nabi Saw., lalu berwasiat (memberi nasihat). Selain itu tidak ada tertib. 

6. Pendengar hendaklah diam serta memperhatikan khotbah. Banyak ulama mengatakan bahwa haram bercakap-cakap ketika mendengarkan khotbah.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Hurairah. Bahwasanya Nabi Saw. telah berkata, Apabila engkau katakan diam kepada temanmu pada hari Jumat sewaktu imam berkhotbah, maka sesungguhnya engkau telah menghapuspahala salat Jumatmu.” (RIWAYAT BUKHARI) 

7. Khatib hendaklah memberi salam. 

8. Khatib hendaklah duduk di atas mimbar sesudah memberi salam, dan sesudah duduk itulah azan dikumandangkan.

(baca juga : Syarat Dan Rukun Khutbah Jumat)

Azan Jumat
Menurut pendapat yang mu’tamad, sesungguhnya azan Jumat itu hanya sekali saja, yaitu sewaktu khatib sudah duduk di atas mimbar.

Supaya menjadi perhatian kepada yang ingin menyelidiki sesuatu dengan jelas dan terang, maka di sini akan saya salin sedikit keterang dari Imam Syafii yang tersebut dalam kitab beliau, Al-Um. Beliau berkata, “Seorang yang saya percayai telah mengabarkan kepada saya bahwa azan Jumat itu di masa Nabi Saw. dan di masa khalifah pertama dan kedua dilakukan ketika imam sedang duduk di atas mimbar. Maka setelah khalifah yang ketiga (Usman), ketika itu orang sudah bertambah banyak, maka disuruh mengadakan azan sebelum imam duduk di mimbar, kemudian azan yang asal dilakukan pula. Sejak waktu itu terjadilah keadaan seperti yang ada sekarang (dua azan).” Katanya pula, “Ata’ telah membantah keterangan yang mengatakan bahwa Usman yang mengadakan azan pertama itu, tetapi sebenarnya -kata Ata’- yang mengadakan azan seperti itu ialah Mu’awiyah.” Kemudian Imam Syafli berkata pula “yang manakah diantara keduanya yang lebih baik?” Kata beliau, “Menurut saya, yang lebih baik ialah yang dikerjakan di masa Rasulullah Saw.”

Saturday 17 October 2015

Sunah Dalam Shalat Jumat

Sunah-Sunnah Dalam Shalat Jumat
(baca juga : Syarat Sah Dan Syarat Wajib Jumat)
1. Disunatkan mandi pada hari Jumat bagi orang yang akan pergi ke masjid untuk salat Jumat. 

2. Berhias dengan memakai pakaian yang sebaik-baiknya, dan lebih baik yang berwarna putih. 

3. Memakai wangi-wangian
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa mandi pada hari Jumat, memakai pakaian yang sebaik-baiknya, memakai wangi-wangian kalau ada, kemudian ia pergi mendatangi Jumat, dan di sana ia tidak melangkahi duduk manusia, kemudian ia salat sunat serta diam ketika imam keluar sampai selesai salatnya, maka yang demikian itu akan menghapuskan dosanya antara Jumat itu dan Jumat yang sebelurnnya.” (RIWAVAT IBNU HIBBAN DAN HAKIM) 

4. Memotong kuku, menggunting kumis, dan menyisir rambut.
Hadis : “Rasulullah Saw memotong kuku dan menggunting kumis pada hari Jumat sebelum beliau pergi salat.” (RIWAYAT BAIHAQI DAN TABRANI)

5. Segera pergi ke Jumat dengan berjalan kaki. 

6. Hendakah Ia membaca Qur’an atau zikir sebelum khotbah. 

7. Paling baik ialah membaca surat Al-Kahfi.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barang siapa membaca suraf Al-Kahfi pada hari Jumat, cahaya antara dua Jumat akan menyinarinya. (RIWAYAT HAKIM DAN IA MENYAHIHKAN) 

8. Hendaklah memperbanyak doa dan salawat atas Nabi Saw. pada hari Jumat dan pada malamnya.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Hendaklah kamu perbanyak membaca salawat atasku pada malam dan huri Jumat. Maka barang siapa yang membacakan satu salawat atasku, Allah akan memberinya sepuluh berkat.” (RIWAYAT BAIHAQI)

Uzur (halangan) Jumat
Yang dimaksud dengan halangan ialah orang yang tertimpa salah satu dari halangan-halangan yang disebutkan di bawah ini. degan demikian, ia tidak wajib salat Jumat.

1. Karena sakit.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Salat Jumat itu perkara hak yang diwijibkan atas setiap orang Islam dengun berjamaah, kecuali empat macam orang, (1) Hamba sahaya yang dimiliki. (2) perempuan, (3) anak-anak. (4) orang sakit.. (RIWAYAT ABU DAWUD DAN HAKIM)

2. Karena hujan; apabila karena hujan itu orang mendapat kesukaran untuk pergi ke tempat Jumat.
Hadis : “Dari Ibnu Abbas, Ia berkata kepada tukang azannya (bilal) disuatu hari turun hujan, “apabila engkau mengucapkan (dalam azan,”saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah”, sesudah itu janganlah kau ucapkan “marilah sholat” tetapi ucapkan olehmu “shalatlah kamu dirumah kamu”. Kata ibnu Abbas pula,”seolah-olah orang banyak membantah yang demikian”, kemudian katanya pula “adakah kamu merasa heran mengenai hal ini ? sesungguhnya hal ini tidak diperbuat oleh orang yang lebih baik daripada saya, yaitu Nabi SAW, sesungguhnya jumat itu wajib, sedangkan saya tidak suka membiarkan kamu keluar berjalan dilumpur dan tempat yang licin.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim ditegaskan bahwa ibnu Abbas menyuruh tukang azannya puda hari Jumat di saat hari turun hujan.

Menurut ulama, dikiaskan dengan hujan ini “tiap-tiap kesukaran yang menyusahkan pergi ke tempat Jumat.

Wednesday 14 October 2015

Syarat Dan Rukun Khotbah Jumat

Rukun dua khotbah Jumat
1. Mengucapkan puji-pujian kepada Allah. Keterangannya adalah amal Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim. 

2. Membaca salawat atas Rasulullah Saw. Sebagian ulama berkata bahwa salawat ini tidak wajib, berarti bukan rukun khotbah.

3. Mengucapkan syahadat (bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya).
Sabda Rasulullah Saw.:
“Tiap-tiap khotbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang terpotong.” (RIWAYAT AHMAD DAN ABU DAWUD) 

4. Berwasiat (bernasihat) dengan takwa dan mengajarkan apa-apa yang perlu kepada pendengar, sesuai dengan keadaan tempat dan waktu, baik urusan agama maupun urusan dunia -seperti ibadat, kesopanan, pergaulan, perekonomian, pertanian, siasat, dan sebagainya- serta bahasa yang dipahami oleh pendengar.

5. Membaca ayat Qur’an pada salah satu dari kedua khotbah.
Hadis : “Dari Jabir bin Samurah. Ia berkata, “Rasulullah Saw khotbah sambil berdiri. Beliau duduk di antara keduanya lalu beliau membacakan beberapa ayat Qur’an, memperingatkan, dan mempertakuti manusia. (RIWAYAT MUSLIM) 

6. Berdoa untuk mukminin dan mukminat pada khotbah yang kedua. Sebagian ulama berpendapat bahwa doa dalam khotbah tidak wajib sebagaimana juga dalam selain khotbah.

Syarat dua khotbah
  1. Kedua khotbah itu hendaklah dimulai sesudah tergelincir matahari. Keterangannya yaitu amal Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari.
  2. Sewaktu berkhotbah hendaklah berdiri jika mampu. Keterangannya adalah amal Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim.
  3. Khatib hendaklah duduk di antara kedua khotbah, sekurang-kurangnya berhenti sebentar. Hal ini berdasarkan amal Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim.
  4. Hendaklah dengan suara yang keras kira-kira terdengar oleh bilangan yang sah Jumat dengan mereka, sebab yang dimaksud dengan “mengadakan khotbah” itu ialah untuk pelajaran dan nasihat kepada mereka.
  5. Hendaklah berturut-turut baik rukun, jarak keduanya, maupun jarak antara keduanya dengan salat.
  6. Khatib hendaklah suci dari hadas dan najis. Keterangannya adalah amal Rasulullah Saw.
  7. Khatib hendaklah menutup auratnya. Hal ini berdasarkan amal Rasulullah Saw.
Catatan
(baca juga : Sunnah Dalam Khutbah Jumat)
Sebagian ulama berpendapat bahwa khotbah itu hendaklah mempergunakan bahasa Arab, karena di masa Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabat beliau khotbah itu selalu berbahasa Arab. Tetapi mereka lupa bahwa keadaan di waktu itu hanya memerlukan bahasa Arab karena bahasa itulah yang umum dipergunakan oleh para pendengar. Mereka lupa bahwa maksud mengadakan khotbah ialah memberikan pelajaran dan nasihat kepada kaum muslim, dan yang mendengar diperintahkan supaya tenang (mendengarkan dan memperhatikan isi khotbah itu).
Firman Allah Swt.:
“Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (AL-ARAF: 204)

Beberapa orang ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan karena berkaitan dengan urusan khotbah.

Kalau khatib berkhotbah dengan bahasa yang tidak dipahami oleh perndengar, sudah tentu maksud khotbah itu akan sia-sia belaka. Pendengar akan dipersalahkan pula karena tidak menjalankan perintah (memperhatikan khotbah), sedangkan perintah itu tidak dapat mereka jalankan karena mereka tidak mengerti. Jadi, memberi pekerjaan kepada orang yang sudah jelas tidak dapat mengerjakannya merupakan perbuatan yang tidak berfaedah. Hal ini tentu tidak layak timbul dari agama yang maha adil!
Firman Allah Swt.:
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (IBRAHIM: 4)

Allah SWT. mengirim utusan-Nya dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kaum yang diperintah, supaya utusan itu berfaedah bagi mereka.

Dengan keterangan yang singkat itu nyatalah kesalahan pendapat sebagian ulama tadi, dan jelaslah bagi kita bahwa khotbah-khotbah di Indonesia hendaklah mempergunakan bahasa Indonesia, supaya khotbah itu berguna bagi pendengar dan supaya pendengar tidak melangga,. perintah (insaf). Khotbah itu pun hendaklah berisi perkara Perkara yang berguna bagi si pendengar di masa itu, yaitu tentang urusan yang bersangkutan dengan soal umum.

Tuesday 13 October 2015

Syarat Sah Dan Syarat Wajib Shalat Jumat

Salat Jumat ialah salat dua rakaat sesudah khotbah pada waktu Lohor pada hari Jumat. (baca juga : Sunnah Dalam Shalat Jumat)

Hukum salat Jumat itu fardu‘ain, artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama Islam, merdeka, dan tetap di dalam negeri. Perempuan, kanak-kanak, hamba sahaya, dan orang yang sedang dalam perjalanan tidak wajib salat Jumat.
Firman Allah Swt.:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (AI-JUMUKH: 9)

Yang dimaksud dengan “jual beli” ialah segala pekerjaan selain dari urusan salat.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Salat Jumat itu hak yang wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam dengan berjamaah, kecuali empat macam orang: (1) Hamba sahaya yang dimiliki (2) perempuan, (3) anak-anak, (4) orang sakit.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN HAKIM)

“Hendaklah para kaum benar-benar menghentikan kebiasaan mereka meninggalkan salat Jumat, atau Allah benar-benar akan mengunci niat hati mereka, kemudian mereka benar-benar termasuk orang-orang yang lalai.” (RIWAYAT MUSLIM)


Syarat-syarat wajib Jumat
1. Islam, tidak wajib atas orang non Islam.
2. Balig (dewasa), tidak wajib Jumat atas kanak-kanak.
3. Berakal, tidak wajib Jumat atas orang gila.
4. Laki-laki, tidak wajib Jumat atas perempuan.
5. Sehat, tidak wajib Jumat atas orang sakit atau berhalangan.
6. Tetap di dalam negeri, tidak wajib Jumat atas orang yang sedang dalam perjalanan.

Syarat sah mendirikan Shalat Jumat
1. Hendaklah diadakan di dalam negeri yang penduduknya menetap, yang telah dijadikan watan (tempat-tempat), baik di kota-kota maupun di kampung-kampung (desa-desa). Maka tidak sah mendirikan Jumat di ladang-ladang yang penduduknya hanya tinggal di sana untuk sementara waktu saja. Di masa Rasulullah Saw. dan di masa sahabat yang empat, Jumat tidak pernah didirikan selain di negeri yang penduduknya menetap. 

2. Berjamaah, karena di masa Rasulullah Saw. salat Jumat tidak pernah dilakukan sendiri-sendiri. Bilangan jamaah, menurut pendapat sebgian ulama, sekurang-kurangnya adalah empat puluh orang laki-laki dewasa dari penduduk negeri. Ulama yang lain mengatakan lebih dari empat puluh. Sebagian lagi berpendapat cukup dengan dua orang saja, karena dua orang pun sudah dapat dikatakan berjamaah. Tentang bilangan ini sungguh banyak sekali pendapat, tetapi karena kitab ini hanya untuk seperlunya serta dengan seringkas-ringkasnya saja, maka Pendapat-pendapat (mazhab) dan keterangan-keterangan satu persatunya tidak dapat diterangkan di sini.

3. Hendaklah dikerjakan di waktu Lohor.
Hadis : “Dari Anas, “Rasulullah Saw. salat Jumat ketika matahari telah tengelincir.” (RIWAYAT BUKHARI)
4. Hendak’ didahului oleh dua khotbah.
Hadis : “Dari Ibnu Umar: “Rasulullah Saw. berkhotbah dua khotbah pada hari Jumat dengan berdiri, dan beliau duduk di antara dua khotbah iitu.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Monday 12 October 2015

Sunah-Sunah Dalam Shalat

1. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram sampai tinggi ujung jari sejajar dengan telinga, telapak tangan setinggi bahu, keduanya dihadapkan ke kiblat. 

2. Mengangkat kedua tangan ketika akan rukuk, ketika berdiri dan rukuk, dan tatkala berdiri dari tasyahud awal dengan cara yang telah diterangkan pada takbiratul ihram.
Sabda Nabi :
“Dari Ibnu Urnar. Ia berkata, Apabila Nabi Saw. hendak melakukan salat, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga keduanya satma tinggi dengan kedua belah bahunya, kemudian baru beliau takbir. Apabila hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya seperti demikian; dan apabila bangun dari rukuk, beliau angkat pula kedua tangannya seperti demikian.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Beliau tidak rnengangkat kedua tangan ketika bangkit dan sujud, dan tidak pula ketika duduk antara dua sujud.” (RIWAYAT MUSLIM)
 
“Apabila beliau berdiri dan rakaat yang kedua, beliau mengangkat kedwi tangannya”. (RIWAYAT BUKHARI)
3. Meletakkan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri, dan keduanya diletakkan di bawah dada. Menurut sebagian ulama diletakkan di bawah pusat.
Sabda Nabi :
“Dari Wail bin Hujrin, “Saya telah salat beserta Rasulullah Saw Beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas tangan kirinya di atas dada beliau.” (RIWAYAT IBNU KHUZAIMAH)

4. Melihat ke arah tempat sujud, selain pada waktu membaca “Ashadu anlailaha illallah” dalam tasyahud. Ketika itu hendaklah melihat ke telunjuk.
 
5. Membaca doa iftitah sesudah takbiratul ihram, sebelum membaca AI-Fatihah.
Lafaznya :

Hadisnya:
“Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw apabila telah mengucap takbir dalam salat, beliau diam sebentar sebelurn menibaca Fatihah. Saya bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, apakah yang engkau baca di antara takbir dan Fatihah?’ Jawab beliau, ‘Saya membaca: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dan kesalahanku sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, basuhlah kesalahanku dengan air es, dan embun’.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Atau dengan lafaz yang tersebut dalam hadis lain yaitu :


“Aku menghadapkan mukaku ke hadirat yang menjadikan langit dan bumi dengan tunduk menyerahkan diri. Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Sesungguhnya salatku, ibadatku, hidup dan matiku hanyalah untuk Tuhan semesta alam. Tuhan yang tidak bersekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (RIWAYAT MUSLIM)

6. Membaca “a’uzubillahi minasyaitoni rojim” yang artinya “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.”(RIWAYAT ABU SA’ID AL-KHUDRI), sebelum membaca bismillah.
Firman Allah Swt.:
“Apabila kamu membaca AI-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (AN-NAFIL 98)

Diam sebentar sebelum membaca AI-Fatihah dan sesudahnya.
Hadis Nabi : “Dari Samurah, “Nabi Saw. diam sebentar apabila sudah takbir dan apabila sudah selesai dari membaca Al-Fatihah.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

7. Membaca amin sehabis membaca Fatihah. Sebelum membaca amin. disunatkafn pula membaca: “robbigh firli”

Kalau Al-Fatihah dibaca dengan suara keras, amin juga demikian. Sebaliknya kalau Al-Fatihah tidak dibaca keras, amin pun tidak.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila imam berkata walad-dallin, hendaklah kamu berkata amn. Maka sesungguhnya malaikat berkata amin pula, dan imam juga berkata amin. Maka barang siapa yang sama-sama amifn-nya dengan amin malaikat, diampuni dosanya yang telah lalu.” (RIWAYAT AHMAD DAN NASAI)

“Dari Wail bin Hujrin. la telah mendengar Rasulullah Saw. ketika selesai membaca walad-dallin, beliau membaca rabbig firli ãmin. (RIWAYAI TABRAN1 DAN BAIHAQI)

9. Membaca surat atau ayat Qur’an bagi imam atau orang salat sendiri sesudah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama (ke-1 dan ke-2) dalam tiap-tiap salat. Surat atau ayat yang dibaca dalam rakaat pertama hendaklah lebih panjang daripada yang dibaca dalam rakaat kedua, dan kedua surat itu hendaklah berurutan sebagaimana urutan dalam Qur’an.
Hadist Nabi : “Dari Abu Qatadah, “Sesungguhnya Nabi Saw. membaca Al-Fatihah dan dua surat pada dua rakaat yang pertama waktu salat Lohor. Pada dua rakaat yang akhir (ke-3 dan ke-4) beliau membaca Al-Fatihah saja; ayat yang beliau baca itu sewaktu-waktu (kadang-kadang) beliau perdengarkan kepada kami; ayat yang beliau baca dalam rakaat pertama lebih panjang daripada yang beliau baca dalam rakaat kedua. Demikian pula pada salat Asar dan pada salat Subuh.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

10. Sunat bagi makmum mendengarkan bacaan imamnya.
Firman Allah Swt.:
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik.” (AL-A’RAF: 204)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila kamu salat di belakang saya (mengikuti saya), maka janganlah kamu baca apa-apa selain Ummul-Qur’an (A1-Fatihah) “ (RIWAYAT TIRMIZI)

11. Mengeraskan bacaan pada salat Subuh dan pada dua rakaat yang pertama pada salat Magrib dan Isya, begitu juga salat Jumat, salat Hari Raya, Tarawih, dan Witir dalam bulan Ramadan, beralasan dengan amalan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari.

12. Takbir tatkala turun dan bangkit, selain ketika bangkit dari rukuk.

13. Ketika bangkit dan rukuk membaca “samiallahu liman hamidah”
 
14. Tatkala i’tidal membaca ”robbana walakal hamdu”
Hadis Nabi : “Dari Ahu Hurairah. Rasulullah Saw. apabila berdiri untuk salat, beliau takbir ketika berdiri, takbir ketika rukuk, kemudian membaca Samiallahu liman hamidah ketika bangkit dari rukuk, lalu membaca rabbana walakalhamdu ketika i‘tidal. Beliau takbir ketika turun akan sujud, kemudian takbir ketika bangun dari sujud, lalu takbir lagi ketika sujud kedua dan ketika bangkit dari sujud. Beliau lakukan demikian pada semua rakaat salat, dan beliau takbir ketika berdiri dari rakaat yang kedua sesudah tasyahud pertama.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

15. Meletakkan dua tapak tangan di atas lutut ketika rukuk. Keterangan yaitu amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)
 
16. Membaca tasbih tiga kali ketika rukuk. Lafaznya “subhana rabbiyal adzimi” yang artinya“Mahasuci Tuhanku Yang Maha Agung.” (Riwayat Muslim)
 
17. Membaca tasbih tiga kali ketika sujud. Lafaznya “subhana rabbiyal a’la” yang artinya “Mahasuci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” (RIWAYAT MUSLIM DAN ABU DAWUD)
 
18. Membaca doa ketika duduk antara dua sujud. Lafaznya: “Allahumaghfirli warhamni wajburni wahdini warzukni”
Hadis Nabi : “Dari Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi Saw. membaca di antara dua sujud: Ya Allah, ampunilah aku, berilah rahmat kepadaku, cukupilah aku, pimpinlah aku, dan berilah rezeki kepadaku’.” (RIWAYAT TIRMIZI DAN ABU DAWUD)
 
19. Duduk iftirasy (bersimpuh- duduk di atas mata kaki kiri, tapak kaki kanan ditegakkan, ujung jari kaki kanan dihadapkan ke kiblat) pada semua duduk dalam salat, kecuali duduk akhir. Keterangannya yaitu amal Rasutullah Saw. (RIWAYAT TIRMIZI) 

20. Duduk tawarruk di duduk akhir (Seperti iftirasy juga, tetapi tapak kakinya yang kiri dikeluarkan ke sebelah kanan, dan pantatnya sampai ke tanah). Keterangannya adalah amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI)

21. Duduk istirahat (sebentar) sesudah sujud kedua sebelum berdiri. Beralasan kepada amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI)

22. Bertumpu pada tanah tatkala hendak berdiri dari duduk. Keterangannya amal Rasulullah Saw. (RIWAYAT BUKHARI)

23. Memberi salam yang kedua, hendaklah menoleh ke sebelah kiri sampai pipi yang kiri itu kelihatan dan belakang.
Hadis Nabi “Dari Sa’id bin Abi Waqas. Ia berkata, “Saya lihat Nabi Saw. memberi salam ke kanan dan ke kiri sehingga kelihatan putih pipi beliau.” (RIWAYAT MUSLIM)

24. Ketika memberi salam hendaklah diniatkan memberi salam kepada yang di sebelah kanan dan kirinya, baik terhadap manusia maupun malaikat. Imam memberii salam kepada makmum, dan makmum berniat menjawab salam imam.

Saturday 10 October 2015

Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat

Hal-Hal Yang Membatalkan Shalat
1. Meninggalkan salah satu rukun atau sengaja memutuskan rukun sebelum sempurna, umpamanya melakukan i’tidal sebelum sempurna rukuk.

2. Meninggalkan salah satu syarat.
Misalnya berhadas, dan terkena najis yang tidak dimaafkan, baik pada badan ataupun pakaian, sedangkan najis itu tidak dapat dibuang ketika itu. Kalau najis itu dapat dibuang ketika itu juga, maka salatnya tidak batal. Serta terbuka aurat, sedangkan ketika itu tidak dapat ditutup. Kalau ketika itu juga dapat ditutup kembali, maka salat tidak batal.

3. Sengaja berbicara dengan kata-kata yang biasa ditujukan kepada manusia, sekalipun kata-kata tersebut bersangkutan dengan salat, kecuali jika lupa.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Rasulullah Saw berkata kepada Mu’awiyah bin Hakam, “Sesungguhnya salat itu tidak pantas disertai dengan percakapan manusia. Yang layak dalam salat ialah tasbih, takbir, dan membaca Qur’an.” (RIWAYAT MUSLIM DAN AHMAD)

Apabila orang yang sedang salat hendak memberitahukan suatu kejadian karena amat penting (darurat), misalnya memperingatkan imam, memperingatkan orang yang akan terjatuh, atau memberi izin kepada orang yang akan masuk ke rumahnya, hendaklah ia membaca tasbih (subhanallah) kalau laki-laki; dan kalau perempuan hendaklah bertepuk.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Sahi bin Sa’di, dari Nabi Saw., “Barang siapa yang terpaksa untuk rnemberitahukan suatu kejadian dalam salat, hendaklah ia membaca tasbih, dan hanya bertepuk tangan untuk perempuan.” RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Adapun mendeham-deham atau menunjuki bacaan imam apabila ia ragu-ragu atau lupa, tidaklah membatalkan salat.
Sabda Nabi : “Dari Ali k.w. ia berkata, “Saya diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. datang kepada beliau, baik di waktu siang ataupun di waktu malam. Dan apabila saya datang kepada beliau di waktu beliau sedang salat, beliau mendeham-deham kepada saya (untuk mengizinkan saya).”(RIWAYAT AHMAD, IBNU MAJAH, DAN NASAI)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi Saw. telah membaca sesuatu ketika salat, tetapi beliau ragu-ragu pada bacaan itu. Setelah salat beliau berkata kepada Umar, adakah engkau ikut salat tadi bersama dengan kami?’Jawab Umar, ‘Ya, saya ikut.’Rasulullah Saw berkata, ‘Mengapa tidak engkau tunjuki saya dalam bacaan tadi’?”(RIWAYAT ABU DAWUD)

4. Banyak bergerak.
Melakukan sesuatu dengan tidak ada perlunya (hajat), seperti bergerak tiga langkah atau memukul tiga kali berturut-turut. Karena orang yang dalam salat itu hanya disuruh mengerjakan yang berhubungan dengan salat saja, sedangkan pekerjaan yang lain hendaklah ditinggalkan.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ibnu Fasuti. bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Sesungguhnva dalam salat itu sudah ada pekerjaan yang tertentu (tidak layak ada pekerjaan yang lain)” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Adapun apabila ada hajat pada perbuatan yang lain, maka tidak ada halangan. Umpamanya salat sewaktu sangat takut dalam peperangan, atau melihat kalajengking atau ular akan menggigit, maka tidak ada halangan ia bergerak atau melangkah; begitu juga gerak yang sedikit, seperti menggerakkan jari atau lidah, karena yang demikian itu tidak mengubah rupa aturan salat;
“Rasululbih Saw menyuruh membunuh kalajengking dan ular ketika salat. (RIWAYAT ABU DAWUD DAN TIRMIZI)

5. Makan atau minum.
Keterangannya sebagaimana keterangan no. 4. Keadaan makan dan minum itu sangat berlawanan dengan keadaan salat.

Friday 9 October 2015

Halangan Yang Diperbolehkan Untuk Tidak Sahalat Berjamaah

Kita diperbolehkan meninggalkan salat berjamaah karena beberapa halangan berikut:
1. Karena hujan yang menyusahkan perjalanan ke tempat berjamaah.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Jabir, “Kami telah berjalan bersama-sama Rasulullah dalam perjalanan itu kami kehujanan. Rasulullah berkata, ‘Orang yang hendak  salat, salatlah di kendaraannya masing-masing.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

2. Karena angin kencang.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Pada suatu malam yang dingin serta berangin badai, Nabi Saw. menyuruh seseorang supaya berseru, “Ketahuilah  Salatlah kamu di atas kendaraan kamu.” (RIWAYAT SYAFI’I)

3. Sakit yang menyusahkan berjalan ke tempat berjamaah.
Hadis : “Tatkala Rasulullah Saw sakit, beliau tinggalkan salat berjamaah beberapa hari. (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

4. Karena lapar dan haus, sedangkan makanan sudah tersedia. Begitu juga ketika sangat ingin buang air besar atau buang air kecil.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Aisyah. Rasulullah Saw. telah bersabda, “Jangan salat sewaktu makanan telah dihidangkan (di hadapannya) dan sewaktu orang yang bersangkutan menahan dua hajatnya (kencing dan buang air besar).” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

5. Karena baru memakan makanan yang berbau busuk, dan baunya sukar dihilangkan, seperti bawang, petai, jengko, dan sebagainya.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Barangsiapa makan bawang merah, bawang putih, atau kucai, maka ia jangan mendekati masjid.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

6. Ada sesuatu yang membawa masyaqat (kesulitan) untuk menjalankan salat berjamaah. Halangan tersebut ialah terhadap orang yang tidak mungkin berjamaah di rumahnya. Adapun orang yang dapat berjamaah di rumahnya, hendaklah ia berjamaah di rumahnya.

Halangan di sini maksudnya ialah orang yang berhalangan itu tidak berdosa meninggalkan berjamaah, sekalipun berjamaah itu wajib. Tidak makruh meninggalkan berjamaah sekalipun berjamaah itu sunat istimewa (sunat muakkad).

Thursday 8 October 2015

Hukum Dan Dalil Shalat Berjamaah

Apabila dua orang salat bersama-sama dan salah seorang di antara mereka mengikuti yang lain, keduanya dinamakan salat berjamaah.

Orang yang diikuti (yang di hadapan) dinamakan imam, sedangkan yang mengikuti di belakang dinamakan makmum.
Firman Allah Swt.:
“Dan apabila katnu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dan mereka berdiri (salat) bersamamu.” (AN-NISA: 102)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Kebaikan salat berjamaah melebihi salat sendirian sebanyak 27 derajat.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Sahabat Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa seorang tunanetra datang kepada Nabi Saw, lalu ia bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak menemukan seseorang yang menuntunku ke masjid. “Maka Nabi Saw. memberikan kemurahan (dispensasi) kepadanya. Ketika ia berpaling Nabi Saw. memanggilnya, lalu bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan (azan) untuk salat?” Ia menjawab “Ya.” Nabi Saw bersabda, “Penuhilah seruannya.” (RIWAYAT MUSLIM)

“Dari Abu Hurairah. Nabi Saw. telah berkata, “Seandainya tidak ada perempuan-perempuan dan salat berjamaah di rumah, aku kerjakan salat Isya di masjid. Dan aku suruh pemuda-pemudaku untuk membakar rumah-rumah itu dengan segala isinya.”

Hukum salat berjamaah
Sebagian ulama mengatakan bahwa salat berjamaah itu adalah fardu‘ain (wajib‘ain), sebagian berpendapat bahwa salat berjamaah itu fardu kifayah, dan sebagian lagi berpendapat sunat muakkad (surat istimewa). Yang akhir inilah hukum yang lebih layak, kecuali bagi salat Jumat. Menurut kaidah persesuaian beberapa dalil dalam masalah ini, seperti yang telah disebutkan di atas, pengarang Nailul Autar berkata, “Pendapat yang seadil-adilnya dan lebih dekat kepada yang betul masalah salat berjamaah itu sunat muakkad.”

Bagi laki-laki, salat lima waktu berjamaah di masjid Iebih baik daripada salat berjamaah di rumah; kecuali salat sunat, maka di rumah lebih baik. Bagi perempuan, salat di rumah lebih baik karena hal itu lebih aman bagi mereka.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Hai manusia, salatlah kamu di rumah kamu masing-masing. Sesungguhnya sebaik-baik salat ialah salat seseorang di rumahnya, kecuali salat lima waktu (maka di masjid lebih baik).” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Janganlah kamu melarang perempuan-perempuanmu ke masjid, walaupun rumah mereka (perempuan) lebih baik bagi mereka buat beribadat.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

Catatan Penting :
1. Salat berjamaah, makin banyak dikerjakan makin baik.
“Dari Ubay bin Ka’ab. Ia berkata, “Rasulullah Saw. telah berkata ‘Salat seorang laki-laki beserta seorang laki-laki lebih banyak ganjarannya daripada ia salat seorang diri. Dan salat seorang laki-laki beserta dua orang laki-laki lebih banyak ganjarannya daripada ia salat bersama-sama dengan seorang laki-laki saja. Manakala jamaah lebih banyak, maka jamaah itu lebih dikasihi Allah’. (RIWAYAT AHMAD, ABU DAWUD DAN NASAI)

2. Masih mendapat kebaikan berjamaah bila makmum masih dapat mengikutinya sebelum imam memberi salam. Akan tetapi, makmum yang mengikuti dan mula-mula mendapat ganjaran lebih banyak daripada makmum yang mengikuti kemudian. 

3. Imam hendaklah merngankan salatnya, kecuali kalau makmumnya hanya terdiri atas kaum yang terbatas banyaknya dan mereka suka bila diperpanjang.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabila salah seorang di antara kamu menjadi imam, hendaklah diringankan salatnya karena manusia itu ada yang tua, kecil, lemah, dan ada yang mempunyai keperluan lain. Apabila seseorang di antara kamu salat sendirian, maka bolehlah ia memanjangkan salatnya sekehendaknya.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sunday 4 October 2015

Bacaan Zikir Sesudah Shalat Fardu

Seusai memberi salam pada setiap salat fardu, disunatkan membaca:
Hadis : “Saya minta ampun kepada Allah Yang Maha besar (3x). Ya Allah, sejahteralah Engkau dan dari Engkaulah kesjahteraan, Engkaulah yang kuasa memberi berkah yang banyak. Wahai Tuhanku, yang mempunyai sifat kemegahan dan kemuliaan.” (RIWAYAT MUSLIM)

Bacaan ini dibaca oleh Rasulullah Saw., menurut riwayat Muslim. 


“Ya Allah, tiada yang dapat menghalangi sesuatu yang Engkau berikan, tiada yang dapat memberi sesuatu yang Engkau halangi, tiada yang dapat menolak sesuatu yang telah Engkau pastikan, dan tiada bermanfaat kekayaan bagi yang mempunyai kekayaan, hanya dari Engkaulah kekayaan.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Lalu :


"Maha suci Allah (33x). Segala puji-pujian bagi Allah (33x), Allah Maha besar (33x), Tidak ada Tuhan melainkan Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah yang mernpunyai kekuasaan yang memerintahkan segala perintah, dan bagi-Nya segala puji-pujian dan ia berkuasa atas segala sesuatu.” (RIWAYAT MUSLIM)



Wednesday 23 September 2015

Cara Menyembelih Dan Memotong Hewan

Tanya : Saya menyembelih dengan membaca basmalah, shalawat, dan tasyahud. Apakah cara ini sudah benar?

Jawab : Kita umat Islam, dalam kehidupan sehari-hari sudah sangat terbiasa dengan penyembelihan binatang, seperti ayam, kambing, kerbau dan lain-lain. Dalam rangka penyelenggaraan walimah al-urus, aqiqah (Jawa: kekah) anak yang baru lahir, menunaikan qurban, atau untuk keperluan konsumsi.

Islam memandang seluruh alam semesta diciptakan Allah untuk kepentingan umat manusia, agar mampu mempertahankan hidupnya. Bumi yang kita tempati dapat mencukupi kebutuhan manusia. Kalau ada kelaparan, hal itu lebih dikarenakan ketidakmampuan atau ketidakmauan mengolah, atau distribusi yang kurang merata. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Oleh karena itu para ulama ushul fikih menetapkan satu kaidah, segala sesuatu yang bermanfaat dan tidak berdampak negatif, pada dasarnya halal dikonsumsi “al-ashl fi ma yanfa’ al-hill’, kecuali terhadap dalil dari Al-Quran atau hadis yang melarang. Dengan demikian, kita mengenal pembagian dan pemilahan antara yang halal dan haram.

Salah satu sebab mengapa suatu benda (hewan atau benda mati) diharamkan, adalah karena najis, misalnya bangkai (mayat). Bangkai adalah hewan yang mati tanpa proses penyembelihan secara syar’i. Dengan demikian, hewan yang halal tidak boleh dikonsumsi atau dimasak sebelum lebih dahulu disembelih.

Kita tidak boleh memotong salah satu bagian kambing (misalnya bagian kaki) lalu memasaknya. Karena anggota atau bagian yang diambil dari binatang yang masib hidup dihukumi bangkai. Di sinilah urgensi pengetahuan mengenai tata cara penyembelihan yang benar bagi kaum muslimin. 

Penyembelihan hanya diperuntukkan bagi hewan-hewan yang halal. Penyembelihan hewan yang diharamkan seperti anjing atau babi tidak dapat membuatnya halal.

Penyembelihan tidak sekadar bertujuan membunuh binatang. Meski setiap sembelihan secara syar’i berakhir dengan kematian, ada aturan-aturan yang harus dipenuhi yang menyangkut siapa, dengan apa, dan bagaimana penyembelihan dilakukan.

Penyembelihan dilakukan oleh orang Islam dengan semua benda tajam yang bisa mengalirkan darah selain kuku dan gig.

Artinya: “Suatu benda (yang dipergunakan untuk menyembelih) yang dapat menumpahkan darah dan menyebut nama Allah (ketika menyembelih), maka makanlah kamu (hewan sembelihan itu). Tidak gigi dan kuku. Adapun gigi itu sejenis tulang dan kuku itu pemotong orang Habsyi (kafir).” (Muttafaq alaih)

Mengenai caranya, terdapat perbedaan di kalangan utama. Dalam hal ini ada 3 (tiga) organ leher yang perlu diperhatikan, yaitu mari (jalan makanan dan minuman), khulqum (jalan nafas), dan wadajain (jiwa otot yang mengapit marl dan khulqum).

Imam Malik berpendapat khulqum dan wadajain harus dipotong. Imam Syafi’i berpendapat, yang harus dipotong adalah khulqum dan mari, sedangkan wadajain hanya sunah belaka. Berbeda pula pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut beliau yang dipotong adalah khulqum, mari, dan salah satu wadajain.

Berdasarkan kaidah al khuruj min al-khilaf, mustahab, yang terbaik adalah memotong semuanya, ‘khulqum, mari, dan wadajain. Sengaja ketiga organ itu yang dipilih, karena dapat mempercepat kematian sehingga penderitaan hewan saat disembelih tidak terlalu lama dan lebih mempermudah keluarnya darah dari tubuhnya. Dan dalam kaitan ini Rasulullah memerintahkan agar pisau yang digunakan diasah terlebih dahulu. Demikian halnya dengan pembacaan basmalah, wajib menurut Abu Hanifah kecuali lupa. Sementara Imam Syafi’i cenderung menganggapnya sunah (Mizan Al-Kubra).

Dalam surat Al-An’am ayat 118, Allah berfirman:
Artinya: “Maka makanlah olehmu (hewan) yang disembelih dengan nama Allah.” (QS. A1-An’am: 118)

Lalu dilanjutkan pada ayat 121:

Artinya: “Dan janganlah kamu makan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, sungguh yang demikian itu adalah fasik. “(QS. A1-An’am: 121)

Kedua ayat tersebut diperkuat hadis dan sahabat Adiy Ibn Hatim yang mengatakan Rasulullah pernah bersabda:

Artinya: “Kalau kamu melepaskan anjing buruanmu maka sebutlah nama Allah.” (Muttafaq ‘alaih)


Hadis itu cukup panjang dan masih ada terusannya, dan bisa kita dapatkan, misalnya dalam kitab Bulugh Al-Maram yang banyak dipakai oleh madrasah-madrasah Tsanawiyah maupun Aliyah. (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Dalam kedua ayat dan hadis tersebut ada perintah menyebut nama Allah ketika menyembelih dan melepaskan anjing buruan kita. Perbedaan pendapat bermula dari tiadanya kesepakatan dalam menilai, apakah perintah tersebut wajib (li al-lbahah jam’u al-jawami’). Di samping itu perbedaan dapat pula timbul dari penafsirannya yang berbeda terhadap ayat di atas. (Tafsir Ash-Shawi).

Dalam Madzhab Syafi’i, selain membaca basmalah juga dianjurkan membaca shalawat. Adapun mengucapkan tasyahud dalam kitab-kitab fikih Madzhab Syafi’i, sepengetahuan penulis tidak ada keterangan yang menganjurkan.

Dengan demikian, menyembelih dengan membaca basmalah dan shalawat asal memenuhi syarat-syarat di atas -dengan memotong khulqum dan mari, menurut Madzhab Syafi’i- sudah benar. Tasyahud tidak perlu diucapkan. Kalau diucapkan tidak berpengaruh pada keluhan hewan yang kita sembelih.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bolehkah Patungan Membeli Hewan Qurban ?

Tanya : Seperti kita maklumi bersama, harga seekor sapi jutaan rupiah. Apalagi yang besar dan gemuk. Karena itu, saya mempunyai gagasan membeli sapi bersama-sama dengan orang lain secara patungan. Pertanyaan saya, apakah hal itu dperbolehkan?  (Muntafi’un, Demak)

Jawab : Bulan Dzulhijjah termasuk bulan istimewa. Paling tidak terdapat dua alasan. Pertama, pada bulan itu terdapat Idu Adha. Kedua, di dalamnya pula ibadah haji, rukun Islam kelima ditunaikan. Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Zulluijjah, tidak dapat dilepaskan dari ibadah Qurban, yakni penyembelihan hewan dalam rangka beribadah kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat-nikmat-Nya. Istilah qurban diambil dan bahasa Arab al-qurban, yang secara harfiah mempunyai arti “dekat”. Sebab dengan penyembelihan hewan qurban, seseorang berusaha mendekatkan diri pada Allah.

Perintah berqurban dijumpai dalam A1-Qur’an, surat Al-Kautsar, ayat 2, yang berbunyi, “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”.

Di samping itu, banyak hadis yang menjelaskan berbagai aspek tentang qurban. Berkurban hukumnya sunat muakkad. Sehingga sangat dianjurkan orang-orang yang secara ekonomi mampu membeli hewan kurban (Madzahib Al-Arba’ah, I, h. 717). Qurban merupakan salah satu mibadah sosial (al-’ibadahal-ijtima’iyah), yang manfaatnya tidak terbatas pada pelakunya. (baca juga : persoalan seputar qurban)

Di sinilah letak nilai lebih ibadah qurban dibandingkan dengan ibadah lain yang bersifat individual (al-’ibadah asy-syakhshiyah).

Tidak semua hewan dapat dijadikan qurban. Pertama-tama, hewan tersebut halal dimakan. Hewan yang halal banyak jenisnya Tetapi yang sah untuk berqurban menurut para ulama, terbas pada tiga jenis, yaitu unta, sapi/kerbau, dan kambing.

Itu pun masih ditamhah persyaratan mencapai umur minimal. Unta paling tidak harus berumur lima tahun. Sapi/kerbau berumur dua tahun. Kambing domba (adh dha‘n) telah berumur satu tahun. Kambing kacang (al-ma’z) paling tidak sudah genap berumur dua tahun. (Al-Madzahib Al-Arba’ah, I,h.71)

Selain itu, hewan qurban harus bebas dari cacat/penyakit yang dapat mengurangi daging. Tidak cukup berqurban dengan hewan yang buta, pincang, sangat kurus, sakit, dan lain-lain.

Ketentuan ini sepenuhnya bisa dimaklumi. Hewan yang sakit, di samping dagingnya kadangkala berbahaya bagi kesehatan, pada umumnya badannya kurus karena tidak tumbuh secara normal. Begitu juga hewan yang pincang dan buta.

Sedangkan hewan yang terlalu kurus, dagingnya sedikit. Padahal qurban dimaksudkan oleh Allah sebagai suguhan (dhiyafah) kepada hamba-hamba-Nya. (Madzahib A1-Arba’ah, I, h. 719).

Dan ketiga jenis di atas, unta yang paling utama. Disusul sapii kerbau dan kambing. Tetapi tujuh ekor kambing untuk satu orang masih lebih baik daripada seekor unta. Urutan ini berdasarkan jumlah daging yang dimiliki.

Unta lebih besar daripada sapi. Sapi lebih besar daripada kambing. Dengan pertimbangan yang sama, hewan yang gemuk lebih diutamakan danpada yang kurang gemuk. (Majmu’. VIII, h. 395)

Skala prioritas tersebut sejalan dengan salah satu kaidah fiqh yang berbunyi “al-muta’addiy afdhal min al-qashir” (ibadah yang dirasakan manfaatnya oleh orang banyak lebih utama daripada ibadah yang dirasakan oleh sedikit atau satu orang). Hewan yang lebih besar atau gemuk, dagingnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Manusia dalam masalah rezeki tentu saja berbeda-beda. Mengingat harga sapi relatif lebih mahal dan tidak terjangkau bagi kalangan tertentu, terlontar ide untuk membelinya secara patungan (al-isytirak) dengan orang lain. Menurut kitab-kitab fiqh Madzhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali, tindakan ini diperbolehkan asalkan pesertanya tidak melebihi tujuh orang (Al-Majmu’, VIII, h. 398, Madzahib I, h. 721, Mausu’ah Al-Ijma I, h. 107)

Dalam satu hadis dari sahabat Jabir Ibnu Abdillah, beliau berkata: “Kami menyembelih bersama Rasulullah SAW. pada tahun Hudaibiyah, seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang”. (Subul As-Salam, IV, h. 95). Dalam hadis lain, Rasulullah SAW. bersabda: “Seekor unta untuk mencukupi tujuh orang dan seekor sapi mencukupi tujuh orang”.(Mausuah Al-Fiqh A-Islàmi; XIII, h. 330). Imam Al-Baihaqi, Sahabat Ali, Hudzaifah, Abi Mas’ud Al-Anshari, dan Aisyah juga berpendapat bahwa seekor sapi cukup untuk tujuh orang. (Majmu’, VIII, h. 399)

Dengan demikian, dapat saja tujuh orang sepakat membeli seekor sapi untuk keperluan qurban dan harganya ditanggung bersama, setiap orang membayar sepertujuh dari harga. Bahkan menurut madzhab Syafi’i, ketujuh orang terebut tidak disyaratkan berniat melakuakan qurban semua.

Jadi tidak tertutup kemungkinan, tiga dari mereka ikut patungan membeli sapi untuk keperluan konsumsi bukan berqurban.(baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Sehingga setelah disembelih, ketiganya mengambil bagian masing-masing, baru sisanya yang menjadi bagian empat orang menjadi daging qurban sesuai dengan niatnya semula.

Meskipun tujuh orang berqurban dengan seekor unta atau sapi secara patungan diperkenankan, para ulama berpendapat, satu orang berqurban seekor kambing lebih utama. (Majmu VIII, h. 395)

Kalau seekor sapi sudah mencukupi buat qurban tujuh orang, seekor kambing hanya untuk satu orang. Maka tidak boleh dua orang secara patungan membeli seekor kambing untuk berqurban bersama-sama. Sebab, tidak terdapat dalil yang memperbolehkan.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Persoalan Seputar Qurban

Tanya : Hewan apa sajakah yang dapat digunakan untuk berqurban dan bolehkan orang yang berqurban memakan dagingnya? Sekarang ini saya melihat bahwa banyak orang-orang yang menjual anggota tertentu dari hewan qurban semisal kulit, boleh apa tidak Kiai? (Nursalaim A’la, Wonokromo)

Jawab : Qurban dalam terminologi fikih sering disebut dengan udhhiyyah, yaitu menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. mulai terbitnya matahari pada hari raya Idul Adha (yaum an-nahr) sampai tenggelamnya matahari di akhir hari tasyrik yaitu hari tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Berqurban sangat dianjurkan bagi orang orang yang mampu karena qurban memiliki status hukum sunnah muakkadah, kecuali kalau berqurban itu sudah dinadzarkan sebelumnya, maka status hukumnya menjadi wajib. Anjuran berqurban banyak disebutkan dalam hadis di antaranya yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa tidak ada amal anak manusia pada hari nahr yang lebih dicintai Allah melebihi mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sebelum anjuran itu dalam Al-Quran, Allah Swt. juga sudah menganjurkan hamba hamba-Nya untuk barqurban. Pesan ini termaktub dalam Al-Quran sebagai berikut: 

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”(QS. Al-Kautsar: 2)

Berqurban merupakan ibadah yang muqayyadah, karena itu pelaksanaannya diatur dengan syarat dan rukunnya. Tidak semua hewan dapat digunakan dalam arti sah untuk berqurban. Hewan yang sah untuk berqurban hanya meliputi an‘am saja yaitu sapi, kerbau, onta, domba atau kambmg, dengan syarat bahwa hewan-hewan tersebut tidak menyandang cacat, gila, sakit, buta, buntung, kurus sampai tidak berdaging atau pincang. Cacat berupa kehilangan tanduk, tidak menjadikan masalah sepanjang tidak merusak pada daging.

Dalam praktiknya, berqurban dapat dilaksanakan secara pribadi atau orang perorang dan dapat pula secara berkelompok. Setiap 7 (tujuh) orang dengan seekor sapi atau kerbau atau onta. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadis dan shahabat Jabir sebagai berikut:

Artinya: “Nabi memerintahkan kepada kami berqurban satu unta atau satu sapi untuk setiap tujuh orang drin kami.” (Muttafaq‘alaih)

Adapun qurban kambing hanya dapat mencukupi untuk qurban bagi seorang saja. (Al-Iqna 277-278). (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Berdasarkan perbedaan status hukumnya antara sunah dan wajib, distribusi daging qurban sedikit berbeda. Bagi mereka yang berqurban, boleh bahkan disunahkan untuk ikut memakan daging qurbannya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran sebagai berikut:

Artinya: “Dan makanlah sebagian daripadanya (an‘am) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orag yang sengsara lagi faqir. “ (QS. A1-Hajj: 28)

Begitu pula yang diceritakan dalam hadis bahwa Rasulullah memakan hati hewan qurbannya. Ketentuan diperbolehkan mengambil bgian dari hewan qurban adalah 1/3 dari hewan qurban. Adapun bagi mereka Yang berqurban karena wajib dalam hal ini nadzar, maka tidak boleh atau haram memakan dagingnya. Apabila dia memakannya maka wajib mengganti sesuatu yang telah dimakan dari qurbannya.

Lalu bagaimana kalau salah satu bagian hewan qurban itu dijual? Pada prinsipnya qurban adalah sedekah yang diperuntukkan bagi kaum dhu’afa, fakir miskin secara cuma-cuma. Karena itu, pemanfaatannya juga tidak boleh keluar dari batas-batas itu termasuk di dalamnya menjual anggota qurban. Dalam kitab Iqna’ disebutkan bahwa tidak diperkenankan menjual sesuatu dari hewan qurban berdasar pada sebuah hadis riwayat Hakim sebagaimana berikut ini:

Artinya: “Barangsiapa menjual kulit qurbannya, maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Hakim)

Ini berarti penyembelihan itu hanya menjadi sedekah biasa tanpa mendapatkan keutamaan besar dari qurban. Tapi boleh bagi yang berqurban untuk mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan menjadi sandal, sepatu, tempat air dan sebagainya. Namun demikian tetap saja tidak boleh dijual bahkan dianjurkan menyedekahkannya karena lebih utama. Tidak diperkenankan pula membayar tukang menyembelih hewan dengan bagian dari hewan qurban sebagai upah, semisal membayar tukang jagal dengan kulit qurban, kepala dan kakinya. (baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Daging qurban disyaratkan untuk dibagikan kepada fakir miskin dalam keadaan masih mentah atau tidak berupa masakan. Ketentuan ini mengandung maksud agar fakir miskin dapat secara bebas mentasharufkannya, apakah itu untuk dimasak sendiri ataukah untuk dijual karena pada dasarnya daging itu adalah hak mereka.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Monday 21 September 2015

Apa Hukum Jika Suami Minta “Dilayani” Di Saat Puasa

Tanya : Pada saat saya sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, suami minta “dilayani’ Sesuai dengan anjuran suami, sebelum melayaninya saya berbuka dulu. Pertanyaan saya, dengan berbuka itu apakah saya masih berkewajiban kafarat? Dan ketentuan membayar kafarat itu bagaimana?

Jawab : Terlepas dan permasalahan berbuka puasa dahulu atau tidak, secara umum kewajiban membayar kafarat berkenaan dengan kasus yang saudari tanyakan, sebenarnya hanya berlaku pada pihak suami, bukan pihak istri atau objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha). (baca juga : hukum puasa dalam keadaan junub)

Selanjutnya, jika ada rekayasa seperti yang saudari gambarkan semestinya hal tersebut tidak berpengaruh pada istri lebih-lebih pada suami.

Dengan kata lain, suami masih tetap berkewajiban membayar kafarat, denda, meski istri sudah membatalkan puasa sebelum senggama dilakukan.

Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku bila suami tidak berbuka puasa terlebih dahulu. Karena ketika suami melakukan tindakan sejenis yang dilakukan oleh istri (berbuka puasa), berarti secara syariat dia terlepas dan tuntutan pembayaran kafarat.

Hanya saja, terdapat satu kewajiban lain yang memang tidak bisa ditawar lagi, yaitu meng-qadha jumlah hitungan puasa yang batal tersebut.(baca juga : puasa bagi pengantin baru)

Sebenarnya cara itu bukanlah sebuah alternatif yang kemudian praktis terlepas dari semua tuntutan dan celaah syariat, karena secara esensial terhadap kasus sejenis itu, suami maupun istri telah melanggar perintah Allah, melakukan tindakan yang tidak mendapatkan tempat terhormat di sisi Sang Pencipta (durhaka atas perintah Allah).

Adapun mengenai kewajiban membayar kafarat sehubungan dengan permasalahan itu, dalam kitab Kasyifatu As-saja diterangkan lebih rinci dan mendetail, lengkap dengan berbagai ketentuan-ketentuannya.

Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, persetubuhan dilakukan dalam kondisi sadar dan memang atas kehendak sendiri, tidak terdapat unsur paksaan yang jika tidak dipenuhi paling tidak akan mengancam keselamatan fisik, dan atau apa saja yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.

Selain itu persetubuhan tersebut merupakan bagian dari jenis-jenis yang membatalkan puasa bagi suami (tidak berstatus musafir atau pihak-pihak lain yang mendapatkan dispensasi). Selanjutnya bentuk persetubuhan yang menuntut adanya kewajiban membayar kafarat, juga dipersyaratkan tidak terdapat faktor lain, yaitu akibat terjadinya syubhat (ketidak jelasan) dalam hal waktunya.

Dalam arti, seseorang benar-benar yakin bahwa persetubuhan tersebut dilakukan di dalam waktu wajib imsak (waktu untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Yakni, rentang waktu yang membentang antara terbit fajar hingga terbenam matahari.

Ketentuan tersebut juga melahirkan pengertian lain; ketika seseorang melakukan persetubuhan, sernentara ia merniliki dugaan kuat bahwa waktu tersebut belum melewati terbit fajar (batas awal melakukan puasa), atau berprasangka bahwa matahari telah terbenam (batas akhir puasa), maka kewajihan membayar kafarat menjadi gugur.

Ketentuan membayar kafarat tersebut secara global berlaku tidak mengenal diferensiasi ketika persetubuhan itu dilakukan melalui jalan yang wajar (lewat alat kelamin), terhadap jenis hewan atau dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia sekalipun

Selanjutnya, bentuk kafarat yang dimaksudkan dalam kasus tersebut, sebagaimana statemen tertulis Zakariya Al-Anshari dalam kitab Matan Tahrir, secara sederhana dapat dilaksanakan berdasarkan tiga macam alternatif, yang masing-masing dapat menjadi pengganti kedudukan lainnya secara berututan jika memang alternatif yang ditetapkan sebelumnya tidak ditemukan.

Pertama, membebaskan budak wanita yang beragama Islam, dan terlepas dari segala bentuk cacat yang paling tidak dapat mengganggu aktivitas kerjanya. Kedua, berpuasa dua bulan secara beruntun. Dan yang terakhir, memberi makan terhadap 60 orang miskin, yang setiap orang, masing-masing diberi satu mud (kurang lebih 6 ons) dari makanan pokok yang herlaku pada daerah setempat.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apa Hukum Istri Menyuruh Suami Ke Lokalisasi ?

Tanya : Seorang istri menolak melayani suaminya, bahkan menyuruh suaminya pergi ke lokalisasi guna menyalurkan kebutuhan biologisnya, seraya mengatakan dialah yang akan menanggung dosanya. Apakah tindakan itu dapat dibenarkan?

Jawab : Manusia selama hidupnya tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban. Manusia memiliki hak dan kewajiban, karena dia mempunyai apa yang oleh ulama ushul fikth (metodologi fikih) disebut ahhyah, yang berarti terdiri atas ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada.

Adapun yang pertama, menjadikannya layak dan pantas mendapatkan hak dan terbebani hak. Kedua, memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang darinya lahir hak-hak dan kewajiban baru, sekaligus menjadikan ibadah dan muamalahnya dianggap sah menurut ukuran syara serta dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Hak dan kewajiban senantiasa mengalami perkembangan dan perluasan, seiring dengan bertambahnya usia sebagai tolak ukur sederhana bagi perkembangan intelektualitas manusia dan perubahan status sosial yang disandangnya.

Hak dan kewajiban anak kecil tentu berbeda dari orang dewasa. Ukuran-ukuran kepatuhan dan standar moral keduanya pun tidak sama. Demikian pula jejaka dan gadis, hak dan kewajibannya ketika masih berstatus legan (belum kawin) akan mengalami perubahan dan perluasan, ketika keduanya mengikatkan diri dalam tali perkawinan, yang herarti pula menyandang status baru sebagai suamii-istri.

Dengan kata lain, perkawinan melahirkan hak dan kewajib yang semula tidak dimiliki keduanya. Hak dan kewajiban itu bagai dua sisi mata uang. Hak yang kita miliki adalah kewajiban orang lain. Sebaliknya, kewajiban yang dibebankan kepada kita, pada dasarnya adalah hak orang lain. 

Karena itu dengan melaksanakan kewajiban, secara tidak langsung kita telah memenuhi hak orang yang memilikinya. Begitu juga suami istri, hak yang satu adalah kewajiban yang lain, dan sebaliknya.

Mengingat kebahagiaan rumah tangga dan keluarga itu berkaitan erat dengan sejauh mana masing-masing memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang, ikhlas, dan bertanggungjawab, maka pemahaman dan pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah penting sebagai langkah awal ke arah pengalaman.

Salah satu hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan nafkah, yang meliputi aspek sandang, pangan, dan papan, yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku.

Kelayakan dan kepatuhan dalam masalah nafkah, berpijak pada kriteria al-ma’ruf dan istishad atau i’tidal (baik atau bagus dan pertengahan).

Suami terbebani mencari nafkah, karena potensi fisiknya serta kelebihan-kelebihan lain yang membuatnya lebih mampu mengerjakan tugas tersebut. Kewajiban itu diimbangi dengan kewajiban taat pada istrinya atas masalah yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Manusia dibekali oleh Allah nafsu biologis dan organ-organ untuk berkembang biak. Karena itu Ibnu Al-Qayyim berpendapat, tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan, mengeluarkan cairan yang bila ditahan bisa berdampak negatif untuk badan, dan mendapatkan kenikmatan.

Seperti dimaklumi, ketiganya tidak lepas dari masalah istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis). Tersalurnya kebutuhan s*ksual lebih memungkinkan seseorang membebaskan diri dari perzinaan.


Jika memang demikian kenyataannya, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah, bagaimana kedudukan istimta’ dalam hubungan suami istri itu?

Jawaban dan pertanyaan tersebut, akan mengantarkan kita pada permasalahan benar-tidaknya penolakan istri melayani suaminya.

Para ulama sepakat bahwa dengan adanya pernikahan, istri halal untuk suaminya, dan suaminya halal untuk istrinya. Mereka juga sepakat, istri berkewajiban menuruti ajakan suaminya sewaktu-waktu dia menghendaki, kecuali jika ada faktor berupa haid atau nifas, dan lain-lain, karena istimta’ menjadi hak suami.

Dalam hal itu mereka berangkat dari sebuah hadis sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Jika ada salah satu dari kalian mengajak istrinya bersetubuh lantas menolak, dan karenanya dia memarahinya malam itu, maka malaikat melaknati istrinya hingga fajar tiba.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Pelayanan itu sebenarnya ketaatan yang diwajibkan atas istri kepada suaminya. Karenanya, penolakan istri atas ajakan suaminya tidak bisa dibenarkan. Apalagi menyuruh suami ke lokalisasi.

Istri yang ideal sebaiknya memotifasi dan membantu suami mencapai kesempurnaan iman dan takwa. Dengan dalih bahwa dia akan menanggung dosanya juga salah besar. Sebab, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatan masing-masing. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, 286, Allah berfirman:
Artinya: “Baginya (pahala) kebajikan yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya.“(QS. Al-Baqarah: 286)

Kalau istimta‘ adalah hak suami, apakah itu juga merupakan kewajiban atasnya yang harus dipenuhi sebagai hak istrinya ?

Para ulama berpendapat, suami tidak wajib menyetubuhi istrinya. Sebagai hak, dia boleh melakukan dan meninggalkan. Toh demikian, seperti termaktub dalam Ensikiopedi Fiqh, Mausu’ A1-Fiqh Al-Islami, ulama Madzhab Syafi’i yang menganggap istilah semata-mata hak suami mengatakan, hal itu sunah bagi suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya ketika membutuhkan.

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika sahabat Abdullah Ibnu Al-’Ash ditanya Rasulullah: “Apakah kamu berpuasa pada siang hari?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lalu ditanya lagi, ‘Apakah kamu melakukan ibadah malam hari?’ Dia juga mengiyakan. Selanjutnya beliau bersabda:


Artinya : “Tetapi saya berpuasa dan berbuka, melakukan shalat, tidur, dan menggauli istri, maka barangsiapa tidak senang pada sunahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sampmg itu, tidak terpenuhinya kebutuhan biologis bisa berdampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga, serta tidak baik secara mental dan psikologis. Sementara ulama cenderung berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu hak istri dan kewajiban suami. ini merupakan pendapat golongan Madzhab Dzahiriyah, sesuai dengan metodenya dalam memahami teks-teks Al-Quran dan hadis menurut arti lahirnya. Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 222:
Artinya: “Apabila mereka bersuci (mandi) bersetubuhlah kamu dengan mereka, sebagaimana Allah telah menyuruhmu.” (QS. A1-Baqarah: 222)

Di sini ada perintah bersetubuh. Dan perintah itu pengertian lahirnya menunjukkan kewajiban, atau menurut bahasa ushuliyin, al-amr haqqatan 1i al-wujub. Berdasarkan ayat itu pula mereka berkesimpulan minimal dalam masa suci (bebas haid) satu kali menyetubuhi istrinya.

Sebagian ulama ada yang mengaitkan kewajiban menyetubuhi istri dengan ayat 19 dan surat An-Nisa, yaitu firman Allah:
Artinya: “Bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan cara yang baik.“ (QS. An-Nisa’: 19)

Pemenuhan kebutuhan biologis sang istri adalah satu dari bentuk ber-mu’asyarah (bergaul) dengan mereka secara baik.

Kewajiban itu bisa dianggap sebagai nafkah batin (nafaqah bathiniyah), dan menurutnya tidak kalah penting dibandingkan dengan nafkah dalam bentuk materi (nafaqah maaliyah).

Semua itu menunjukkan dalam masalah pemenuhan kebutuhan biologis sekalipun Islam memberikan perhatian. Meski tanpa aturan dalam bentuk hak dan kewajihan, manusia secara naluriah akan melakukannya. Ditambah lagi nilai ibadah yang dikandungnya.

Bukankah Rasulullah pernah bersabda, Hadis diriwayatkan dari sahabat Abi Dzar dan termaktub dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Hadis itu menjelaskan bahwa “menyetubuhi istri itu pahalanya seperti pahala sedekah”.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tabir Wanita