Tuesday, 4 October 2016

Apakah Membaca Al-Quran Tanpa Mengerti Makna Dan Artinya Akan Mendapat Pahala ?

membaca al quran tanpa mengerti makna
Tanya : Membaca Al-Quran namun tidak mengerti artinya apalagi maksudnya, apakah bisa mendapatkan pahala sebagai ibadah ? (Kurniawan, Magelang)

Jawab : Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan sebagai mukjizat kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu kalamullah yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad tidak dinamakan Al-Quran. 

Al-Quran diturunkan dengan maksud menyempumakan ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Di dalamnya terdapat hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, cerita-cerita sejarah, peraturan-peraturan dan tata cara hidup manusia baik dalam kedudukannya sebagai hamba Allah maupun sebagai makhluk sosial dan lain-lain.

Al-Quran juga diturunkan sebagai pedoman dan pegangan hidup bagi umat manusia yang harus dipatuhi dan dilaksanakan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Sebagai wahyu Allah, maka mengikuti apa yang ada di dalamnya bisa membahagiakan manusia saat hidup di dunia maupun nanti pada kehidupan di akhirat yang menjadi tujuan hidup setiap manusia.

Al-Quran berbeda dengan hadis Qudsi. Meskipun sama-sama diturunkan kepada Nabi Muhammad, namun Al-Quran mempunyai kelebihan. Keistimewaan itu setiap orang yang membacanya akan mendapatkan pahala sebagai ibadah. 

Dalam kitabnya Syaikh Zakaria Al-Anshari menjelaskan, Al-Quran adalah almuta‘abbadu bitilawatihi, artinya membaca Al-Quran termasuk sebagai ibadah, yang tentu saja akan mendapat pahala apabila itu dilakukan, meskipun dia tidak tahu maksud dan artinya.

Apa Hukum Membawa Al-Quran Bagi Anak-anak ?

hukum anak kecil membawa al quran
Tanya : Selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini Taman Pendidikan Al-Quran (TPA/TPQ) merebak di mana-mana. Peserta didiknya semuanya anak kecil. Apakah mereka boleh memegang atau membawa mushaf tanpa berwudhu dulu ? Soalnya kalau disuruh wudhu terus-menerus agak memberatkan untuk ukuran anak seumur mereka. Solusinya bagaimana? 

Jawab : Dalam agama Islam, Al-Quran jelas memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mulia. Sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw., Al-Quran mempunyai banyak keistimewaan yang tidak terdapat pada kitab suci lain sebelumnya, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.

Apalagi dibandingkan dengan kitab maupun buku-buku yang tidak bersumber dari wahyu. Di antaranya, kita tidak boleh menyentuh atau membawa mushaf dalam keadaan hadas, artinya harus berwudhu lebih dahulu. Hal itu sebagai ungkapan penghormatan (ihtiram) kita terhadap Al-Quran. Tetapi apakah hal itu berlaku untuk semua orang dan dalam setiap kondisi ? Ternyata tidak. 

Keharusan bersuci terlebih dahulu itu tidak berlaku untuk Semua orang dan dalam setiap waktu. Ada beberapa pengecualian seseorang diperbolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan hadas. Pengecualian itu karena mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan.

Imam Nawawi dalam salah satu karyanya, At-Tibyan fi Adab Hamalah Al-Quran, membicarakan masalah tersebut secara agak panjang lebar. Diterangkan bahwa anak kecil yang sudah mumayiz (pandai), yakni sudah bisa makan-minum dan istinja’ sendiri diperbolehkan menyentuh atau membawa mushaf tanpa wudhu untuk kepentingan belajar. 

Melanggengkan status suci dengan berwudhu secara kontinyu bagi anak kecil dipandang bukan perkara mudah. Malah kalau hal ini diterapkan secara ketat dengan tanpa memperhatikan pelakunya dalam hal ini anak-anak yang hendak belajar Al-Quran, bisa-bisa tidak mau mengaji. Dalam hal itu, para fuqaha sangat bijaksana, membedakan anak kecil dan orang dewasa dalam masalah menyentuh mushaf.

Dengan demikian, dia belum saatnya dibebani kewajiban-kewajiban yang berlaku untuk orang dewasa. Pertimbangan mereka adalah li al-masyaqqah, karena memberatkan. Memang ada kaidah, al-masyaqqah tajlib at-taisir, hal-hal yang memberatkan bisa menimbulkan kemudahan. 

Bisa juga kita kaitkan dengan kaidah yang lain, daf’u al mufasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih, menghindari mafshadah lebih diutamakan atau didahulukan daripada menarik kemaslahatan. Berwudhu ketika hendak menyentuh mushaf adalah mashlahah. Tidak mau mengaji Al-Quran, merupakan mafsadah. Selain anak kecil untuk keperluan belajar, dalam situasi darurat, orang dewasa (mukallaf) juga diperkenankan menyentuh dan membawa mushaf tanpa berwudhu. Misalnya, khawatir mushafnya terbakar, umpamanya terjadi kebakaran rumah, di dalamnya Anda menemukan mushaf yang nyaris terbakar api. Tidak mungkin Anda mengambil air wudhu terlebih dahulu, karena keburu mushafnya habis dilalap api. 

Dalam situasi darurat seperti itu, Anda diperbolehkan mengambil mushaf tersebut meskipun dalam keadaan berhadas. Begitu juga kalau khawatir mushaf yang ada terkena najis, atau tenggelam ke dalam air.

Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Muhammad saw. setiap tahunnya selalu pergi meninggalkan kota Mekah untuk menghabiskan bulan Ramadhan di Gua Hira yang berjarak sekitar beberapa mil dari daerah yang penuh hiruk-pikuk. Di puncak sebuah gunung di antara pegunungan yang menaungi Mekah; di sebuah tempat yang jauh dari kebisingan dan hal-hal negatif; di sana hanya ada ketenangan dan kesunyian. Muhammad saw. mempersiapkan bekal untuk malam-malam yang panjang dan menghindar dari kehidupan dunia untuk menghadap kepada Tuhannya dengan hati yang penuh kerinduan. Di gua yang sempit dan tertutup inilah hati Muhammad saw. merenung memikirkan gelombang kehidupan dunia yang penuh dengan fitnah, kerugian, permusuhan, peperangan dan perpecahan. Namun, beliau hanya bisa pasrah, tak tahu harus berbuat apa untuk memperbaikinya. 


Di gua terpencil ini, sosok yang suka melakukan perenungan ini mencoba merenungi kehidupan para utusan Allah terdahulu. Didapatinya mereka tidak serta-merta dapat melakukan perubahan kecuali setelah berjuang untuk itu. 

Di Gua Hira Muhammad saw. beribadah dan mempertajam hatinya, menjernihkan ruhaninya dan bertaqarrub kepada kebenaran serta menjauh dari kebatilan hingga beliau sampai pada derajat kejernihan hati yang dapat membuka celah hal-hal yang gaib. mimpinya pun begitu jelas sejernih pagi yang cerah. 

Di gua ini, Muhammad saw. berinteraksi dengan penguasa jagat raya ini. Sebelumnya padang pasir telah menjadi saksi atas saudara Muhammad saw., dia meninggalkan Mesir untuk melarikan diri, melewati banyak perkampungan untuk memperoleh keamanan dan ketenangan hati bagi dirinya dan kaumnya hingga dia melihat sebersit cahaya dari sisi Wadi Al-Aiman. Ketika dia mencoba mendekatinya, ternyata dia mendengar sebuah seruan suci memenuhi telinganya dan masuk ke dalam hatinya:
“Sesungguhnya, Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha [20]: 14) 

Semburat cahaya yang keluar dari api itu telah melampaui beberapa abad untuk kembali menyala di sekitar gua tempat seseorang yang sedang bertahannus (memisahkan diri dari keramaian untuk menemukan kebenaran) dan berusaha membersihkan segenap jiwa dan raganya dari kotoran dan keburukan Jahiliah. 

Tapi, cahaya itu bukanlah dalam bentuk api yang menyilaukan orang yang melihatnya, melainkan dalam bentuk sinar wahyu yang penuh berkah, yang langsung menghujam ke dalam hati orang yang pantas menerimanya dalam bentuk ilham dan petunjuk, peneguhan hati dan pertolongan (inayah). 

Tiba- tiba Muhammad saw. terperanjat ketika mendengar suara Malaikat berkata kepadanya, “Bacalah.” Beliau justru balik bertanya, “Apa yang harus kubaca?” 

Tanya-jawab itu terulang beberapa kali hingga akhirnya turunlah beberapa ayat pertama dari A1-Qur’an, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (A1-A1aq [96]: 1-5

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada artikel :  Tegar Berdiri Menghadapi Badai (Biografi Khadijah ra.)

Pemimpin Manusia Sepanjang Masa (Biografi Khadijah ra.)

Biografi Khadijah ra.
Sesungguhnya, Nabi saw. memiliki segala kebaikan yang pernah dimiliki seseorang pada masa pertumbuhannya. Beliau adalah manusia terbaik yang pernah ada; selalu berpikir positif, memiliki pandangan yang benar, dikenal cerdas, lugas, dan memiliki visi hidup yang jelas. 

Beliau selalu menggunakan pikirannya untuk menemukan sebuah kebenaran. Akalnya yang jernih dan fitrahnya yang murni selalu dikedepankan ketika menilai kondisi masyarakat yang ada pada waktu itu. Beliau selalu menjauhkan diri dari berbagai kebiasaan yang dilakukan oleh kaumnya dan berinteraksi dengan mereka secara wajar. Beliau hanya ikut dan tidak pernah ketinggalan dalam kegiatan-kegiatan yang positif, tapi beliau selalu menghindari berbagai kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat. 


Rasulullah saw. tidak pernah minum khamar; tidak mau makan daging hewan yang disembelih sebagai sesajian bagi berhala; tidak pernah ikut memperingati hari raya atau pesta rakyat dengan menyembah berhala. 

Sejak muda beliau telah menjauhkan diri dari model peribadatan seperti itu, bahkan hal yang demikian merupakan sesuatu yang paling beliau benci sehingga beliau tidak pernah bisa menerima kalau mendengar orang bersumpah atas nama Lata dan Uzza. 

bilik islam
Tentu saja, Allah swt. telah menjaganya dari hal-hal yang demikian. Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra., dia herkata, “Ketika Ka’bah dibangun, Rasulullah saw. dan Abbas ikut mengangkuti bebatuan. Abbas berkata kepada Nabi saw., Angkat kainmu sampai ke atas lutut supaya tidak terkena batu. Beliau pun menunduk, lalu mendongakkan kepalanya menatap langit dengan kedua matanya, kemudian tersadar. Beliau lalu berseru, ‘Kainku, kainku.’ Maka beliau lalu mengencangkan kainnya. Dalam riwayat lain disebutkan, “Sejak saat itu aurat beliau tidak pernah tersingkap.” 

Rasulullah saw. dikenal oleh kaumnya dengan kemuliaan akhlak dan kebaikan budi pekertinya. Beliau adalah orang yang paling muru’ah (memiliki sifat keperwiraan); baik terhadap tetangga, menyayangi sesama, jujur, lembut, terjaga jiwanya, mulia sifatnya, banyak berbuat kebajikan, menepati janji, menjaga amanah sehingga kaumnya menjulukinya Al-Amin. Jadi, segala bentuk kebaikan terhimpun pada diri Rasulullah saw. Sebagaimana disebutkan oleh Ummul Mu’minin Khadijah ra., beliau menanggung beban, berusaha membantu orang yang tak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran

Biografi selanjutnya bisa dibaca pada postingan yang berjudul :  Dari Sinilah Awalnya (Biografi Khadijah ra.)

Saturday, 1 October 2016

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Madzhab Menurut Fikih Islam ?

hukum berbeda madzhab
Tanya : Dalam hal ibadah saya sering dibuat bingung oleh adanya aturan aturan yang berbeda dan beberapa madzhab. Hal itu terkadang melahirkan keraguan akan keabsahan ibadah saya itu. Katakanlah masalah wudhu, ada yang mengatakan bahwa memegang alat kelamin tanpa syahwat tidak membatalkan wudhu sementara yang lain mengatakan batal apapun alasannya, terus terang saya sering memilih yang ringan. Bagaimana seharusnya saya menyikapi hal ini ? (Tati Nurjannah, Wonokromo) 

Jawab : Dalam kehidupan beragama, masyarakat umumnya memang mengenal dan mengikuti beberapa macam madzhab, setidak-tidaknya 4 (empat) madzhab yang terkenal; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan sebagian besar masyarakat meletakkan salah satu madzhab tersebut sebagai sumber hukum. Hanya kadang-kadang dalam kondisi tertentu untuk tidak melawan budaya konvensional, seseorang harus berpaling ke madzhab lain. Dengan demikian adanya bermacam-macam madzhab itu memungkinkan seseorang untuk beralih madzhab secara total ataupun dalam hal yang dipandang sebagai kebutuhan saja.

Dalam konteks ibadah, madzhab-madzhab yang ada itu terkadang mengandung perbedaan hukum atau sering disebut khilafiyah. Hal ini muncul karena perbedaan penafsiran seorang mujtahid pada istidlal al-ahkam terhadap Al-Quran dan hadis sebagai sumber pokok ajaran Islam. Kita sebagai orang awam tidak harus tahu semuanya, namun cukup hertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab tertentu yang diyakini paling rajih atau terbaik daripada yang lain.

Hal mi sebagaimana disampaikan Imarn Zakariya Yahya Al-Anshari dalam kitabnya Lub Al-Ushul. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya AI-Mustashfa bahkan mengatakan keharusan bertaqlid bagi orang awam adalah ijma’ sahabat.

Untuk menyikapi adanya perbedaan itu, seseorang diperbolehkan pindah madzhab atas sebuah rangkaian ibadah. Namun demikian para ulama mensyaratkan beberapa hal, di antaranya tidak diperkenankan tatabu’u ar-rukhash, artinya hanya mengambil beberapa hal yang paling ringan dari beberapa aqwal al-madzhab dan talfiq, artinya menyatukan dua qaul dari dua madzhab yang berbeda kedalam problema tertentu sehingga menjadi satu komponen hukum yang tidak menjadi pendapat atau qaul bagi dua madzhab tersebut. Misalnya dalam hal berwudhu; Imam Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota badan yang dibasuh, sedang Imam Maliki mewajibkannya. Dan dalam hal memegang farji, Imam Syafi’i berpendapat secara mutlak hal itu membatalkan, sedangkan Imam Maliki berpendapat tidak membatalkan bila tidak dengan syahwat. Nah, bila seseorang berwudhu dan tidak menggosok anggota badan dimaksud karena taqlid Imam Syafi’i, tetapi kemudian meraba farji tanpa syahwat, dilanjutkan melakukan shalat, maka shalat yang dilaksanakan batal dengan kesepakatan kedua Imam. Ini karena ketika ia meraba farji -walaupun tanpa syahwat- menurut Syafi’i maka wudhunya telah batal. Begitu juga ketika seseorang tidak menggosok anggota badan dimaksud, maka wudhunya juga tidak sah menurut Maliki. 

Jadi sebenamya pertanyaan di atas adalah gambaran adanya khilafah yang sudah diakomodasi oleh madzhah. Bagi mereka yang mengatakan bahwa wudhu tidak batal sebab memegang alat kelamin tanpa syahwat, sudah benar asalkan anggota badannya yang wajib di basuh harus digosok seluruhnya. Ini adalah cara berwudhu Malikiyah, sedangkan yang mengatakan batal memegang alat kelamin juga tidak salah karena sesuai dengan aturan yang ditetapkan Syafi’i. Dalam hal ini Syafi’i tidak mewajibkan menggosok anggota wudhu yang wajib dibasuh. Dengan demikian, seseorang boleh memakai keduanya secara lengkap dan terpisah satu sama lain. Kalau mau pakai cara Syafi’i maka pakai semua aturannya mulai dari syarat rukunnya sampai hal-hal yang membatalkannnya. Begitu pula kalau menginginkan menggunakan madzhab yang 1ain.

Apa Syarat Menjadi Mualaf Menurut Fikih Islam ?

tata cara menjadi muallaf
Tanya : Apakah syarat bagi orang yang baru masuk Islam (muallaf) ? 

Jawab : Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang dipeluk semua nabi sejak Adam as. hingga Nabi Muhammad Saw. Setiap manusia harus memeluknya. Hanya saja, untuk menyampaikan risalah agama ini tidak berlaku pemaksaan kepada orang lain. Allah telah menunjukkan jalan lurus dengan mengutus para utusan dan mengaruniai manusia akal pikiran. Dengan keduanya, akhirnya manusia akan mampu mengetahui mana yang hak dan batil.

Syarat menjadi muslim tidaklah rumit. Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seseorang sudah dianggap muslim. 

Dua kalimat itu adalah kalimat :
“Asyhadu an La Ilaaha illa Allah wa Asyahadu Anna Muhammad Rasululah”, yang artinya, “saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah”. Tidak ada upacara dan prosedur yang macam-macam untuk bisa menjadi seorang muslim. 

Mengucapkan syahadat tidak hanya cukup hanya di bibir saja, melainkan harus disertai keyakinan dan kepercayaan secara mantap dalam hati tentang isi dan muatan dari syahadat itu sendiri.

Sebab, pada dasarnya syahadat adalah ikrar atau ungkapan dari keimanan yang berada dalam hati. Orang yang mengucapkan syahadat tanpa dibarengi pembenaran hati, belum dianggap muslim oleh Allah. Islam menghendaki kesatuan hati dan kata, meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan.
Orang yang baru masuk Islam, dengan demikian diwajibkan melepaskan diri dari berbagai paham dan kepercayaan terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntunan dalam agama Islam. 

Dua kalimat syahadat memang kelihatan sederhana sekali. Namun makna yang dikandungnya serta konsekuensi yang ditimbulkan sangat dalam dan luas.

Kalimat pertama, berisi pengakuan adanya satu Tuhan, yaitu Allah. Dialah yang menciptakan seluruh alam semesta ini. Bagi-Nya segala sifat-sifat kesempurnaan. Oleh karena itu, sudah semestinya hanya kepada Allah Swt. semata saja manusia menyembah dan bersujud.

Ibadah hanyalah patut dilakukan kepada Dzat yang lebih tinggi. Sesama makhluk, tidak berhak disembah karena setara dalam derajat kemakhlukannya. 

Ibadah hanya kepada sang Khaliq. Sebab tauhid uluhiyah harus diikuti tauhid ubudiyah, dalam artian bahwa bila seseorang telah mengakui Allah sebagai pencipta alam semesta ini, maka sudah selayaknya dia hanya beribadah kepada-Nya.

Kalimat kedua, berisi pengakuan atas kerasulan dan kenabian Nabi Muhammad Saw. Mengakui beliau sebagai seorang nabi dan rasul, secara implisit membenarkan dan meyakini ajaran yang disampaikan. Sebab semuanya berdasarkan wahyu dari Allah, baik berupa Al-Quran maupun hadis.

Dan sudah barang tentu apa yang beliau sampaikan tidak cukup diimani dan dipercayai, melainkan lebih dari itu harus di patuhi dengan mengerjakan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang. Itulah hakikat takwa, yakni imtitsar al awamil wa ijtinab an-nawahi, yang akhirnya menjadi ukuran derajat kemuliaan manusia.

Dari Nabi Muhammad-lah kita belajar cara beribadah kepada Allah sebagai konsekuensi pengakuan kepada-Nya sebagai Tuhan pencipta alam.

Ibadah tidak boleh dilakukan dengan cara sendiri-sendiri, akan tetapi harus sesuai dengan kehendak Allah Swt. Hanya Nabi Muhammad yang mengetahui kehendak itu, lewat wahyu yang diturunkan kepadanya. 

Ajaran Islam secara garis besar terdiri dan 3 (tiga) komponen : Akidah (keyakinan), syariah dan akhlak.

Dalam agama Islam, akidah merupakan asas atau fundamen. Karena tanpa didasari akidah, maka amal ibadah kita tidak diterima. Sebaliknya, akidah tanpa syariah dan akhlak tidak sempurna. Keimanan semata-mata belum cukup menyelamatkan manusia secara total dari ancaman siksa api neraka. 

Menurut ulama, dengan mengucapkan syahadat, mengimani semua perkara yang wajib diimani seraya meninggalkan segala sesuatu yang bisa mengakibatkan kekufuran, seseorang masih dianggap muslim, meskipun meninggalkan kewajiban-kewajiban dan melakukan larangan-larangan. Dalam artian, dia tidak akan kekal di neraka meskipun juga tidak terbebas secara total dari siksaan kecuali mendapat ampunan dari Allah.

Iman juga dapat berkurang dan bertambah. Iman akan semakin bertambah dan sempurna jika terjadi peningkatan takwa. Sebaliknya, kadar keimanan seseorang akan berkurang dan terus merosot hingga batas antara iman dan kufur demikian tipis karena menurunnya kadar ketakwaan.

Melihat demikian pentingnya kedudukan takwa, maka sangatlah wajar jika wasiat bertakwa menjadi salah satu hukum khotbah dalam shalat Jumat. Dalam setiap khotbahnya, khatib selalu mengajak dan menghimbau para hadirin untuk senantiasa meningkatkan takwa.

Intinya, keselamatan tergantung pada keimanan. Kesempurnaan iman terletak pada kualitas takwa, yang -seperti tadi saya katakana- tergantung sejauh mana seseorang mematuhi ajaran Islam dalam bentuk perintah dan larangan. Orang tidak mungkin mampu mencapai tingkat ketakwaan yang tinggi, tanpa memiliki pengetahuan. 

Secara logis bagaimana kita dapat melakukan perintah dan menjauhi larangan, sedangkan perintah dan larangan itu sendiri tidak kita mengerti. 

Oleh karenanya, bagi yang baru masuk Islam atau yang masih awam, hendaknya berusaha memahami agama yang dipeluknya secara memadai. Ini merupakan langkah awal menuju muslim bertakwa, yang mengaplikasikan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupannya. 

Menyadari akan arti pentingnya belajar, tidak mengherankan jika ayat yang pertama turun berisi perintah membaca, yaitu iqra’.

Membaca wahyu yang tertuang dalam Al-Quran dan hadis, sekaligus membawa fenomena dari gejala alam sebagai ayat-ayat kauniyah untuk mencapai ridha-Nya.

Agar proses belajar itu berjalan dengan baik, muslim muallaf memerlukan seorang pembimbing yang benar-benar memahami agama Islam supaya tidak terjadi salah paham yang bersumber pada pemahaman yang subyektif dan parsial.

Lebih dari itu, belajar hendaknya dimulai dari masalah-masalah yang pokok, seperti tentang rukun Islam serta ibadah-ibadah yang terpenting seperti shalat.

Biografi Abul Wafa Al-Buzjani (Pelopor Peradaban Islam)

Pelopor Peradaban Islam

ABUL WAFA AL-BUZJANI 
 (328-387 H I 940-998 M)

Abu al-Wafa Muhammad Ibnu Muhammad lbnu Yahya Ibnu Ismail lbnu Abbas al-Buzjani Adalah seorang insinyur, ahli astronomi dan ahli matematika. Sarton menggambarkannya sebagai salah satu dari ahli matematika terkenal lslam.

Abu al-Wafa lahir di Buzjan di Khurasan tahun 328H/940M. Dia belajar matematika di bawah bimbingan paman dari pihak ayahnya, Abu Umar al-Maghazil, dan paman dari pihak ibu yang dikenal dengan Abu Abdullah Muhammad lbnu Ataba serta belajar ilmu geometri di bawah bimbingan Abu Yahya al-Marudi dan Abu al-Ala’ lbnu Karnib. Pada tahun 348H /959M dia pindah ke Irak dan tinggal di Baghdad sampai wafatnya pada tahun 387H/998M. Abu al-Wafa mendedikasikan hidupnya untuk menulis, memantau pergerakan benda-benda angkasa, dan mengajar. Ia menjadi anggota dari kelompok observasi yang dibentuk oleh Sharaf ad-Dawla tahun 377H.

Kontribusinya terhadap Ilmu Pengetahuan
Abu al-Wafa adalah salah satu sarjana astronomi dan matematika terkenal. Beberapa sarjana Barat juga mengakui kemasyhurannya yang berjasa di bidang ilmu geometri. Al-buzjani membuat kontribusi penting untuk mengembangkan trigonometri.

AI-Buzjani membuat kontribusi penting untuk pengembangan ilmu trigonometri. “Cara de Faw” mengakui bahwa “usaha perubahan yang dilakukan oleh Abu al-Wafa terhadap ilmu trigonometri tidak berarti menentang. Terima kasih kepadanya, berkat usahanya ini, ilmu pengetahuan ini menjadi lebih mudah dan lebih jelas. Dia menggunakan garis potong (sekan) dan kosekan serta mengembangkan sebuah metode baru untuk menghitung sinus. Dia juga yang pertama sekali mempertunjukkan teori umum sinus yang terdapat pada segitiga berbentuk bola.

Abu al-Wafa adalah seorang jenius yang memiliki kualitas sama baiknya dalam ilmu geometri, dia mampu menyelesaikan beberapa masalah ilmu geometri dengan ketangkasan yang luar biasa. 

Karya-karya Besarnya
AI-Buzjani meninggalkan beberapa buku, temasuk :
  • “Kitab fima Yahtaju ilaihi al-Kuttab wa al-Ummal min‘jim aI-Hisab”(Buku tentang Apakah Ilmu Pengetahuan Aritmatika Penting bagi AhIi Menulis dan Pelaku Bisnis) adalah sebuah buku terapan aritmatika. Dua yang belum lengkap dari risalah ini disimpan di Leyden, Belanda dan Kairo.
  • “Kitab al-Kamil” (Buku yang Lengkap)
  • “Kitab fima Yahtaj Ilaih as- Suna’fi ‘Ama’ al-Handasa” (Buku tentang Seberapa Penting Ilmu Konstruksi Geometri bagi Tukang Kayu) sebuah buku terapan ilmu geometri yang ditulis atas permintaan dari pemimpinan Baha’ad-Dawla. Sebuah salinan dari risalah ini disimpan di perpustakaan Masjid Ayasofya di Istambul.
  • “Kitab al-Majesti” adalah buku yang sangat terkenal darisemua buku-bukunya. Sebuah salinan buku ini yang belum lengkap di simpan di Perpustakaan Nasional di Paris.
  • “Kitab al-Handsa” ( Ilmu Geometri Terapan) sebagian dari risalah-risalah ini, Abu al-Wafa menulis banyak pandangan berharga tentang euklid, Diophantus, dan al khawarizmi, tetapi kesemuanya ini telah hilang. 

Kesimpulannya, penemuan-penemuan al-Buzjani dan buku-bukunya memiliki pengaruh yang berarti dalam kemajuan ilmu pengetahuan, sebagian dalam ilmu astronomi dan ilmu trigonometri. Dia adalah di antara perintis yang memimpin pekerjaan yang berat dan melelahkan terhadap munculnya analitis ilmu geometri dengan menemukan penyelesaian geometri dengan menggunakan beberapa persamaan aljabar.

Biografi Abdurrahman Sufi (Pelopor Peradaban Islam)

pelopor peradaban islam

ABDURRAHMAN SUFI
(291-376 H /903—986 M)


Abu al-Hasan Abdul al-Rahman Ibnu Amir Ibnu Sahi Al-Sufi ar-Razi lahir di Ray. Dia adalah satu di antara ahli astronomi dan ahli astrologi terkenal. Menurut ahli sejarah George Sarton, ia adalah salah satu ahli astronomi Islam terkenal. Ia berteman dengan pemimpin Al-Bouihi Adud Adawla, yang membuat dirinya sebagai ahli astrologi mandiri dan sebagai guru untuk mengajarkan tentang letak statis bintang-bintarig dan pergerakannya

Kontribusinya dalam Ilmu Pengetahuan

Sufi membuat masukan berarti untuk ilmu astronomi yang dapat disimpulkan prestasinya sebagai berikut:
Dia melakukan pemantauan terhadap bintang-bintang, menghitung dan menentukan pergerakannya membujur dan melintang. Observasi ini memperkenankannya untuk menemukan keseimbangan baru bintang-bintang yang sebelumnya belum pernah dipantau. Ia menggambarkan pemetaan langit, di mana Ia membuat daftar letak dan keseimbangan bintang-bintang, jaraknya dan tingkat cahaya beberapa dari bintang-bintang. Dia juga mengembangkan sebuah atlas bintang-bintang untuk memastikan kesalahan para pendahulunya. Bangsa Eropa mengakui kebenaran dari observasi astronominya; Aldo Mull menggambarkannya “sebagai salah satu dari ahli astronomi Arab terkenal dimana melalui dirinya kita mendapatkan sebuah keberlangsungan tentang kebenaran observasi langsung”. Lebih lanjut ia menyatakan: “Ahli astronomi besar ini tidak hanya terpusat pada beberapa bintang yang tidak dikenal Ptolomeus, tetapi ia juga mengoreksi beberapa kesalahan observasinya. Selanjutnya Ia memungkinkan sebagai ahli astronomi masa depan untuk mengenal planet-planet dimana ahil astronomi Yunani memberikan letak posisi tidak akurat.

Karya-karya Besarnya
  • “Kitab al-kawatib Al-thabita” (Buku tentang Keseimbangan Planet-planet) merupakan buku yang dipertimbangkan oleh Sarton sebagai salah satu dari tiga buku besar yang terkenal di antara ahli astronomi Muslim. Dua buku lainnya adalah buku Ibnu Yunus dan Ulugh Beg’s. Buku ini berisikan gambaran warna dari perbintangan dan gambar pergerakan;
  • “Risalat A1-amal bil Usturlab” (Risalah tentang Fungsi Laboratorium Astronomi);
  • “Kitab Tadkira”;
  • “Kitab matarih Chua’at”;
  • "Kitab aI-Urjuza II al-Kawakib Tabita”Salinan dari beberapa karya besar ini disimpan dalam perpustakaan dibeberapa negara seperti Perpustakaan El Escorial di Madrid, Paris, dan Oxford.

Tabir Wanita