Tuesday, 20 September 2016

Kapan Qunut Dilakukan, Sesudah Atau Sebelum Ruku’ ?

waktu qunut, saat qunut, pelaksanaan qunut
Tersebut dalam Al-Majmu’ jilid III/506 bahwa : “Tempat qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku’. Ini adalah ucapan Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Utsman serta Ali radhialloohu ‘anhum”. 

Mengenai dalil-dalil qunut sesudah ruku’ :
Pertama, Hadits dari Abu Hurairah :
“Bahwa Nabi Saw. qunut sesudah ruku” (HR. Bukhari Muslim) 

Kedua, Hadits dari Ibnu Sinin, beliau berkata :
“Aku berkata kepada Anas : Apakala Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat Subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhari Muslim) 

Ketiga, Hadits dari Anas ra. :
“Bahwa Nabi Saw. melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku’ pada shalat Subuh sambil mendoakan kecelakaan atas Bani ‘Ushayyah” (HR. Bukhari Muslim) 

Keempat, Hadits dari Awam bin Hamzah dan Rofi’ yang sudah disebutkan pada dalil-dalil tentang kesunnatan qunut subuh (baca : Dalil-Dalil Kesnunnahan Qunut Subuh). 

Kelima, Riwayat dari Ashim al-Ahwat dari Anas :
“Bahwa Anas berfatwa tentang qunut sesudah ruku”. 

Keenam, Hadits dari Abu Hurairah ra. beliau berkata : 
“Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada rakaat kedua shalat Subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Alloohummah dini fiiman hadait…hingga akhirnya”. (HR. Hakim dan dia mensahihkannya) 

Ketujuh, Riwayat dari Salim dan Ibnu Umar ra. :
“Bahwasanya Ibnu Umar mendengar Rasulullah Saw. apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rakaat terakhir shalat Subuh, beliau berkata : “Ya, Allah. Laknatlah si fulan dan si fulan“, sesudah beliau mengucapkan sami‘alloohu liman hamidah robbana walakal hamdu. Maka Allah menurunkan ayat “Tidak ada bagimu sesuatupun dari urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka atau juga daripada pengazaban mereka karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang zolim “. (HR. Bukhari) 

Hadits ini dan juga hadits yang menunjukkan qunut nazilah yang pernah dilakukan oleh Nabi. Qunut nazilah adalah qunut diketika turun bencana baik itu bencana peperangan, pembunuhan dan bencana-bencana lainnya. 

Terlihat jelas bahwa pada qunut nazilah pun Nabi melakukannya sesudah ruku’ seperti halnya qunut subuh. Memang ada dijumpai beberapa hadits yang menunjukkan pelaksanaan qunut sebelum ruku’ namun terhadap hal tersebut Imam Baihaqi mengatakan sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ : 

“Dan orang-orang yang meriwayatkan qunut sesudah ruku’ lebih banyak dan lebih kuat menghafal hadits, maka dialah yang lebih utama dan inilah jalannya para khalifah yang memperoleh petunjuk, -semoga Allah meridhai mereka- pada sebagian besar riwayat dari mereka, walloohu a‘lam”. 

Selanjutnya akan dibahas tentang apakah pada saat qunut disyaratkan mengangkat tangan ?, untuk pembahasan tersebut dapat dibaca pada artikel : Hukum Mengangkat Tangan Pada Waktu Qunut

Dalil-Dalil Kesunnahan Qunut Subuh

hadist qunut subuh
Pada Postingan yang lalu telah disampaikan mengenai Hukum Membaca Qunut Subuh, dan pada kesempatan kali ini penlis akan menyajikan tentang dalil qunut. Berikut ini dikemukakan dalil-dalil tentang kesunnahan qunut subuh yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Hadits dari Anas ra.
“Bahwa Nabi Saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya. Ada pun pada shalat Subuh, maka Nabi senantiasa melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”. 

Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffaz dan mereka juga ikut mensahihkannya. Diantara ulama yang mengakui kesahihan hadits ini adalah Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di dalam kitabnya serta Imam Baihaqi. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Daraquthni dan beberapa jalan dengan sanad-sanad yang sahih. 

b. Hadits dari Awam bin Hamzah dimana beliau berkata :
“Aku bertanya kepada Utsman tentang qunut pada shalat Suhuh. Beliau berkata : Qunut itu sesudah ruku’. Aku bertanya : “Fatwa siapa?”. Beliau menjawab: “FawaAbu Bakar, Umar dan Utsman radhialloohu anhum“. 

Hadits ini riwayat Baihaqi dan beliau berkata : “isnadnya hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar dengan beberapa jalan. 

c. Hadits dari Abdullah bin Ma’qil at-Thabi’i
“Ali ra. Qunut pada shalat Subuh”. 

Diriwayatkan oleh Baihaqi dan beliau berkata : “Hadits tentang Ali ini sahih lagi masyhur” 

d. Hadits dari Barra’ ra:
“Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat Subuh dan magrib”. (HR. Muslim) 

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud dengan tanpa penyebutan shalat magrib. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Ill/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat magrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma’ ulama telah menunjukkan bahwa qunut pada shalat magrib itu sudah mansukh yakni terhapus hukumnya”. 

e. Hadits dari Abi Rofi’ :
“Umar melakukan qunut pada shalat Subuh sesudah ruku”. (HR. Baihaqi) 

Demikianlah beberapa dalil yang dipakai oleh ulama-ulama Syafi’iyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut subuh. 

Pembahasan lanjutan mengenai kapan qunut dilakukan ? dan dimana tempatnya ?, untuk pembahasan tersebut dapat anda baca pada artikel : Kapan Qunut Dilakukan, Sesudah Atau Sebelum Ruku’ ?

Hukum Membaca Qunut Subuh

hukum qunut, dalil qunut
Di dalam madzhab Syafi’i sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada i’tidal rakaat kedua adalah sunnat ab’ad dalam arti diberi pahala orang yang mengerjakannya dan bagi yang lupa atau lalai mengerjakannya disunnatkan menambalnya dengan sujud sahwi. 

Tersebut dalam Al-Majmu’ Syarah Muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :
“Dalam madzhab Syafi’i disunnatkan qunut pada shalat Subuh baik diketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulaina salaf dan orang-orang yang sesudah mereka atau kebanyakan dari mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Barro’ bin Azib, semoga Allah meridhai mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad-sanad yang sahih. Banyak pula orang-orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian inilah madzhabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud”.
Dalam kitab Al-Um jilid 1/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata :
“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat Subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.

Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid 1/157 :
“Disunnatkan qunut pada i‘tidal rakaat kedua dari shalat Subuh dan dia adalah “Alloohummah dinii fiiman hadait.....hingga akhirnya “ 

Demikian keputusan dan kepastian hukum tentang qunut subuh dalam madzhab Syafi’i. 

Monday, 19 September 2016

Permulaan Islam Tersiar Di Madinah

awal ula islam di madinah
Setibanya di Mekah, setelah menjalankan Isra’ dan Mi’raj, Nabi Muhammad hanya sewaktu-waktu menyiarkan agama Islam. Biasanya, ditujukan kepada orang-orang yang datang berkunjung dari tempat-tempat lain, seperti orang-orang yang berkunjung untuk menunaikan ibadah haji. 

Pada suatu saat di musim haji, Nabi berjumpa dengan enam orang dari suku Khazraj. Nabi pun menyampaikan ajaran Islam kepada mereka. Setelah berbincang-bincang dengan mereka, Nabi membacakan beberapa ayat A1-Qur’an dan beberapa pokok ajaran Islam. Mereka beriman kepada Nabi dan berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ketahuilah bahwa Muhammad adalah Nabi Allah yang telah lama kita tunggu-tunggu sebagaimana tertulis dalam Taurat.

Kepada Nabi mereka berkata, “Kami beriman kepada engkau, wahai Nabi Allah. Di belakang kami sekarang ini, kaum kami terpecah-pecah menjadi dua golongan. Golongan Aus dan golongan Khazraj yang selalu bermusuhan dan saling membunuh. Pelajaran yang kami peroleh dari engkau ini akan kami siarkan kepada mereka. Mudah-mudahan semua ini dapat menghilangkan permusuhan yang telah berjalan lama itu.”
 
Setelah menerima ajaran Islam dari Nabi, mereka kembali pulang ke Madinah, mendakwahkan apa yang mereka peroleh dari Muhammad ke tengah-tengah masyarakat Yahudi, yaitu kaum mereka sendiri. Dakwah mereka mendapat sambutan yang baik dari penduduk Madinah. Mereka masuk agama Islam dengan ikhlas, sehingga Islam tersiar di Madinah lebih luas dibandingkan dengan penyebaran Islam di kota Mekah sendiri. Hampir di setiap rumah sudah ada yang masuk agama Islam. 

Berita ini sampai kepada Nabi. Beliau sangat senang, karena harapannya semakin nyata. Tetapi sayang, di Mekah, tempat yang terdiri dari kaumnya sendiri, Islam justru mendapatkan perlawanan yang sangat sengit. Setiap orang yang masuk Islam disiksa oleh kaum Quraisy.

Pada tahun berikutnya, datang pula 12 orang utusan yang terdiri dari suku Aus dan 10 orang suku Khazraj menghadap Nabi. Mereka menyatakan keislaman mereka di hadapan Nabi dan mereka bersumpah akan menjalankan syariat Islam dengan patuh; tidak akan menyekutukan Tuhan; tidak akan berbuat zina; dan akan menjauhkan diri dari segala kemungkaran. Sumpah itu terkenal dengan narna Bai’at Aqabah yang pertama. 

Mereka kembali ke Madinah dengan diikuti oleh seorang utusan Nabi yang pertama Mus’ab bin Umair. Ia sengaja diutus oleh Nabi atas permintaan mereka sendiri. Mus’ab bin Umair ini adalah seorang pemuda yang termasuk salah seorang sahabat Nabi yang pertama kali masuk Islam dan pernah ikut hijrah ke Abessinia sehingga ia banyak berpengalaman dalam menghadapi segala macam tantangan. Dengan semangat yang menggebu-gebu, mereka mendawahkan Islam di Madinah yang pada waktu itu terkenal dengan nama Yatsrib, sehingga Islam berkembang sangat pesat dari rumah ke rumah dan dari kabilah ke kabilah. 

Islam semakin tersiar di kota Madinah. Dua suku bangsa yang selama ini bermusuhan, sekarang hidup damai dan bersatu, bersama-sama menjalankan dan menyiarkan ajaran Islam di sana. 

Selanjutnya, pada musim haji tahun berikutnya, serombongan jamaah haji yang berjumlah 73 orang datang pula menemui Nabi yang bertempat di Aqabah, sehingga pertemuan ini dinamakan juga dengan Bai’at Aqabah kedua. Mereka yang telah menemui Nabi pada dua musim haji sebelumnya, ikut juga dalam rombongan ini. Atas nama rakyat Yatsrib, mereka meminta agar Nabi bersedia pindah ke Yatsrib. 

Abbas, paman Nabi yang masih kafir, ikut juga dalam pertemuan itu. Ia memberikan nasihat kepada mereka seraya berkata, “Kalian telah maklum, tentang kedudukan Muhammad di kalangan kami. Sampai saat ini, kami membela Muhammad dari musuh-musuhnya. Sekarang, kamu meminta supaya Muhammad menyertai dan hidup bersamamu. Jika kamu merasa dapat memenuhi perjanjian, kamu mengajak Muhammad hidup bersamamu karena kamu bersedia menanggung dan membela dia dalam segala hal, aku persilakan. Jika kamu merasa tidak sanggup, lebih baik jangan, dan jangan lupa kamu boleh mengajak dia apabila kamu sanggup menahan perlawanan bangsa Arab dan bangsa Yahudi.”

Bara bin Ma’rur, juru bicara rombongan, menjawab,“Ya, demi Allah kami akan melindunginya sebagaimana kami melindungi diri kami sendiri. Tetapi sebaiknya, kami pun ingin mendapat jaminan, apabila Muhammad saw. telah berkuasa, agar beliau tidak meninggalkan kami untuk selama-lamanya.” 

Nabi menyetujui usul mereka, kemudian semua yang hadir menjabat tangan Rasulullah saw. sambil bersumpah setia kepadanya. Mulai tersiarlah agama Islam di Madinah dan isi perjanjian itu pun akhirnya diketahui oleh bangsa Quraisy yang memusuhi Nabi. Mereka menjadi marah dan makin melipat gandakan ancaman dan siksaan mereka terhadap siapa saja yang memeluk Islam. Di mana saja mereka bertemu dengan orang Islam, mereka pukul, mereka lempar, dan kalau dapat, mereka bunuh. 

Keadaan menjadi begitu genting, sehingga kota Mekah menjadi neraka bagi umat Islam. Nabi menganjurkan setiap muslim yang tidak dapat mempertahankan diri untuk hijrah ke Madinah. Dengan sembunyi-sernbunyi, sedikit demi sedikit, mereka pun hijrah ke Madinah; meninggalkan anak-istrinya untuk mempertahankan agama dan keimanan yang telah mengakar dalam batinnya.

Kisah Isra’ Mi’Raj Nabi Muhammad

isra mi'raj
Tahun ke-10 dari kerasulan merupakan tahun duka cita yang paling berat dirasakan oleh Nabi. Beliau ditinggal oleh paman yang selama ini menjadi pelindungnya; ditinggal pula oleh istri yang begitu mencintai dan dicintainya. Dalam keadaan seperti itu, pada suatu malam, di saat beliau sedang tidur di rumah Ummi Hani binti Abu Thalib, datanglah Malaikat Jibril bersama Malaikat Mikail dan ditemani seorang Malaikat pengawal menemui Nabi. Tujuannya adalah untuk menjemput Nabi dan akan diajak berisra’ dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina.
 
Dalam hal ini Allah berfirman :


Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Harani ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda- tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia adalah Maha Pelendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Israa’ [17]: 1)
 
Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa perjalanan Nabi dari Masjidil Hararn ke Masjidil Aqsha tersebut dengan mengendarai sebuah kendaraan yang dinamakan Buraq. Hal ini dinyatakan dalam sebuah hadits, “... telah didatangkan kepadaku seekor buraq dan itulah seekor binatang yang putih rupanya, panjang (tingginya) melebihi keledai, lebih pendek dari bighal. Jika ia melangkahkan kakinya kecepatnya sejauh mata memandang. 

Dimulailah perjalanan yang sangat bersejarah itu. Tidak lama kemudian sampailah beliau di suatu negeri yang bernama Thaibah. Negeri ini, pada masa lalu, di zaman para Nabi terdahulu, merupakan sumber pengetahuan dari ilmu, sehingga dapat disaksikan oleh Nabi saw. Di sana banyak gedung megah yang menjadi tempat-tempat menuntut ilmu pengetahuan. Negeri Thaibah begitu anggun dan megah, sehingga orang menyebut negeri itu dengan negeri Madinah, yang dapat diartikan sebagai negeri sumber segala pengetahuan. 

Beliau melanjutkan perjalanannya dan hanya sekejap sampailah di suatu tempat, yang bernama Syajarah Musa. Di tempat ini, beliau dan Jibril turun dan melakukan shalat dua rakaat. 

Usai melakukan shalat sunnah dua rakaat beliau meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian sampailah ke bukit Tursina, yaitu tempat Nabi Musa as. Menerima wahyu dari Allah swt. Di tempat ini, beliau turun, dan sebagaimana di tempat-tempat yang beliau singgahi sebelumnya, beliau pun melakukan shalat dua rakaat. 

Beliau meneruskan perjalanannya sehingga sampailah di sebuah tempat yang bernama Baitul Lahmi, yaitu tempat kelahiran Nabi Isa as. Di tempat ini, beliau turun dan melakukan shalat dua rakaat. Perjalanan diteruskan dan tidak lama kemudian sampailah ke Baitul Maqdis. 

Di Baitul Maqdis, ternyata telah berkumpul para Nabi terdahulu, menantikan kedatangan beliau. Nabi-nabi itu di antara lain: Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, dan Nabi Isa as. Di tempat itu pula mereka bersama-sama melaksanakan shalat dua rakaat dan Nabi Muhammad saw. yang menjadi imamnya. 

Selesai melaksanakan shalat, para nabi secara bergantian menyampaikan sambutannya, dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah yang telah mengangkat mereka menjadi utusan Allah serta memberikan mukjizat kepada mereka masing-masing. Atas perintah Allah pula mereka sengaja turun ke bumi lalu berkumpul di Masjidil Aqsha, untuk menyambut kedatangan Nabi akhir zaman yang menjadi kekasih Allah. Sambutan terakhir disampaikan oleh Nabi Muhammad sendiri, yang juga menyampaikan ucapan puji syukur ke hadirat Allah swt. dan menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka. 

Demikianlah sekilas mengenai Isra’ Nabi Muhammad saw, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Selanjutnya, akan dibahas pula mengenai Mi’raj Nabi Muhammad saw. Mi‘raj adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsha di Palestina naik ke langit tertinggi untuk menghadap Allah swt. di Sidratul Muntaha. 

Dalam perjalanan naik ke langit itu, telah disediakan kendaraan yang dinamakan Sulam Jannah, yaitu sebuah tangga dari surga yang secara otornatis bisa naik-turun, dan kecepatannya seperti kilat. Kedua kaki tangga tersebut terletak di atas sebuah batu besar yang terdapat di halaman masjid itu. Tangga otornatis yang istirnewa itu, mempunyai sepuluh anak tangga. Anak tangga pertama adalah melambangkan langkah untuk sampai ke langit pertama. Anak tangga kedua adalah melambangkan langkah untuk sampai ke langit kedua dan seterusnya. 

Dengan menginjakkan kakinya di anak tangga yang pertama, lalu sampailah di langit yang pertama. Langit pertama terbuat dari perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas. Tiap lapisan langit dijaga oleh Malaikat agar jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit yang pertama ini, Nabi berjumpa dengan Nabi Adam. Nabi memberi hormat kepada beliau. Di tempat ini pula semua makhluk memuja dan memuji Tuhannya. 

Lalu, Nabi naik tingkat ke langit yang kedua. Di langit yang kedua ini Nabi berjumpa dengan Nabi Isa as. Dan Yahya as. Nabi Muhammad saw. segera disambut dengan baik dan penuh hormat oleh kedua Nabi tersebut. Keduanya juga memberi doa restunya untuk keselamatan Nabi Muhammad saw. 

Selanjutnya, Nabi naik ke tingkat berikutnya, ke langit yang ketiga. Di langit yang ketiga ini, Nabi Muhammad berjumpa dengan Nabi Yusuf. Nabi Muhammad kagum melihat ketampanan Nabi Yusuf, sehingga Nabi bertanya kepada Jibril, “Siapakah orang yang sangat tampan ini ?“ Jibril menjawab, “Inilah Nabi Yusuf yang terkenal paling tampan di dunia.” 

Kemudian Nabi naik ke langit keempat. Di sini, Nabi Muhammad berjumpa dengan Nabi Idris as. yang telah memperoleh karunia yang tinggi dari Allah swt. 

Nabi melanjutkan naik ke langit yang kelima. Dengan iringan sambutan yang penuh hormat dari penjaga langit kelima, Nabi Muhammad beserta Jibril segera masuk. Di langit yang kelima ini Nabi Muhammad saw. berjumpa dengan Nabi Harun as. Beliau segera mengucapkan salam yang segera disambut oleh Nabi Harun as. dengan penuh hormat. Pertemuan ini pun tidak berbeda seperti pertemuan dua orang saudara, penuh keakraban dan saling hormat. 

Nabi saw. bersama Jibril naik ke langit yang keenam. Di langit keenam ini, Nahi Muhammad saw. menyaksikan suatu keanehan, karena tiba-tiba Nabi Musa as. menangis tersedu-sedu. Ketika ditanyakan, Nabi Musa as. pun menjawah, “Karena aku tidak mengira bahwa ada seorang Nabi yang diutus Allah sesudahku, umatnya akan lebih banyak masuk surga daripada umatku.” 

Pada saat Nabi hendak meneruskan perjalanannya ke langit yang ketujuh Nabi Musa berpesan kepada Nabi Muhammad agar singgah sebentar di tempatnya setibanya dari langit ketujuh karena Nabi Musa ingin mendengarkan hasil-hasil yang diperoleh dari sisi Tuhannya. 

Lalu, Nabi naik tingkat ke langit yang ketujuh. Di langit yang ketujuh ini Nabi Muhammad berjumpa dengan Nabi Ibrahirn as. Saat itu, Nabi Ibrahim sedang bersandar di Baitul Ma’mur, yaitu sebuah masjid yang sangat besar, yang berada di langit itu. Dalam pertemuan itu, Ibrahim memberikan nasihat kepada Nabi Muhammad saw. Nasihat Nabi Ibrahim, “Wahai Muhammad, aku nasihatkan agar engkau menyuruh umatmu untuk memperbanyak tanaman surga.” 

Nabi saw. bertanya, “Apakah yang kau maksudkan dengan tanaman surga?” Ibrahim as. Menjawab, “Tanaman surga ialah ucapan La haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil azhim.”

Nabi Muhammad saw. bersama Jibril naik ke Sidratul Muntaha. Di Sidratul Muntaha ini Nabi Muhammad saw. menyaksikan keindahan panorama yang tiada bandingnya dan tidak terdapat di tempat mana pun, terlebih di dunia. 

Selesai menyaksikan keindahan panorama di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad saw. diajak oleh malaikat Jibril untuk menyaksikan keadaan surga dan neraka. Lalu, Nabi melanjutkan Mi‘raj sampai ke tingkat yang kesepuluh yang dinamakan Mustawa. Dalam perjalanan ke mustawa Nabi Muhammad melakukannya seorang diri tanpa ditemani oleh Malaikat Jibril, karena Jibril merasa tidak sanggup untuk melangkah ke tingkat yang lebih tinggi lagi. 

Kernudian, Nabi Muhammad saw. diangkat naik setingkat lagi sampai ke ‘Arasy. Di ‘Arasy inilah Nabi Muhammad saw. menerima perintah shalat sebanyak 50 kali dalam sehari semalam. Namun, ketika Nabi akan kembali ke dunia, Nabi terlebih dahulu singgah sebentar di tempat Nabi Musa as. sebagaimana yang telah dipesannya. Nabi Musa mengusulkan kepada Nabi Muhammad agar meminta keringanan. 

Sebanyak 9 kali Nabi Muhammad naik-turun dari langit keenam (tempat Nabi Musa) ke Sidratul Muntaha, sujud di hadapan Ilahi memohon keringanan. Setiap kali Nabi kembali menemui-Nya, dan sujud di hadapan-Nya untuk memohon keringanan, dikurang-Nya lima kali dan akhirnya tersisa lima kali. Tetapi, nilai dari pahala shalat yang lima kali itu sebenarnya sama dengan yang 50 kali. 

Selesai melaksanakan Mi’raj, Muhammad kembali ke bumi dengan tangga Sulam Jannah. Buraq pun dilepaskan, lalu dia kembali dari Baitul Maqdis ke Mekah naik hewan bersayap itu. 

Perjalanan Mi’raj dengan segala yang dilihat Nabi di dalamnya adalah kebenaran yang membawa pelajaran yang sangat berharga, dan itu bukan mimpi yang tidak memiliki arti apa-apa. Inilah salah satu cara yang berasal dari Allah swt. untuk menyatakan kebesaran diri-Nya dan memperlihatkan kekuasaan-Nya kepada hamba-Nya yang terpilih. Ketika itu, dapatlah hamba itu berhubungan dengan Penciptanya hingga teguh keyakinannya kepada-Nya dalam menjalankan kewajibannya yang suci menjadi utusan Allah. 

Keesokan harinya, datanglah Jibril kepada Nabi saw. mengajarkan cara melakukan shalat yang lima kali dalam sehari semalam, di mana sebelumnya Nabi saw. melakukan shalat dua rakaat pada waktu pagi dan dua rakaat pada waktu petang, sebagaimana ibadah Nahi Ibrahim as. di masa lalu. 

Berita tentang Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. telah menggemparkan masyarakat Mekah. Kebanyakan umat Islam pada waktu itu tetap mernpercayai Nabi. Mereka selalu yakin akan kebenaran setiap perkataan Nabi. Abu Bakar misalnya, ketika ditanya oleh orang-orang Quraisy, dengan tegas ia menjawab, “Kalau memang Muhammad berkata demikian, maka sesungguhnya dia berkata benar. Aku mempercayainya, bahkan saya membenarkan yang lebih dari itu.” 

Karena keyakinan Abu Bakar inilah, sejak saat itu ia diberi gelar Ash-Shiddiq. Artinya, orang yang membenarkan Nabi tanpa sedikit keraguan. Akan tetapi, di antara mereka ada yang mengingkari kerasulan serta kebenaran berita itu. Bahkan, ada beberapa orang yang baru masuk Islam, setelah mendengar cerita dari Nabi tentang Isra’ Mi’raj telah pulang pergi antara Mekah dan Baitul Maqdis dalam waktu kurang dari satu malam, mereka berbalik tidak mempercayai Nabi lagi.

Hijrah Nabi Muhammad KeTha’if

Hijrah ke thaif
Ketika Nabi masih bersama Abu Thalib, orang-orang Quraisy tidak berani menyakitinya. Akan tetapi, perlindungan yang kuat itu, kini tidak ada lagi dan musuh semakin meningkatkan perlawanan mereka terhadap Nabi saw. 

Sebenarnya, beliau belum bermaksud meninggalkan tanah kelahirannya, walau sebentar. Beliau merasa yakin bahwa pada suatu saat nanti, semenanjung Arab akan menerima kebenaran Islam. Keyakinan bahwa musuh-musuh besarnya itu pada suatu waktu akan menjadi sahabat setianya selalu tertanam dalam hatinya. Namun demikian, karena permusuhan yang semakin menghebat dari orang-orang Quraisy, memaksa beliau untuk pindah ke Tha’if dengan harapan agar penduduk di sana mendengarkan seruannya. Akan tetapi, harapan tinggallah harapan. Di Tha’if, beliau juga tidak mendapatkan sambutan baik dari penduduknya. Bahkan, Nabi dan pengikutnya dihalau dan diusir dengan kekerasan. Juga dipukuli dan dilempari dengan batu-batu dan kayu-kayu, sehingga Nabi dan pengikutnya terluka. 

Dengan terpaksa Nabi melarikan diri, berlindung di sebuah kebun. Ketika itu, keluarga Rabi’ah sempat memperhatikan dan melihat kemalangan yang diderita oleh Nabi beserta para pengikutnya. Meskipun demikian, Nabi beserta pengikutnya menerima ujian ini dengan tabah dan penuh kesabaran. Beliau tidak mengeluarkan kutukan terhadap mereka. Beliau hanya berdoa kepada Allah swt.

Adapun doa yang dibaca Nabi ketika itu adalah, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu akan kelemahanku dan kerendahanku di hadapan manusia. Ya Allah yang Maha Pengasih, Tuhan yang Melindungi orang-orang yang lemah, kepada siapa pun Engkau serahkan aku: kepada kawan yang senantiasa berdiri di sampingku atau kepada musuh yang selamanya akan memperlihatkan amarahnya, selama Engkau tidak murka kepadaku, ya Allah, senanglah hatiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang berkuasa mengusir kegelapan dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga kemurkaan-Mu tidak mengenai diriku. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah.” 

Sampai beliau selesai berdoa, keluarga Rabi’ah masih terus memperhatikan keadaan tersebut. 

Akhirnya, hati kedua orang anak (keluarga Rabi’ah) itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialami Nabi beserta pengikutnya itu. Budak mereka yang. beragama Nasrani bernama. ‘Addas diutus untuk membawakan buah anggur dari kebun itu kepada mereka2.

Ketika hendak memakan buah anggur itu, Nabi membaca, “Bismillah.” Mendengar bacaan itu, budak tersebut bertanya kepada Nabi, “Apa yang engkau baca itu?” 

Tatkala Nabi menerangkan bahwa itu adalah ajaran agama Islam yang suci, tertariklah hati budak itu dan di kebun itu juga ia masuk Islam. Berarti hanya satu orang inilah, Nabi memperoleh tambahan pengikut dari perjalanan yang sangat mengerikan itu. 

Setelah kembali ke Mekah, orang-orang Quraisy semakin bertambah kejam, bahkan mereka berani menganiaya orang-orang Islam. Nabi bersedih hati memikirkan nasib umatnya yang terus-menerus mendapat gangguan yang berupa ancaman dan penganiayaan. Tetapi, hal tersebut tidak mengurangi kemauan Nabi untuk menyampaikan dakwah Islam. 

Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim haji, beliau memperkenalkan diri mengajak mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka bahwa beliau adalah Nabi yang diutus dan beliau mengajak mereka untuk beriman. Tetapi, Abu Lahab tidak ketinggalan pula mendampingi beliau ke mana pun beliau pergi. Ia menghasud orang-orang itu agar jangan mau mengikuti ajaran Muhammad. 

Di antara kabilah-kabilah itu ada yang menolak secara mentah-mentah ajaran yang dibawa Muhammad; ada juga yang menyetujuinya namun mereka tidak dapat meninggalkan agama nenek moyang mereka; dan ada pula yang menyatakan kesanggupannya untuk membantu, tetapi dengan syarat apabila Muhammad mendapat kemenangan, sebagai balasannya, segala persoalan harus berada di tangan mereka. 

Selanjutnya, kepada kabilah yang menyatakan kesanggupannya dengan syarat itu, Muhammad menjelaskan bahwa persoalan ini berada di tangan Allah. Akhirnya mereka pun membuang muka dan menolaknya sebagaimana kabilah-kabilah yang lain.

Tahun Duka Cita Nabi Muhammad

abu thalib meninggal, siti khadijah meninggal
Penderitaan yang dialami oleh Bani Hasyim selama pemboikotan berlangsung di lembah maut menyebabkan banyak diantara mereka yang jatuh sakit. Abu Thalib, pimpinan Bani Hasyim yang telah tua, tak lama setelah kembali ke Mekah, menderita sakit yang kritis. Mengetahui Abu Thalib sakit, pemuka-pemuka Quraisy segera mendatanginya seraya berkata, “Abu Thalib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan kami dengan kemenakanmu itu. Panggilah ia! Kami akan saling memberi dan menerima. Ia angkat tangan dari kami, kami pun akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan ia dengan agamanya sendiri pula.” 

Tiba-tiba datanglah Muhammad. Ketika itu, mereka masih berada di tempat pamannya tersebut. Setelah beliau mengetahui maksud mereka, beliau pun berkata, “Katakanlah bahwa tidak ada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah. Tinggalkan penyembahan yang selain Allah.” 

Mereka bertanya, “Wahai Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu Tuhan saja?” Mereka berkata satu sama lain, “Orang ini (sambil menunjuk kepada Muhammad) tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Karena itu, pergilah sekarang!”
Akhirnya, meninggallah Abu Thalib sebagai paman dan pembela Nabi, pada usia 87 tahun. Kendatipun ia tidak masuk Islam, ia telah sehidup semati di samping Nabi. Ia sangat mencintai dan merasa sedih jika berpisah dengan Nabi serta selalu siap untuk membelanya. 

Tiga hari kemudian, setelah Abu Thalib meninggal, datang lagi cobaan yang lebih berat. Khadijah, istrinya yang tercinta, meninggal. Kematian Khadijah membuat diri Nabi bertambah sedih. Bagi Nabi, kematian Khadijah bukan hanya sebagai bentuk kehilangan seorang istri, melainkan juga kehilangan teman seperjuangan yang selalu mendampinginya dalam segala suka dan duka. Begitu besar jasa Khadijah terhadap Islam. Seluruh hartanya telah dikorbankan demi membela perjuangan Islam.

Dengan meninggalnya kedua orang itu, Nabi merasa sangat kehilangan, karena keduanya merupakan tulang punggung bagi perjuangan beliau. Kematian mereka merupakan malapetaka yang amat besar bagi Nabi. Peristiwa ini berlangsung pada tahun ke-10 dari kerasulan, sehingga tahun tersebut terkenal dalarn sejarah Islam sebagai tahun duka cita (kesedihan). 


Dengan meninggalnya kedua orang yang selalu membela perjuangan Nabi, kaum Quraisy semakin keras dan tidak segan-segan lagi melampiaskan kemarahan mereka terhadap Nabi, terutama Abu Lahab. Ia adalah orang yang paling busuk hatinya. Bahkan, bersama kawan-kawannya, ia meletakkan kotoran di atas punggung Nabi pada saat sedang shalat. Mereka juga pernah mencekik leher Nabi sewaktu beliau sujud di Masjid sehingga nyaris tidak bisa bernapas. Untunglah Abu Bakar datang pada waktunya, memberi bantuan seraya menghardik mereka. “Apakah kamu akan membunuh seseorang hanya karena ia mengatakan bahwa tidak ada tuhan selain Allah ?“

Pemboikotan Suku Quraisy Terhadap Bani Hasyim

pemboikoan bani hasyim
Posisi kaum muslimin semakin kuat dengan keislaman Hamzah dan Umar. Sementara itu, pihak Quraisy merasa semakin lemah. Umar bin Khaththab masuk Islam secara terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi. Bahkan, justru diumumkan di hadapan banyak orang. Keadaan seperti itu menimbulkan reaksi yang begitu keras dari kaum musyrikin Quraisy. 

Kini, kaum Quraisy sadar bahwa kekuatan Muhammad bersumber pada keluarganya, yaitu Bani Hasyim. Bani Hasyim inilah yang selalu melindungi dan membelanya, baik mereka yang sudah masuk Islam maupun yang masih menganut kepercayaan nenek moyangnya. Oleh karena itu, kaum Quraisy bermaksud hendak memusuhi seluruh Bani Hasyim. Mereka bersepakat akan memboikotnya. Mereka memutuskan segala hubungan dengan suku ini. Tak seorang pun di antara penduduk Mekah boleh menjual atau membeli sesuatu kepada atau dari Bani Hasyim. Kesepatan ini mereka tanda tangani bersama, lalu digantung di dinding Ka’bah. 

Dengan adanya ultimatum yang dilaksanakan oleh kaum Quraisy itu, Abu Thalib segera mengajak Bani Hasyim untuk bermusyawarah : apa yang harus dilakukan? Belum seluruh masyarakat Bani Hasyim beragama Islam, tetapi seluruhnya sepakat akan melindungi Nabi secara mati-matian. Perangai Nabi yang baik dan hidupnya yang suci menjadikan ia dicintai olah kaumnya, Bani Hasyim. Sekalipun. Muhammad beragama Islam, mereka tidak akan membiarkan 

Muhammad diserahkan ke tangan musuh. Menurut mereka, lebih baik bersama-sama menahan kesengsaraan daripada harus berpisah dengan Muhammad. 

Begitulah keadaan Bani Hasyim yang kemudian harus memisahkan diri mereka dari orang-orang Mekah yang dinamakan Syi’ib. Tiga tahun lamanya pemboikotan ini diterima oleh Bani Hasyim dengan penuh kesabaran karena cintanya kepada Nabi. Sementara itu, Nabi sendiri semakin teguh berpegang kepada tuntunan Allah. Mereka yang sudah beriman pun makin gigih mempertahankan keimanannya dan mempertahankan agama Allah. 

Akhirnya, setelah menderita kesulitan dalam pengasingan, beberapa orang dari kaum Quraisy mengakui akan kejamnya pengasingan itu. Mereka pergi ke tempat pengasingan Bani Hasyim dan mencabut pemboikotan itu yang selanjutnya diikuti oleh beberapa orang lainnya atas pengakuan pencabutan pemboikotan tersebut.

Tabir Wanita