Apabila muncul suatu gerakan yang rela memikul beban menyiarkan kebenaran dalam kalangan suatu umat yang telah binasa, biasanya muncul di sana suatu golongan yang memusuhi gerakan itu. Sudah menjadi kehendak Allah untuk menguji ketabahan hati dan kesucian maksud yang dikandung gerakan itu. Demikian pula dengan pimpinan Quraisy. Mereka melakan kampanye mengerahkan orang beramai-ramai menentang gerakan dakwah Rasulullah dengan dalil niempertahankan agama nenek moyang.
Mereka mengira bahwa salah satu kekuatan Nabi terletak pada adanya perlindungan dan pembelaan Abu Thalib yang disegani itu. Mereka mengira bahwa apablia Abu Thalib mau berlepas tangan tentulah gerakan Muhammad beserta pengikut-pengikutnya akan mudah dilumpuhkan. Oleh karena itu, pemuka-pemuka kaum Quraisy yang diketuai oleh Abu Sufyan bin Harb pergi menemui Abu Thalib.
Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, kemenakanmu itu sudah mencela agama kita, memaki berhala-berhala kita, dan mcnganggap sesat nenek moyang kita. Karena itu, sekarang, kau harus menghentikan dia. Kalau tidak, biarlah kami sendiri yang akan menghadapinya. Karena engkau juga seperti kami, tidak sejalan dengan dia, maka cukuplah engkau dan pihak kami yang menghadapi dia.”
Mendengar perkataan tersebut, Abu Thalib menjawab dengan baik sekali. Sementara itu, Muhammad juga tetap gigih menjalankan tugas dahwahnya dan dakwah itu pun mendapat pengikut yang bertambah banyak. Lalu, datang lagi utusan dan kaum Quraisy, Walid bin Mughirah dengan membawa seorang pemuda seraya berkata, “Wahai Abu Thalib, ini anak muda yang paling tampan di kalangan kaum Quraisy. Ia bernama Umarah bin Walid. Ambillah ia menjadi anak saudara dan serahkan kepada kami Muhammad untuk kami bunuh, karena ia telah menentang kami dan memecah-belah persatuan kita.”
Usul orang Quraisy tersebut dengan cepat dijawab oleh Abu Thalib, “Sangat jahat pikiranmu. Kamu serahkan anak kamu agar aku memberinya makan dan aku berikan kemenakanku untuk kamu bunuh. Demi Allah, tidak akan pernah aku berikan ia kepadarnu!”
Untuk yang kesekian kalinya mereka mendatangi Abu Thalib. Mereka berkata, “Wahai Abu Thalib, engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, sebelum kau suruh ia diam atau sama-sama kita lawan hingga salah satu pihak menjadi binasa.
Bagi Abu Thalib, ultimatum seperti itu merupakan dilema, berat rasanya bagi ia untuk berpisah atau bermusuhan dengan masyarakatnya. Demikian halnya rasa berat yang ia rasakan terhadap kemenakannya. Tidak sampai hati ia menyerahkan atau membuat kemenakannya itu kecewa. Karenanya, Abu Thalib meminta agar Muhammad jangan menempatkannya dalam kesulitan yang lebih gawat dalam menghadapi kaum Quraisy.
Sementara itu, pendirian Nabi tetap tegas. Sekali melangkah, pantang mundur. Nabi yang paham akan maksud pamannya tersebut dengan tegas berkata, “Demi Allah, aku tidak akan berhenti memperjuangkan amanah Allah ini, kendati seluruh anggota keluarga dan sanak saudaranya akan mengucilkanku.”
Demikianlah besarnya kebenaran serta kedasyatan iman. Abu Thalib gemetar mendengar jawaban Muhammad sehingga tergugahlah ia. Ternyata, ia berdiri di hadapan tenaga kudus dan kemauan yang begitu tinggi, di atas segala kemampuan tenaga hidup yang ada.
Setelah gagal dengan Abu Thalib, kali ini orang-orang Quraisy membujuk langsung Nabi Muhammad saw. Mereka membujuk dan merayu Nabi dengan menawarkan kekayaan, pangkat dan kedudukan yang tinggi, serta dengan menjanjikan dan mencarikan wanita muda yang cantik, berapa pun yang disukainya; dengan syarat, beliau menghentikan segala bentuk kegiatannya dalam menyebarkan ajaran Islam.
Namun demikian, semua tawaran itu dijawab oleh Rasulullah saw. dengan tegas, “Demi Allah kalau mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud aku meninggalkan amanah ini, sungguh, tidak akan kutinggalkan. Biar Allah yang akan membuktikan kemenangan itu nanti, atau aku biinasa Karenanya.
Setelah melalui usaha yang mereka lakukan secara halus itu menemui jalan buntu, mereka mencobanya lagi melalui ja1an kekerasan, yaitu melalui teror dan penyiksaan, terutama kepada pemeluk-pemeluk Islam yang berasal dari kalangan bawah, sahabat-sahabat Muhammad yang miskin, yang terdiri dari budak. Jika mereka menemui budak-budak ini memeluk Islam, mereka tidak segan-segan memukulinya dengan kayu dan batu sampai babak belur dengan sepuas hati mereka. Budak-budak itu disiksa dan dipaksa melepaskan agamanya, sehingga di antara mereka ada yang mencampakkan budaknya di atas pasir, di bawah terik matahari yang membakar; dadanya ditindih batu dan dibiarkan dalam kondisi tersebut.
Bilal adalah salah seorang sahabat yang mengalami hal ini. Namun, karena keteguhan hatinya, Bilal tetap bertahan dalam Islam. Dalam keadaan seperti itu, Bilal hanya herkata, “Ahad, Ahad.” Ia memikul semua siksaan itu demi agamanya. Sungguhpun demikian, imannya senantiasa semakin teguh, hingga musuh tercengang melihatnya.
Sesungguhnya, sangatlah besar jasa Abu Bakar terhadap Islam dan nilai-nilai kemanusiaan. Bilal yang ketika itu disiksa oleh tuannya, begitu Abu Bakar melihatnya, langsung ia menolongnya. Saat itu juga, Abu Bakar membeli Bilal dan langsung memerdekakan nya.
Intimidasi. yang dilakukan oleh pihak musuh rupanya tidak hanya terhadap budak-budak, melainkan juga mulai ditujukan kepada setiap muslim. Setiap suku diminta menghukum dan menyiksa anggota keluarganya yang masuk Islam sampai dia murtad kembali. Seperti halnya dengan Utsman bin ‘Affan. Oleh anggota keluarganya, ia dikurung dalam kamar gelap, lalu dipukuli hingga hampir mati. Meski demikian, keimanannya semakin kuat, ibarat besi tempaan, semakin dipukuli semakin membaja.
Tak terkecuali Nabi Muhammad, Beliau juga mengalami berbagai gangguan, meskipun sudah dihalangi oleh Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Ummu Jamil, istri Abi Jahal, melempar kotoran ke depan rumah beliau. Namun, beliau cukup membersihaknnya saja. Demikian juga pada waktu shalat, Abu Jahal melemparinya dengan isi perut kambing yang sudah disembelih untuk sesaji kepada berhala-berhala. Beliau menerima gangguan itu, lalu pergi ke rurnah Fatimah (putrinya) agar dicucikan dan dibersihkan pakaiannya.
Hal seperti itu berlangsung cukup lama. Namun, kaum muslimin semakin teguh dengan agama mereka, Dengan lapang dada, mereka menerima siksaan dan kekerasan itu, demi akidah dan iman mereka.