Friday, 2 September 2016

Shalat Sunnah Istikharah Dan Shalat Sunnah Mutlaq

bilik islam
Shalat Sunnah lstikharah
Salat lstikharah artinya salat meminta petunjuk yang baik. Umpamanya seseorang akan mengerjakan suatu pekerjaan yang penting, sedangkan Ia masih ragu-ragu, apakah pekerjaan itu baik untuk dia atau tidak. Ketika itu disunatkan baginya salat lstikharah dua rakaat, sesudah itu berdoa, meminta petunjuk kepada Allah atas pekerjaannya yang masih diragukannya itu.
Sabda Rasulullah Saw.: ,
“Dari Jabir bin Abdullah, “Rasulullah Saw. mengajar kami untuk meminta petunjuk dalam beberapa perkara yang pen ting. Beliau berkata, Apabila salah seorang di antara kamu menghendaki suatu pekerjaan, hendaklah ia salat dua rakaat, kemudian berdoalah : Allahumma... sampai akhir” (RIWAYAT BUKHARI)

Lafaz doa Rasulullah Saw.: 

bilik islam, Shalat Sunnah lstikharah Dan Mutlaq

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta petunjuk yang baik dengan pengetahuan-Mu, aku meminta agardiberi kekuatan dengan kekuatan-M u, aku meminta kemurahan-Mu yang luas, karena sesungguhnya Engkau kuasa, aku tidak mempunyai kekuasaan. Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui, dan engkau yang amat mengetahui yang gaib-gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa pekerjaan ini (disebut pekerjaan apa) baik bagiku, buat agamaku, kehidupanku, dan hari kemudianku, maka berikanlah ia kepadaku, dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian berkatilah ia kepadaku. Dan jika Engkau mengetahui bahwa pekerjaan ini buruk bagiku, buat agamaku, kehidupanku dan hari kemudianku, jauhkanlah ia dariku, jauhkanlah aku darinya dan berikanlah kepadaku kebaikan di mana pun adanya, kemudian jadikanlah aku orang yang rida dengan pemberian-Mu itu.” (RIWAYAT BUKHORI)

Shalat Sunah Mutlaq
Salat sunat MuIaq artinya salat sunat yang tidak ditentukan waktunya dan tidak ada sebabnya. Jumlah rakaatnya pun tidak ada batas, berapa saja, dua rakaat atau lebih. Caranya seperti salat sunat yang lain.
Sabda Rasulullah Saw. :
“Salat itu adalah suatu perkara yang terbaik, banyak ataupun sedikit.” (RIWAYAT IBNU MAJAH)

Apa Hukum Memanfaatkan Dan Memakai Barang Hasil Gadaian ?

barang gadaian, bilik islam
Tanya : Bagaimana hukumnya orang menerima barang gadaian dengan mengambil manfaatnya ? Misalnya seseorang menerirna barang gadaian berupa tanah, kemudian mengambil hasilnya tanpa adanya syarat pada waktu akad dengan alasan sudah menjadi adat kebiasaan. (Priono, Kudus) 

Jawab : Manusia dalam masalah rezeki tidak sama. Ada yang kaya, ada yang miskin, dan yang kaya tidak selamanya kaya. Sewaktu-waktu usahanya bisa mengalami kerugian, akhirnya bangkrut, menjadi miskin. Begitu pula sebaliknya, yang semula kurang sukses, suatu ketika berubah menjadi kaya. 

Tepat sekali bila orang sering mengumpamakan kehidupan ini laksana roda yang berputar. Lebih dari itu, perubahan pada hakikatnya adalah sifat alam yang paling mendasar. 

Dan sifat itulah (berubah) yang oleh ulama mutakallimin (teolog muslim) dijadikan bukti bahwa alam semesta ini asalnya tiada kemudian ada. 

Oleh karenanya, jarang sekali ditemukan seseorang yang selama hidupnya tidak pernah beruntung. Kenyataan itulah yang mendorong disyariatkannya al-qardh (akad utang-piutang) dalam agama Islam. 

Memberikan pinjaman dilihat dari perspektif keagamaan maupun secara moral sangat dipuji dan dianjurkan. Karena itu di dalamnya terkandung sikap ta’awun, tolong menolong antara sesama manusia.

Pada posisi lain, kita bisa mengingkari satu kenyataan bahwa tidak semua peminjam mampu membayar utang pada waktunya yang telah disepakati bersama. Hal itu, tanpa disadari sering mengakibatkan seseorang enggan memberi pinjaman kepada orang lain, terutama para pelaku bisnis yang modalnya selalu berputar. 

Dengan demikian, kebutuhan adanya akad gadai yang di kalangan fuqaha dinamakan ar-rahn akan memberikan kepastian terbayarnya utang pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya. 

Dengan akad tersebut, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, yang memberi pinjaman merasa aman, dan pada gilirarinya akan mempermudah pihak-pihak yang membutuhkan memperoleh pinjaman darinya.
 
Diperbolehkannya akad gadai, telah ditegaskan Allah Swt. dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan -sekaligus melakukan mu‘amalah tidak secara kontan-, sedangkan kamu tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang). “ (QS. Al-Baqarah: 283)

Selain ayat tersebut, ada sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim tentang diperbolehkannya akad gadai, yang isinya menceritakan hahwa Rasulullah Saw. pernah menyerahkan pakaian besinya kepada seorang Yahudi sebagai jaminan. 

Terjadinya akad gadai, tidak bisa dilepaskan dari 4 (empat) unsur yang disebut sebagai rukun-rukun gadai, ar-rahin(pemberi gadai), al-murtahin (penerima gadai), al-marhun (barang gadaian) dan sighat (lafal atau ucapan transaksi gadai).

Mengingat barang gadai berfungsi sebagai jaminan (watsiqah), maka selama akad gadai berlangsung, secara hukum kepemilikannya tetap di tangan ar-rahin, belum berpindah kepada al-murtahin. 

Sebagai pemilik yang sah, ar-rahin boleh memanfaatkan barang gadaian, selama tidak mengurangi nilai harganya. Jika barang gadaian itu sebuah apartemen, maka dia boleh menempatinya, atau sebuah mobil, dia diperbolehkan menaikinya untuk berbagai kepentingan.

Adapun bentuk pemanfaatan yang mengakibatkan turunnya harga atau menghilangkan kepemilikan, maka hukumnya dilarang. Hal itu untuk melindungi kepentingan al-murtahin.

Tapi jika al-murtahin memperbolehkan ar-rahin memanfaatkan al-marhun -meski berakibat hilangnya kepemilikan darinya atau sekedar mengurangi harganya-, maka sah-sah saja dilakukan. 

Dan perlu diingat, al-murtahin bisa mencabut kembali izin yang telah diberikan sebelum ar-rahin terlanjur melakukan tindakan atas izin tersebut. 

Lalu bagaimana hukumnya, jika penerima gadai memanfaatkan barang-barang tersebut?

Perlu ditegaskan lebih dulu, posisi al-murtahin dalam akad ar-rahn semata-mata sebagai pemberi pinjaman (kreditor), bukan pemilik barang gadaian. 

Keuntungan yang diperolehnya dari akad gadai, hanyalah adanya kepastian pelunasan utang tepat pada waktunya, dengan jalan menjual barang gadaian. 

Dengan demildan, al-murtahin sama sekali tidak diperkenankan memafaatkan barang gadaian, kecuali atas seizin ar-rahin sebagai pemilik yang sah.

Kalau hak memanfaatkan barang gadaian itu disyaratkan ketika akad ar-rahn berlangsung, akibatnya bisa fatal, yakni tidak sahnya akad. Demikian ketarangan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-A rba‘ah, dan lain-lain. 

Kebiasaan yang berlaku di masyarakat, ketika seseorang yang menerima barang gadaian secara otomatis berhak memanfaatkan atau mengambil hasilnya. Padahal hal ini semestinya tidak terjadi. Artinya, kalau ar-rahm mengizinkan, maka pemanfaatan tersebut tidak dipermasalahkan. Sebaliknya, jika tidak maka al-murtahin tidak berhak memanfaatkan atau mengambil hasilnya.

Semua itu bertujuan untuk melindungi ar-rahin dari segala penindasan dan pemerasan. Islam menginginkan agar al-murtahin ketika memberikan pinjaman kepada ar-rahin betul-betul didorong oleh motivasi yang luhur. Yakni meolong orang dalam kesulitan, tanpa mengharapkan pamrih apapun darinya selain ridha Allah Swt.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah pernah bersabda :
Artinya : “Setiap utang piutang yang menarik manfaat pada sipemberi pinjaman (kreditor) adalah riba.”
 
Berdasarkan hadis tersebut, jelas tidak dibenarkan si pemberi pinjaman memperoleh keuntungan-keuntungan berupa harta benda atas jasa semata-mata karena memberi pinjaman tanpa seizin dan ridha dari si peminjam.

Apa Hukum Meminang Dan Apa Status Hukum Perempuan Dipinang

Apa Hukum Meminang Dan Apa Status Hukum Perempuan Dipinang, hukum meminang menurut islam, hukum melamar menurut islam, status hkum wanita yang sudah dilamar, status lamaran, status dilamar, hukum meminang, hukum dipinang, syarat meminang.
Tanya : Bagaimanakah status perempuan yang telah dipinang dengan pria yang meminangnya? Apakah sudah seperti suami istri ataukah masih seperti orang biasa ? Mohon penjelasan Pak Kiai. Soalnya, saya pernah lihat sebagian dari mereka melakukan tindakan yang menurut saya tidak patut. 

Jawab : Dalam kehidupan sehari-hari, hampir tidak pernah dijumpai pernikahan tanpa didahului peminangan calon mempelai pria terhadap calon mempelai perempuan. Kalaupun ada, jumlahnya sangat kecil. 

Hal ini menunjukkan besar kesadaran masyarakat akan arti penting peminangan dalam rangka membentuk keluarga ideal yang penuh sakinah, mawaddah dan rahmah lewat pernikahan. 

Peminangan dalam literatur fikih disebut khithbah. Secara harfiah, khithbah adalah thalab ar-rajul al-mar’ah li az-zawaf permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk melakukan pernikahan. 

Pengertian istilah itu tidak jauh berbeda dalam arti harfiahnya. Kompilasi Hukum Islam Indonesia mendefinisikan peminangan sebagai upaya ke arah terjadi hubungan perjodohan antara seorang pria dan perempuan. 

Peminangan hukumnya sunah, diperintahkan, tetapi tidak sampai pada tingkat kewajiban. Tanpa peminangan, akad pernikahan tetap sah karena tidak termasuk rukun dan syarat. 

Toh demikian, seperti telah saya kemukakan, masyarakat pada umumnya tidak meninggalkan peminangan sebagai mukaddimah (pendahuluan) menuju perkawinan. 

Hal ini barangkali disebabkan banyak manfaat yang diperoleh. Lewat peminangan seorang pria mengetahui kesediaan makhthubah (perempuan yang dipinang) untuk dinikahi. Kesediaan ini sangat penting dikaitkan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 16 yang menyatakan perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
Lalu diperkuat oleh pasal 17, yang berbunyi : “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”. 

Peminangan juga memungkinkan kedua calon mempelai saling mengenal, paling tidak secara fisik, dengan melihat secara langsung (mu‘ayanah). 

Rasulullah pernah menyuruh Al-Mughirah Ibn Syu’bah ketika meminang seorang perempuan agar melihatnya. Beliau bersabda, “Pandanglah dia, karena hal itu lebih bisa menciptakan keharmonisan antara kalian berdua.” (Al-Halal wa Al-Haram Fi Al-Islam, 170) 

Informasi yang lebih mendetail tentang kepribadian masing-masing dapat diperoleh melalui konsultasi dengan kawan atau kerabat. 

Dengan begitu, kekecewaan di kemudian hari akibat salah pilih dapat diantisipasi. Setelah memahami kekurangan dan kelebihan pasangannya, kedua pihak dapat memperkirakan risiko yang mungkin terjadi, sekaligus mempersiapkan diri secara mental untuk menghadapinya dengan penuh kedewasaan.
 
Status Hukum 
Kesadaran masyarakat akan arti penting peminangan hagi perkawinan ternyata belum diimbangi pengetahuan secara memadai tentang akibat hukum yang ditimbulkan. Bagaimanakah status hukum makhthubah dalam hubungannya dengan laki-laik yang telah meminangnya?

Apakah ia sama persis atau hanya dalam beberapa aspek dengan istri ataukah statusnya masih seperti ketika ia belum dipinang? 

Pada dasarnya antara peminangan dan pernikahan terdapat perbedaan yang sangat fundamental. Peminangan tidak lebih dari mukaddimah pernikahan. Dalam peminangan, laki-laki baru pada tahap mengungkapkan perasaan atau keinginan mengajukan penawaran kepada pihak perempuan untuk menikah. 

Sebuah penawaran tentu saja dapat diterima dan ditolak. Sedangkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Karena itu, setelah peminangan, status khatib dan makhthubah belum terjalin hubungan yang spesial. Mereka berdua masih dianggap seperti orang lain. Status suami istri lengkap dengan hak dan kewajibannya baru diperoleh setelah keduanya menikah. 

Ketentuan ini membawa konsekuensi, dalam masa tunggu antara peminangan sampai pernikahan, mereka berdua tidak dibenarkan mengerjakan hal-hal yang hanya diperkenankan dilakukan suami istri. Seperti berduaan di tempat sepi (al-khalwah), tidur bersama, apalagi melakukan hubungan s*ksual dan atau mukaddimahnya.

Akibat hukum peminangan terbatas pada pelarangan meminang perempuan yang telah dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan. Putusnya pinangan dapat diketahui lewat pernyataan secara lisan atau berdasarkan indikator-indikator yang lain. Rasulullah Saw. Bersabda : “Janganlah salah seorang dari kamu sekalian meminang (perempua) yang telah dipinang saudaranya, hingga ia (peminang sebelumnya) meninggalkannya atau mengizinkannya.” (Subul As-Salam: III, 113). 

Dengan demikian, para orang tua seyogyanya mengarahkan putra-putrinya agar tidak terlibat dalam huhungan terlalu jauh dengan calon pasangannya. Siapa tahu setelah salah satunya “mencicipi” yang lain, pernikahan batal dilangsungkan. Mengingat kemungkinan putusnya peminangan selama belum menikah masih terbuka. Di samping itu, perbuatan tersebut dilarang agama. Lagi pula status anak akibat “kecelakaan” sebelum pernikahan dalam masalah warisan dan lain-lain berbeda dengan anak yang sah. 

Satu hal yang jelas, memelihara kesehatan jauh lebih baik daripada mengobati penyakit. Apalagi jika penyakit itu tidak memiliki obat penawar.

Apa Hukum Bunga Investasi Modal Usaha ?

hukum investasi, hukum bunga investasi
Tanya : Saya menanam modal (uang) di koperasi simpan pinjam dan serba usaha milik pengusaha kecil. Tiap bulan saya mendapat bunga uang. Apakah bunga uang yang saya terima tiap bulan itu haram? (Antok, Semarang)

Jawab : Allah membagikan karunia dan menentukan nasib manusia itu sesuai dengan kadar dan hikmah yang sudah ditentukan. Ada sebagian manusia yang dikaruniai hanya pas-pasan dalam materi, bahkan ada yang sampai tidak memiliki harta sama-sekali, tetapi memiliki pengetahuan dan skill dalam dunia usaha. Sementara sebagian yang lain memiliki harta melimpah tetapi sedikit pengetahuan dan skill bahkan tidak punya skill. Atau karena faktor waktu, sebagian orang yang memiliki kelebihan harta terkadang tidak memiliki cukup waktu dan kemampuan untuk mengembangkannya. Sementara sebagian yang lain memiiki kelapangan waktu dan skill tapi tidak memiliki cukup harta untuk modal. Mengapa manusia tidak berpikir untuk menanamkan atau menginvestasikan hartanya pada pengusaha-pengusaha yang mengoperasikan harta secara profesional dan perhitungan manajemen yang bagus? Bagaimana orang yang berharta tidak memberikan hartanya kepada orang yang memiliki skill dan pengetahuan untuk dapat menjalankan hartanya sebagai modal yang kemudian berkembang dan membuahkan hasil (laba)? Apakah tidak lebih baik bekerja sama untuk saling melengkapi kekurangan dan saling membantu. Karena dengan demikian orang yang memiliki kemampuan skill dan pengetahuan dapat mengambil manfaat dari harta si kaya tanpa mengurangi jumlah nominalnya, dan begitu pula sebaliknya si kaya mendapatkan manfaat dari orang yang memiliki skill dan pengetahuan. Terlebih lagi pada unit-unit usaha yang membutuhkan penanaman modal besar dari harta mereka untuk pengembangannya seperti PT, CV, dan usaha kerakyatan yang dikenal dengan koperasi.

Koperasi seperti yang telah kita ketahui adalah sebuah badan usaha yang mengelola unit-unit usaha tertentu. Ia menyediakan perangkat-perangkat usaha seperti tenaga pengelola pada bidangnya dan sistem manajemen usaha. Sebagai badan usaha koperasi tidak cukup hanya didukung tenaga pengelola atau sistem manajeman saja, tapi membutuhkan materi sebagai modal usaha dan pengembangan usahanya.

Di sinilah kemudian timbul simbiosis mutualis di antara pemilik modal yang membutuhkan tenaga pengelola dan koperasi yang bertindak sebagai pengelola modalnya.

Bentuk muarnalah semacam itu oleh fuqaha dinamakan dengan aqdu al-mudharabah yaitu transaksi di antara dua orang dimana yang satu memberikan hartanya pada yang lain untuk dikelola dengan perjanjian pembagian laba yang jelas dan disepakati bersama. (al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba‘ah III, 34). 

Ada beberapa unsur yang harus tercakup dalam akad mudharabah yang disebut dengan arkanu al-mudharabah. Pertama, sighat, yaitu ucapan yang menunjukkan keduanya sedang melakukan transaksi. Sighatini mencakup 2 (dua) unsur, yakni ijab (penetapan) dari pihak pengelola modal, dan qabul (penerimaan) dari pihak penanam modal. Dalam dunia usaha sekarang ini praktik ijab qabul tidak semua dengan lisan tetapi terkadang dalam bentuk tertulis termasuk koperasi yang dalam praktiknya cukup menawarkan prosentase bagi hasil dan penanaman modal sebagai ijabnya yang kemudian disetujui oleh pemilik modal dengan mempercayakan modalnya untuk dikelola koperasi tersebut sebagai tanda qabulnya. Kedua, al-aqidaan (dua orang yang terlibat transaksi) yaitu shahibu al- mal (pemilik harta baca, modal) dan amil (pengelola modal) baik individual maupun kelembagaan (badan usaha). Dan yang ketiga, ra’su al mal atau modal itu sendiri yaitu harta dalam wujud naqdain atau emas maupun perak atau uang yang kadarnya diketahui. (Madzahib Al-Arba‘ah III, 36, Al-Fiqhu Al-Manhajy III, 232-233). 

Kerjasama semacam itu tentu saja harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan cara-cara yang dibenarkan syariat. Oleh karena itu, syariat Islam memberikan syarat-syarat tertentu pada akad mudharabah. Syarat itu adalah pertama, al-ithlaq atau adamu at-taqyid artinya modal yang sudah ditanamkan diserahkan sepenuhnya pada pengelola untuk dioperasikan. Tidak dibenarkan pemilik modal menentukan usaha yang akan dijalankan oleh pengelola. Kedua, keuntungan adalah milik bersama, harus ada kesepakatan di antara pemilik dan pengelola dalam hal untung atau laba. Jadi, harus ada komitmen bersama dalam hal ini. Apabila ada laba, maka laba itu dibagi dengan persetujuan yang telah disepakati atau disesuaikan dengan prosentase dan besarnya modal yang telah ditanamkan. Ini sesuai dengan kontribusinya masingm asing pada usaha bersama itu. Yang satu mendapatkan untung dari harta modal yang ditanamkan, dan yang lain mendapatkan untung dari jerih payahnya mengelola modal. Dan yang ketiga, istiqlalu al-amil bi at-tasharruf wa al-ama artinya dalam hal tasharruf atau pengelolaan modal sepenuhnya oleh amil atau pengelola, tidak bekerjasama dengan pemilik modal. (Al-Fiqhu Al-Manhajy III, 233-235). 

Walhasil, kedudukan bunga (uang bagi hasil) dari penanam modal untuk usaha adalah tidak haram, sepanjang praktiknya sesuai dengan syarat dan rukun sebagaimana diuraikan di atas. Karena transaksi itu termasuk aqdu al-mudharabah yang secara hukum sah dan syariat membolehkannya sesuai dengan ijma‘u ash-shahabah. (Qulyubi III, 51). 

Namun ada pengecualian dalam hukum usaha simpan pinjam. Penyimpanan harta pada badan usaha semacam itu masih ada khilaf sesuai dengan niatan awalnya. Apabila penyimpanan uang itu karena keamanan dan tidak yakin uangnya digunakan untuk larangan agama, maka hukumnya makruh. Adapun hukum pinjam meminjam apabila dijanjikan mendapatkan bunga, maka hukumnya haram. Tetapi kalau tidak dengan perjanjian atau bunga itu telah menjadi kebiasaan walaupun tidak dijanjikan, maka hukumnya ada dua, haram dan boleh. (Ahkamu Al-Fuqaha, 146 dan 178).

Thursday, 1 September 2016

Dakwah Rasulullah SAW Secara Terang-terangan

Dakwah Rasulullah SAW Secara Terang-terangan

Kurang lebih 3 tahun lamanya Rasulullah saw. berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Mulailah pada tahun ke-4 kerasulan Muhammad saw., beliau berdakwah secara terang-terangan. Adapun yang menjadi dasar hukum daripada pelaksanaan dakwah secara terang-terangan adalah firman Allah :


“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Al-Hijr [15]: 94)
 
Adapun dakwah yang disampaikan Muhammad pada waktu itu meliputi :
  1. Allah itu Tuhan yang Maha Esa. Dialah yang menjadikan dan berkuasa selama-lamanya atas alam semesta beserta segala isinya;
  2. Allah-lah Tuhan yang wajib disembah. Setiap orang wajib bersyukur dan menyembah-Nya. Dia-lah yang menjadikan segala kehidupan di dunia ini;
  3. Sesungguhnya, kemuliaan ada di mata Allah. Derajat manusia tidak diukur dengan keturunan, kekuasaan, kekayaan, dan pangkat, melainkan semata-mata atas dasar ketakwaan dan jasanya, sedangkan perbudakan dikutuk oleh Allah;
  4. Setiap yang kaya menolong yang miskin; yang mampu harus menolong yang tidak mampu;
  5. Hidup manusia tidak berhenti dengan kematian. Setelah mati, masih ada kehidupan di akhirat. Tempat setiap orang mempertanggungjawabkan segala amalnya selama hidup di dunia ini. 

Dakwah tentang nilai-nilai hidup yang disampaikan Muhammad bertentangan dengan tradisi Arab yang feodal dan materialistis pada waktu itu. Oleh karenanya, di antara hadirin ada yang nenanggapi pemhicaraan Nabi dengan lemah-lembut, tetapi Abu Lahab menentang dengan kerasnya seraya berkata kepada Abu Thalib, “Tangkap Muhammad sebelum kamu dikeroyok oleh semua orang Arab! Kalau semua orang Arab sudah menentang kamu gara-gara Muhammad, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Kalau kamu serahkan dia kepada mereka, berarti kamu menghinakan dirimu dan kaummu. Kalau mereka ditentang, berarti kamu berperang dengan semua orang Arab.” 

Mendengar agitasi saudaranya itu, Abu Thalib merasa panas. Dengan semangat ia berkata, “Demi Allah, selama kami masih hidup, Muhammad akan kami bela.” 

Abu Lahab semakin marah. Namun demikian, kemarahan serta sikap permusuhan kaum Quraisy tersebut tidak dapat merintangi tersebarnya dakwah Islam di kalangan penduduk Mekah. Setiap hari, ada saja orang yang masuk Islam menyerahkan diri kepada Allah. Kebanyakan mereka terdiri dari kaum wanita, para budak, pekerja, dan orang-orang miskin, namun mereka adalah orang-orang yang menginginkan agama yang benar sebagai pedoman hidup. 

Sifat dan akhlak serta semangat hidup orang yang menggabungkan diri ke dalam agama ini sungguh menakjubkan. Terlebih, mereka tidak terpesona oleh pengaruh dunia perdagangan untuk sekadar melepaskan renungan akan apa yang telah diserukan kepada mereka. Mereka sudah melihat Muhammad yang sudah berkecukupan, baik dari harta Khadijah maupun hartanya sendiri. Harta itu tidak mereka pedulikan. Juga tidak akan membahayakan mereka. Ia mengajak orang hidup dalam kasih sayang, lemah-lembut, kemesraan, dan lapang dada. Bahkan, beliau yang menerima wahyu menyebutkan bahwa menumpuk-numpuk kekayaan adalah kutukan terhadap jiwa. 

Sebenarnya, kaum Quraisy yang menentang ajaran yang dibawa Muhammad saw. hanya berpura-pura. Mereka berbicara atas nama agama atau Tuhan, sedangkan pada hakikatnya, mereka hanya khawatir akan kehilangan pengaruh, baik pengaruh materi maupun pengaruh politik. Sebab, mereka yang paling keras menentang ajaran Muhammad adalah para penguasa. Para penguasa kota Mekah yang ingin mempertahankan tradisi lamanya.

Dakwah Rasulullah SAW Secara Sembunyi-Sembunyi

Dakwah Rasulullah SAW Secara Sembunyi-Sembunyi

Beberapa bulan kemudian, Jibril datang kembali menyampaikan wahyu berikutnya, yang antara lain menyuruh Muhammad untuk memulai memimpin hamba Allah ke jalan yang benar. Jalan yang diridhai oleh Allah swt. Wahyu tersebut berbunyi :  


“Hai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah lalu berilah peringatan!” (A1-Muddatstsir [74]: 1-2) 

Turunnya wahyu tersebut membuat Nabi lebih tenang. Kini, ia siap untuk menyampaikan hakikat kebenaran kepada manusia. Rasulullah memulai tugasnya menegakkan kebenaran secara sembunyi-sembunyi di lingkungan rumah sendiri. Khadijah, istrinya yang setia itulah yang pertama kali beriman kepadanya. Dengan pengetahuannya yang luas dan sempurna tentang keindahan budi pekerti dan kebenaran semua perkataan dan pekerjaan Nabi Muhammad, ia yakin bahwa hanya Nabi Muhammadlah orang yang pantas menerima perintah Tuhan memimpin umat manusia. 

Setelah Khadijah, Zaid bin Haritsah ra., anak angkat Nabi sendiri, seorang hamba yang dimerdekakan oleh Nabi, memeluk Islam. Kasih sayang Rasulullah saw. kepadanya lebih dari ayahnya sendiri. Sewaktu ayahnya datang hendak membawa Zaid pulang ke kampung setelah ia merdeka, ia menyatakan lebih suka tinggal dengan Nabi. Cintanya kepada Nabi yang semata-mata dari kebenaran dan kesucian Nabi, menyebabkan dengan mudah ia menjadi manusia yang pertama memeluk Islam. 

Setelah mereka, menyusul Ali bin Abu Thalib. Ia mengetahui benar kejujuran serta kebenaran Nabi saw. karena sejak kanak-kanak, ia hidup bersama Nabi. Ketika Nabi mengaku menjadi utusan Allah, ia berkata, “Pantaslah orang sesuci ia dipilih menjadi Rasul Allah swt.” 

Selain ketiga orang tersebut, di antara penduduk Mekah yang pertama masuk Islam adalah Abu Bakar, teman akrab Nabi sejak kecil. Ia senang sekali kepada Nabi, karena sudah diketahuinya benar bahwa ia seorang yang bersih, jujur dan dapat dipercaya. Karena itu, orang dewasa pertama yang diajaknya menyembah Allah swt. dan meninggalkan penyembahan berhala adalah Abu Bakar. Ia juga laki-laki pertama tempat mengemukaka isi hatinya akan segala yang dilihat serta wahyu yang diterimanya. Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi memenuhi ajakan Muhammad dan juga beriman pada ajakannya itu. 

Mereka berempat itulah orang-orang pertama yang beriman pada kenabian serta kerasulan Muhammad saw. Karena alasan tersebut, mereka disebut sebagai “Assaabiquunal Awwaluun.” Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid, Ali bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abu Bakar. Keempat orang ditambah Muhammad saw. itulah yang memiliki tekad kuat dan semangat yang membaja untuk memperkenalkan dan menyiarkan ajaran agama Islam kepada seluruh umat manusia. 

Keempat orang tersebut juga mencerminkan perwakilan masyarakat. Khadijah dan Abu Bakar mewakili golongan dewasa, wanita dan pria, yang dipandang terhormat dan berpengaruh. Zaid, mewakili pria dari kelompok yang dipandang lemah karena dia mantan budak. Sedangkan Ali bin Abu Thalib mewakili anak muda sebagai kader. 

Abu Bakar sendiri sebagai seorang pedagang yang berpegaruh, berhasil mengislamkan beberapa orang teman dekatnya di antaranya adalah Utsman bin Affan, Az Zubair bin Al Awwam, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah. Abu Bakar mengajak mereka menemui Nabi dan langsung masuk Islam di hadapan Nabi. Mereka yang jumlahnya masih sedikit itu secara sembunyi-sembunyi berkumpul di rumah Rasulullah saw. untuk mempelajari ajaran yang beliau bawa.

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama

Nabi Muhammad SAW Menerima Wahyu Yang Pertama
Sejak masa kanak-kanak, Muhammad senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia. Sekalipun ia tidak pernah melakukan pekerjaan keji yang umum dilakukan oleh bangsanya, khususnya dalam masalah ibadah kepada Tuhan. Mereka membuat berhala dari batu lalu mereka sembah dengan cara mereka sendiri. 

Mereka membuat tidak kurang dari 360 buah berhala. Setiap suku memiliki berhala masing-masing. Mereka memberi nama berhala-berhala itu dengan nama macam-macam, seperti Hubal, Latta, ‘Uzza, dan sebagainya. 

Melihat kerusakan yang menimpa umat manusia, dalam hati Muhammad timbul perasaan sedih sehingga tertanamlah dalam kalbunya cita-cita yang teguh, hendak membersihkan alam ini dari kebusukan-kebusukan itu. Dengan semakin bertambahnya usia, maka bertambah kuatlah cita-citanya. Saat usia beliau mendekati 40 tahun, timbullah dalam dirinya keinginan untuk berkhalwat (menyepi). 

Seringkali dan terkadang sampai berhari-hari, beliau mengasingkan diri dari kekalutan yang memenuhi negeri, berpisah ke suatu tempat yang sepi dalam sebuah gua batu yang bernama gua Hira. Gua yang terletak beberapa kilometer di utara Mekah. Gua tersebut gelap dan sempit, terletak di lereng gunung, kurang lebih 20 meter dari puncak. Orang yang tidak memiliki keberanian dan keteguhan hati seperti Muhammad tidak akan sanggup memasuki gua itu karena keadaannya yang mengerikan. 

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu, beliau bangun tengah malam. Kalbu dan kesadarannya dihidupkan. Beliau berpuasa lama sekali. Dengan demikian, beliau hidupkan renungan dalam benak beliau. Kemudian, beliau turun dari gua itu, melangkah ke jalan-jalan di padang sahara. Beliau kembali ke tempat beliau berkhalwat, hendak menguji, apakah yang berkecamuk dalam perasaannya? Apakah yang terlihat dalam mimpinya ?

Hal tersebut berjalan kurang lebih selama 6 bulan, sampai beliau merasa khawatir akan membawa dampak negatif terhadap diri heliau. Oleh karena itu, beliau nyatakan rasa kekhawatiran itu kepada Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Beliau khawatir kalau itu adalah gangguan jin. 

Tiba-tiba, pada suatu malam, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-40 dari kelahirannya, gua yang di tempatinya itu menjadi terang-benderang memancarkan seberkas cahaya yang kemudian menerangi seluruh ruangan dalam gua itu. Pada saat seperti itu, turunlah makhluk dari langit yang berbentuk manusia dengan kecepatan yang luar biasa, lalu menghampiri Muhammad seraya berkata, “Iqra’. (Bacalah)!”
Dengan perasaan kaget Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari‘in (Aku tidak dapat membaca).”
Ia merasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian melepasnya lagi seraya berkata, 

“Iqra (Bacalah)! “. Masih dalam ketakutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab, “Maa ana biqaari’in (Aku tidak dapat membaca).” 

Selanjutnya, malaikat itu memeluk Muhammad hingga Muhammad sulit bernapas, lalu malaikat itu melepaskannya seraya berkata : 


“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhamnu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling Pemurah, (Tuhan) Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-’Alaq [96]: 1-5) 

Setelah tersadar dari kekagetan itu, Muhammad lalu keluar gua dan melihat ke arah langit. Tampaklah di depan pandangannya suatu bentuk manusia yang sangat besar. Kedua kakinya saja mencapai ufuk penglihatannya. Orang besar itu berseru kepada Muhammad, “Wahai Muhammad, kamu adalah Rasul Allah dan aku adalah Jibril.” 

Setelah rupa malaikat itu menghilang, Muhammad pulang dengan wahyu yang disampaikan kepadanya. Hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah seraya berkata, “Selimuti aku.” 

Ia segera diselimuti, tubuhnya menggigil seperti sedang demam. Setelah rasa ketakutannya itu berangsur reda, dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan. Muhammad berkata, “Mengapa aku ini Khadijah?”. Diceritakannya peristiwa yang telah dialaminya, dan dinyatakan rasa kekhawatirannya akan teperdaya oleh kata hatinya atau ia akan.menjadi ahli nujum. 

Untuk lebih menenteramkan diri suaminya, pagi-pagi Khadijah pergi ke rumah seorang pendeta Kristen, Waraqah bin Naufal. Setelah mendengar peristiwa yang diceritakan Khadijah, ia berkata, “Saudaraku, jangan khawatir! Suamimu telah terpilih sebagai Rasul Allah. Allah telah berbicara dengan dia, sebagaimana Dia telah berbicara dengan Musa di gunung Tursina.” 

Dengan nada sedih Waraqah bin Naufal berkata lagi kepada Nabi. “Sekiranya umurku panjang, aku akan membelamu sekuat tenagaku pada saat engkau diusir oleh kaummu.”

Nabi Muhammad SAW Menjadi Pendamai Masyarakat

Nabi Muhammad SAW Menjadi Pendamai Masyarakat
Interaksi Muhammad saw. dengan penduduk kota Mekah tidak pernah terputus. Juga partisipasi beliau dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada saat itu, masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir besar yang turun dari gunung, menimpa dan meratakan dinding-dinding Ka’bah yang memang sudah rapuh. Sehab, dinding-dinding itu unumnya sudah tua, hampir mencapai 6.000 tahun; dibangun oleh Nabi Ibrahim as. semasa hidupnya. 

Perbaikan Ka’bah dilakukan secara gotong-royong. Dengan sukarela, penduduk Mekah membantu pekerjaan itu. Tetapi, pada saat yang terakhir, ketika pekerjaan tinggal mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad atau batu hitam ditempat semula, dengan tidak disangka-sangka timbullah perselisihan. Setiap orang berkeinginan untuk dapat mengangkat dan meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Setiap orang ingin memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula dengan tangannya sendiri. Demikian pula yang lainnya, berkeinginan yang sama, sehingga Hajar aswad menjadi rebutan.

Karena semuanya menginginkan hal yang sama dan setiap orang mengemukakan argumentasi- argumentasinya, akhirnya terjadilah pertengkaran mulut. Selang beberapa waktu, datanglah Ahu Umayyah bin Mughirab dari Bani Makhzum. Ia adalah orang tertua di antara mereka. Ia dihormati dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan seperti itu, ia berkata kepada mereka, “Serahkanlah putusan kalian ini di tangan orang yang pertama kali memasuki pintu Shafa ini.” 

Semua yang datang setuju dengan usul itu. Tetapi, belum disepakati bahwa mereka wajib mematuhi keputusan hakim yang akan datang itu. Demikianlah, akhirnya, semua menaati orang yang pertama kali masuk melalui pintu Shafa. 

Ketika mereka melihat Muhammad adalah orang yang pertama memasuki tempat itu, mereka berseru, “Inilah Al-Amin. Kami dapat menerima keputusannya.” Pada awalnya, mereka menceritakan permasalahan yang mereka hadapi kepada Muhammad. Mereka meminta agar Muhammad bersedia menjadi hakim.
 
Muhammad menerima pengangkatan itu karena berbagai pertimbangan antara lain :
  1. Permasalahannya adalah memperbaiki Baitullah “Rumah Allah” yang telah menjadi kewajiban suci bagi setiap orang Quraisy;
  2. Beliau sendiri dengan paman-pamannya telah ikut mengangkat batu-hatu dan gunung untuk perhaikan itu;
  3. Orang-orang telah menaruh kepercayaan atas kemampuannya serta mengharapkan bantuannya; dan
  4. Untuk mencegah pertikaian yang tidak berguna, yang hanya menghambat pembangunan. 
Lalu, dimulailah pekerjaan memindahkan Hajar Aswad. Muhammad meminta kepada setiap kepala suku agar ikut serta merasakan mengangkat dan memindahkan Hajar Aswad pada tempat sernula. Beliau menghamparkan sorban dan Hajar Aswad diletakkan di tengah-tengahnya seraya berkata, “Aku minta, setiap kepala suku memegang tepi kain ini dan mengangkatnya secara bersama-sama.” 

Mereka menerima dan menyambut ajakan Muhammad dengan perasaan senang, Mereka bersama-sama mengangkat tepi ijung sorbannya dan bersama-sama mengangkatnya sampai ke tempat semula. Setelah sampai di tempat semula, Muhammad memegang Hajar Aswad dengan dua tangannya, lalu mengangkat dan meletakkannya sendiri pada tempatnya semula.

Tabir Wanita