Friday 2 September 2016

Apa Hukum Meminang Dan Apa Status Hukum Perempuan Dipinang

Apa Hukum Meminang Dan Apa Status Hukum Perempuan Dipinang, hukum meminang menurut islam, hukum melamar menurut islam, status hkum wanita yang sudah dilamar, status lamaran, status dilamar, hukum meminang, hukum dipinang, syarat meminang.
Tanya : Bagaimanakah status perempuan yang telah dipinang dengan pria yang meminangnya? Apakah sudah seperti suami istri ataukah masih seperti orang biasa ? Mohon penjelasan Pak Kiai. Soalnya, saya pernah lihat sebagian dari mereka melakukan tindakan yang menurut saya tidak patut. 

Jawab : Dalam kehidupan sehari-hari, hampir tidak pernah dijumpai pernikahan tanpa didahului peminangan calon mempelai pria terhadap calon mempelai perempuan. Kalaupun ada, jumlahnya sangat kecil. 

Hal ini menunjukkan besar kesadaran masyarakat akan arti penting peminangan dalam rangka membentuk keluarga ideal yang penuh sakinah, mawaddah dan rahmah lewat pernikahan. 

Peminangan dalam literatur fikih disebut khithbah. Secara harfiah, khithbah adalah thalab ar-rajul al-mar’ah li az-zawaf permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk melakukan pernikahan. 

Pengertian istilah itu tidak jauh berbeda dalam arti harfiahnya. Kompilasi Hukum Islam Indonesia mendefinisikan peminangan sebagai upaya ke arah terjadi hubungan perjodohan antara seorang pria dan perempuan. 

Peminangan hukumnya sunah, diperintahkan, tetapi tidak sampai pada tingkat kewajiban. Tanpa peminangan, akad pernikahan tetap sah karena tidak termasuk rukun dan syarat. 

Toh demikian, seperti telah saya kemukakan, masyarakat pada umumnya tidak meninggalkan peminangan sebagai mukaddimah (pendahuluan) menuju perkawinan. 

Hal ini barangkali disebabkan banyak manfaat yang diperoleh. Lewat peminangan seorang pria mengetahui kesediaan makhthubah (perempuan yang dipinang) untuk dinikahi. Kesediaan ini sangat penting dikaitkan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Indonesia pasal 16 yang menyatakan perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
Lalu diperkuat oleh pasal 17, yang berbunyi : “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan”. 

Peminangan juga memungkinkan kedua calon mempelai saling mengenal, paling tidak secara fisik, dengan melihat secara langsung (mu‘ayanah). 

Rasulullah pernah menyuruh Al-Mughirah Ibn Syu’bah ketika meminang seorang perempuan agar melihatnya. Beliau bersabda, “Pandanglah dia, karena hal itu lebih bisa menciptakan keharmonisan antara kalian berdua.” (Al-Halal wa Al-Haram Fi Al-Islam, 170) 

Informasi yang lebih mendetail tentang kepribadian masing-masing dapat diperoleh melalui konsultasi dengan kawan atau kerabat. 

Dengan begitu, kekecewaan di kemudian hari akibat salah pilih dapat diantisipasi. Setelah memahami kekurangan dan kelebihan pasangannya, kedua pihak dapat memperkirakan risiko yang mungkin terjadi, sekaligus mempersiapkan diri secara mental untuk menghadapinya dengan penuh kedewasaan.
 
Status Hukum 
Kesadaran masyarakat akan arti penting peminangan hagi perkawinan ternyata belum diimbangi pengetahuan secara memadai tentang akibat hukum yang ditimbulkan. Bagaimanakah status hukum makhthubah dalam hubungannya dengan laki-laik yang telah meminangnya?

Apakah ia sama persis atau hanya dalam beberapa aspek dengan istri ataukah statusnya masih seperti ketika ia belum dipinang? 

Pada dasarnya antara peminangan dan pernikahan terdapat perbedaan yang sangat fundamental. Peminangan tidak lebih dari mukaddimah pernikahan. Dalam peminangan, laki-laki baru pada tahap mengungkapkan perasaan atau keinginan mengajukan penawaran kepada pihak perempuan untuk menikah. 

Sebuah penawaran tentu saja dapat diterima dan ditolak. Sedangkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Karena itu, setelah peminangan, status khatib dan makhthubah belum terjalin hubungan yang spesial. Mereka berdua masih dianggap seperti orang lain. Status suami istri lengkap dengan hak dan kewajibannya baru diperoleh setelah keduanya menikah. 

Ketentuan ini membawa konsekuensi, dalam masa tunggu antara peminangan sampai pernikahan, mereka berdua tidak dibenarkan mengerjakan hal-hal yang hanya diperkenankan dilakukan suami istri. Seperti berduaan di tempat sepi (al-khalwah), tidur bersama, apalagi melakukan hubungan s*ksual dan atau mukaddimahnya.

Akibat hukum peminangan terbatas pada pelarangan meminang perempuan yang telah dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak perempuan. Putusnya pinangan dapat diketahui lewat pernyataan secara lisan atau berdasarkan indikator-indikator yang lain. Rasulullah Saw. Bersabda : “Janganlah salah seorang dari kamu sekalian meminang (perempua) yang telah dipinang saudaranya, hingga ia (peminang sebelumnya) meninggalkannya atau mengizinkannya.” (Subul As-Salam: III, 113). 

Dengan demikian, para orang tua seyogyanya mengarahkan putra-putrinya agar tidak terlibat dalam huhungan terlalu jauh dengan calon pasangannya. Siapa tahu setelah salah satunya “mencicipi” yang lain, pernikahan batal dilangsungkan. Mengingat kemungkinan putusnya peminangan selama belum menikah masih terbuka. Di samping itu, perbuatan tersebut dilarang agama. Lagi pula status anak akibat “kecelakaan” sebelum pernikahan dalam masalah warisan dan lain-lain berbeda dengan anak yang sah. 

Satu hal yang jelas, memelihara kesehatan jauh lebih baik daripada mengobati penyakit. Apalagi jika penyakit itu tidak memiliki obat penawar.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita