Sunday, 28 August 2016

Bagaimana Hukum Shalat Bagi Pengantin Saat Resepsi Pernikahan

Bagimana Hukum Shalat Bagi Pengantin Saat Resepsi, sholat saat resepsi, hukum sholat saat nikah, sholat saat nikah.
Tanya : Begini Kiyai, kami mau menanyakan hukum shalat seorang pengantin. Dikarenakan sejak atau sebelum waktu shalat Zhuhur dia ditata perias. Ketika waktu shalat tiba, masak yang sudah dirias berjam-jam itu dihilangkan? padahal kalau dirias lagi, hal itu memakan waktu lama. Bagaimana cara shalatnya dan seperti apa pula hukumnya? (Amin MF, Jepara)

Jawab : Seperti telah kita ketahui bersama bahwa shalat lima waktu mulai Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’ adalah wajib hukumnya bagi setiap mukallaf, yaitu orang Islam yang telah baligh dan berakal. Selagi orang masih berstatus mukallaf dalam kondisi dan situasi bagaimanapun, kewajiban shalat tidak bisa gugur. Tidak terkecuali dalam hal ini seorang pengantin. Dalil-dalil tentang hal itu banyak disebutkan dalam Al-Quran maupun hadis. Allah berfirman :
Artinya: "Dirikanlah shalat” (QS. A1-Baqarah: 43)

Sesuatu yang wajib apabila ditinggalkan dengan sengaia maka akan mengakibatkan dosa bagi pelakunya. Kaitannya dengan shalat, Imam lbnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Az-Zawajir menjelaskan, meninggalkan shalat dengan sengala tanpa ada udzur termasuk dosa besar (al-kahair). 

Shalat hanya boleh ditinggalkan karena dua alasan, yaitu : lupa dan tidur. Itupun, masih ada kewajiban mengqadha’ Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. Bersabda :
Artinya : “Apabila seseorang tertidur dalam waktu shalat atau lupa, maka shalatlah ketika mengingatnya.” (HR. Muslim) 

Shalat harus dikerjakan tepat pada waktunya. Mengerjakan shalat sebelum atau sesudah waktunya tidak dibenarkan, bahkan termasuk dosa besar (min al-kabait). Allah berfirman dalam Al-Quran :
Artinya : “Sesungguhnya shalat itu atas orang-orang yang beriman adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya.” (QS. An-Nisa’: 103) 

Setiap shalat mempunyai waktu sendiri-sendiri. Ketepatan waktu menjadi salah satu syarat keabsahan shalat. Konsekuensinya, barangsiapa mendirikan shalat sebelum waktunya tiba, diwajibkan mengulang kembali. 

Salah satu ciri agama Islam adalah mudah dilaksanakan dan tidak memberatkan (al-yusr atau ‘adam al-haraj). Oleh karena itu, dalam situasi dan kondisi tertentu, seseorang diperbolehkan menjamak shalat, yaitu menggabungkan dua shalat dalam satu waktu, Zhuhur misalnya digabungkan dengan Ashar atau shalat Maghrib dengan Isya’. Jika pada waktu pertarna disebut Jamak taqdim, kalau pada waktu kedua dinamakan jamak ta‘khir. 

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan sebab-sebab diperholehkannya menjamak shalat. Pendapat yang populer dikalangan fuqaha Syafi’iyah hanya memperbolehkan jamak dalam keadaan bepergian dan hujan dengan syarat-syarat tertentu, serta haji di Arafah dan Muzdalifah. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adiliatuh II, 1377). 

Dengan demikian, menurut Madzhab Syafi’i, tidak diperbolehkan menjamak shalat bagi pengantin dengan alasan merusak make up. 

Oleh karena itu, solusi yang bisa ditawarkan kepada pengantin adalah memilih saat merias dengan tepat. Misalnya, begitu datang waktu Zhuhur, pengantin langsung shalat, lalu dirias. Pukul lima sore, pengantin shalat Ashar. Begitu waktu maghrib datang, langsung shalat untuk selanjutnya dirias kembali. Shalat Isya’ dapat dikerjakan sampai lewat tengah malam, asal fajar belum terbit. 

Langkah tersebut paling aman dan mengun-tungkan. Karena pada satu sisi, jelas tidak melanggar syara pada sisi lain kesempatan merias pengantin relatif lama.
Benar, bahwa waktu pernikahan merupakan moment kebahagiaan serta sejarah manis dalam kehidupan. Tapi jangan sampai perasaan yang amat bahagia tersebut kemudian kita malah lalai dan sengaja meninggalkan kewajiban yang paling asasi sebagai makhluk, yaitu untuk beribadah kepada Allah.
Perhatikan firman Allah berikut ini :
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz zariyat: 56) 

Justru nikmat kebahagiaan tersebut mesti kita syukuri misalnya dengan tetap menjalankan shalat lima waktu yang menjadi rukun Islam kedua. Bukan malah dinodai dengan pelbagai bentuk kemungkaran.

Hukum Nikah Dengan Wali Saudara Menurut Fikih Islam

Hukum Nikah Dengan Wali Saudara Menurut Fikih Islam, hukum wali saudara, sah apa tidak saudara jadi wali nikah, wali nikah, saudara jadi wali nikah, sahnya nikah, syarat wali nikah, siapa saja yang bisa jadi wali nikah.
Tanya : Seorang gadis akan menikah, sementara ayahnya yang bertugas sebagai pelaut masih dalam pelayaran. Dalam akad nikah, yang menjadi wali kemudian adalah saudaranya. Padahal kakeknya ada dan siap menjadi wali. Bagaimana hukum pernikahan tersebut?

Jawab : Belum lama berselang telah pernah diterangkan, urutan orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahan. Pertanyaan di atas, pokoknya mungkin adalah bagaimana bila urutan wali pernikahan tersebut tidak dilakukan menurut apa yang telah ditegaskan dalam berbagai kitab fikih dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia? 

Dalam berbagai kitab fikih, di antaranya Al-Umm, Bujairami ‘ala Minhaj. Madzahibu Al-Arba ‘ah dan lain-lain diterangkan, urutan atau tartib dalam masalah wali merupakan syarat dalam pelaksanaan akad nikah. Harus mendahulukan ayah, bila berhalangan digantikan oleh kakek, demikian seterusnya menurut urutan yang telah ditentukan. Kalau tartib merupakan syarat, tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja. 

Diterangkan dalam berbagai kitab Ushul Fiqh, bahwa syarat adalah “ma yatawaqqafu ‘alaihi sihhatu asy-sy’i wa laisa huwa minhu” (sesuatu yang sah atau tidaknya sesuatu yang lain tergantung kepadanya, dan ia bukanlah bagian dari sesuatu tersebut). Dan sisi lain, perwalian merupakan hak bagi mereka dan tidak dapat diambil oleh pihak lain. 

Dari keterangan tersebut dapat diketahui, pernikahan mana yang menjadi wali adalah saudara, sementara kakek yang lebih berhak ada dan siap, dapat dianggap tidak sah. Terkecuali ada mandat dari pihak kakek kepada saudara térsebut.

Dalam kasus semacam itu, -bila memang terjadi- adalah mengulangi lagi akad nikah tersebut, agar terhindar dan hal- hal yang dilarang oleh agama.

Hukum Kawin Paksa Menurut Fikih Islam

Hukum Kawin Paksa Menurut Fikih Islam, kawin paksa dalam kacamata islam, islam memandang kain paksa, kawin paksa.
Tanya : Dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang terjadi seorang anak perempuan dipaksa menikah oleh bapaknya. Karena merasa tidak cocok, semisal ingin melanjutkan pendidikannya, dia pun menolak. Kalaupun menerima, tidak sepenuh hati. Bagaimana hukum kawin paksa itu?

Jawab : Setiap insan tentu ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan. Suatu keinginan yang mulia dan sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam diri manusia terdapat hajat atau syahwah jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat proses imarah al-ardh (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan. 

Sudah pasti pula, perkawinan tersebut diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu keadaan yang sering kita istilahkan dengan penuh ma waddah, mahabbah, dan rahmah. Karenanya gagasan tentang “rumahku surgaku di dunia” dapat menjadi nyata. 

Kiranya disepakati, penentuan calon pendamping baik istri maupun suami merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah. Proses tersebut hendaknya dilakukan dengan penuh kehati-hatian, karena akan sangat mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan yang diidealkan.
Permasalahannya menjadi agak rumit, tatkala dalam memilih jodoh ternyata seseorang tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua, sehagai pihak yang menjadi perantara kehadirannya di dunia. 

Di samping alasan moral tersebut, orang tua juga merasa memiliki alasan ikut menentukan sang calon, berupa keinginan membahagiakan anaknya, menjaga nama baik, meneruskan misi, dan lain-lain serta serangkaian cita-cita yang sangat wajar dan normal bagi mereka. 

Keterlibatan mereka akan menyebabkan terjadi proses tarik-menarik antara harapan dan kepentingan si anak dengan harapan dan kepentingan orang tua, yang kita tahu memang tidak selamanya sama. Bahkan kadang-kadang cenderung berlawanan, misalnya anak menginginkan suami yang sederhana asal berbudi luhur, sedangkan orang tua lebih memprioritaskan aspek material daripada pertimbangan moral keagamaan. 

Perbedaan tersebut pada gilirannya akan mengakibatkan adanya ketidaksamaan dalam membuat kriteria calon yang diinginkan, yang kalau tidak bisa dikompromikan lewat pencarian solusi yang memuaskan kedua pihak, tidak mustahil akan terjadi perbuatan-perbuatan yang nekat dan irasional, seperti kawin lari, bunuh diri, atau menunjukkan diri ke dalam dunia hitam yang justru merugikan diri sendiri. Hal ini adalah suatu kenyataan yang sangat kita sesalkan. 

Selanjutnya, bagaimana sikap (ulama atau ahli fikih) dalam masalah tersebut? ini merupakan permasalahan yang layak untuk dikedepankan di tengah-tengah giatnya upaya emansipasi perempuan pada zaman ini yang kadang-kadang secara salah kaprah dimengerti sebagai persamaan dalam segala aspek kehidupan tanpa melihat sisi-sisi perbedaan sehingga terjebak dalam sikap ifrath.

Dalam Madzhab Syafi’i, sebagaimana termaktub pada litreratur-literatur fikihnya, ternyata diakui adanya wali mujbir -bapak atau kakek- yang memiliki hak memaksa anak perempuannya yang masih perawan. Hak ijbar tidak berlaku untuk perempuan bukan perawan untuk menikah dengan laki-laki tanpa persetujuannya. 

Pendapat tersebut secara implisit mengakui orang tua sebagai pihak yang lebih tahu dan berpengalaman menentukan pasangan anaknya. Nilai lebih itu kemudian dilengkapi adanya rasa kasih sayang yang sudah menjadi fitrahya. Perpaduan antara pengalaman, kebijaksanaan, dan kasih sayang ini bila berjalan sebagaimana mestinya tampaknya cukup menjamin hak memaksa yang dimiliki tidak akan membawa pada keputusan keliru.

Namun sangatlah berbahaya, bila masalah hukum hanya didasarkan atas kasih sayang semata. Karenanya hak ijbar (memaksa) tersebut hanya bisa diberlakukan, jika telah memenuhi beberapa persyaratan yang sangat ketat, seperti antara anak dan wali tidak terjadi permusuhan yang jelas diketahui masyarakat sekitar, anak tidak terlibat permusuhan dengan calon pasangan, baik secara terang-terangan maupun tidak, sang calon harus setara dan kaya dalam arti mampu memenuhi kewajiban-kewajibanfnya sebagai suami dan mampu pula membayar mahar. Kalau keempat syarat tersebut tidak dipenuhi, pernikahannya tidak sah. 

Selain itu, ada satu hal lagi yang bila tidak dipenuhi, maka sang wali berdosa, meski pernikahannya tetap sah, yaitu jumlah mahar tidak kurang dari mahar mitsil (sesuai dengan mahar yang diterima saudara-saudara perempuan dan kerabatnya). Berupa mata uang yang lazim digunakan di daerahnya serta diserahkan secara kontan. Ketentuan itu secara lengkap dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-A rba‘ah.

Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arahnya al-kufu ialah sederajat atau setingkat dalam aspek, nasab status (kemerdekaan, profesi dan agama). Perempuan yang salehah tidak setara dengan laki-laki yang tidak bermoral. Perempuan yang berasal dari keluarga dengan profesi terhormat tidak setara dengan yang berprofesi kurang terhormat. 

Kesetaraan itu seperti disinggung dalam kitab Fath Al-Mu‘in merupakan hak anak dan orang tua. Si anak herhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya, orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak atau melakukan al-adhul. 

Perlu juga diperhatikan, hak ijbar yang telah memenuhi syarat tersebut, menurut Muktamar Nahdlatul Ulama, dengan merujuk pada kitab Al-Bujairami ‘ala Al-Iqna hanya diperkenankan jika tidak dikhawatirkan membawa akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang dimaksud “diperkenankan” pada kasus ijbar di sini bukan berarti mubah, melainkan makruh, yang berarti perkawinan semacam itu sebaiknya tetap dihindari. Sebaliknya dianjurkan (sunah) meminta izin dan persetujuan si anak. Hak ijbar juga dijumpai dalam Madzhab Maliki dan Hanbali. 

Selain pendapat tersebut, ada juga ulama yang tidak mengakui hak ijbar terhadap anak perempuan yang telah baligh secara mutlak, baik perawan maupun janda. Mereka adalah pendukung Madzhab Hanbali. Pendapat itu sangatlah beralasan. Sebab jika dalam masalah jual beli saja unsur faradhi (kerelaan, lawan dan ikrah, paksaan) menjadi Syarat keabsahan akad, tentu hal yang sunah -bahkan Iebih baik- juga berlaku dalam perkawinan yang jauh lebih penting. Karena hal ini mencakup kehidupan seseorang secara langsung dalam jangka panjang. Pendapat itu diperkuat asumsi, adalah hak setiap manusia menentukan nasib sendiri.

Di samping alasan-alasan rasional, mereka juga menyalurkan dalil tekstual (naqly) berupa hadis riwayat Imam Abu Majah yang dinukil dalam isi kitab Al-Halal wa Al-Haram Ii Al-Islam, yang mengesahkan tentang seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw. mengadukan nasib telah dinikahkan bapaknya dengan anak laki-laki saudaranya(keponakan) yang tidak disukainya. Akhirnya Rasulullah menyerahkan urusan perkawinan kepadanya. Dalam arti, dia diberi hak membatalkan perkawinan tersebut. Anehnya dia tidak mau, bahkan berkata, “Saya memperbolehkan tindakan bapakku, cuma saya ingin memberitahukan kepada para perempuan bahwa orang tuanya tidak berhak apa-apa atasnya. Artinya mereka tidak berhak memaksa.” 

Pertimbangan-pertimbangan itulah yang mungkin mendorong Tim Perumus Kompilasi Hukum Islam, yang menjadi pedoman para hakim di pengadilan-pengadilan agama di Indonesia, pada bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan, pasal 16, bagan dan buku 1 tentang Hukum Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. 

Ketentuan itu selanjutnya diperjelas lagi dengan Pasal 17 sebagai konsekuensinya yang berbunyi, “Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.” 

Dan uraian itu dapatlah diranik satu kesimpulan, persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian sewajarnya. Meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi pengamatan ajaran Rasulullah Saw., juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al khilafmustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda adalah sunah.

Satu dari lain hal yang perlu mendapat perhatian, manusia tidak terdiri atas jisim semata. Dia juga memiliki jiwa dan perasaan sehingga kebahagiaannya pun hanya akan sempurna, jika kebutuhan keduanya terpenuhi dengan cukup dan seimbang. Kedua aspek itu saling mempengaruhi, dan oleh karenanya dalam setiap pengambilan keputusan apa jenisnya mesti dipertimbangka. Tidak terkecuali dalam hal ini masalah perkawinan.

Pandangan Fikih Islam Terhadap Pasangan Sesama Jenis

Pandangan Fikih Islam Terhadap Pasangan Sesama Jenis, hukum homo seksual, hukum homo, islam memandang homo, homo menurut islam, hukum lesbian
Tanya : Begini Kiyai, saya mempunyai permasalahan dalam orientasi s*ks yang mempunyai ketertarikan pada sesame jenis. Saya tidak tahu apa penyebabnya, demikian pula saya tidak berdaya bahkan rasanya mustahil mengubah perilaku negatif tersebut. Bagaimana posisi saya (h*mo s*ks) dalam perspektif syariat Islam dan bagaimana langkahterbaik yang harus saya tempuh dalam mengarungi kehidupan dunia ini terutama tentang pernikahan? (Ubaidillah F, Purworejo) 

Jawab : H*mo s*ks sering dimaknai sebagai hubungan s*ks antara sesama laki-laki baik dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam dubur atau anus sejenisnya. Perilaku ini disebut liwath atau dalam istilah medis dinamakan an*l s*ks. Cara lain dapat juga dengan memasukkan alat kelamin di antara dua pangkal paha sejenisnya yang disebut mufalthadzah.

Terhadap hubungan s*ks antara sesama laki-laki dengan cara liwath maupun mufakhadzah, para ulama sepakat bahwa hukumnya haram bahkan di anggap sebagai perilaku yang sangat menjijikkan, keji dan melebihi hewan. Karena hewan saja tidak melakukan hal seperti itu. 

Dalam menentukan sanksinya, ada 3 (tiga) pendapat, Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hanbal memberikan sanksi dibunuh, baik yang mengerjai maupun yang dikerjai dengan alasan hadis riwayat Imam Lima (Imam Abu Daud, Tirniidzt, Ahmad, Ibnu Majah, Nasai). Selain adanya nash :

Artinya : “Bila kalian menemukan seseorang mengerjakan pekerjaan kaum Luth (H*mo s*ks), maka bunuhlah yang mengerjai dan dikerjai. “(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah) 

Golongan Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa sanksi pelaku tercela itu sama dengan hukum zina berdasar hadis :
Artinya : “Apabila ada laki-laki menyetubuhi sesama laki-laki. maka keduanya adalah berzina.” 

Pendapat ketiga, golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa hal itu tidak sama dengan zina. Karena itu, maka sanksinya cukup dengan ta’zir (hukuman yang dapat menjadikan orang jera). 

Pada dasarnya para ulama yang berpendapat bahwa haram malakukan hubungan s*ks antara sesama laki-laki atau yang tidak lazim dan tidak wajar, adalah bertolak dari firman Allah sebagai berikut :
Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miiki. maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (QS. A1-Mu’minun: 5-6)  

Kebutuhan biologis manusia berupa kepuasan s*ks, dalam syariat Islam bukan sekedar watak manusiawi yang tanpa makna. Karena manusia hidup totalitas sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang diciptakan Allah lebih sempuma dan mulia.
Memang, manusia sulit untuk tidak memenuhi kebutuhan s*ksnya, namun pemenuhan itu tidaklah kemudian dilakukan secara bebas yang absolut, tetapi ada batas-batas tertentu yang secara normatif disetujui oleh masyarakat lingkungannya maupun ajaran agama yang ia yakini kebenarannya. Karena bila tidak demikian maka ia akan kehilangan kesempurnaannya dan kemuliaan, yang pada gilirannya juga akan menghilangkan identitas dirinya. Kebebasan hubungan s*ksual yang absolut, disadari maupun tidak akan mengakibatkan perilaku yang tidak normatif dan sudut pandang sosial maupun agama. Akibatnya timbul kerusakan moral dan kehormatan yang tidak mustahil juga kerusakan jasmani. 

Problema yang dihadapi para pelaku h*mo s*ks dan pelaku free s*x umumnya bukan sekedar hasrat terhadap pemenuhan kebutuhan s*ks semata, tetapi sudah merupakan perilaku kebiasaan, fantasi, selera, hobi bahkan watak yang sangat sulit untuk diubah apalagi dalam waktu yang singkat. 

Namun demikian, penyembuhan terhadap permasalahan Anda bukanlah hal yang mustahil. Ada banyak hal yang bisa dilakukan sebagai langkah penyembuhan h*mo s*ks atau kelainan s*ks yang lain. Hal itu bisa berlaku secara individual dengan cara memperbanyak ibadah, dzikir, atau aktivitas yang dapat mengurangi pada dorongan s*ks, semisal tidak bergaul dengan sesama pelaku h*mo s*ks. Namun rasanya terapi individual ini relatif sangat sulit karena manusia ketika ia sendirian tetaplah manusia, ia akan berperilaku sesuai dengan dorongan psikis pribadinya. Saya yakin semua orang tahu bahwa h*mo s*ks adalah perilaku s*ks yang tidak sehat dan keliru tetapi kadang orang tidak kuasa untuk mengendalilannya. Apalagi ketika nafsu s*ksual sudah hegitu menguasai dirinya, orang seringkali kehilangan kontrol. Oleh karena itu, terapi individual ini tidak bisa tidak harus juga didukung oleh niatan serta tekad yang kuat untuk sembuh, kesadaran sekaligu disiplin yang tinggi. 

Tipis kemungkman orang dapat sembuh dan kelainan psikis s*ks ini dengan sendirinya, karena itu tidak ada salahnya usaha penyembuhan itu juga melibatkan orang lain seperti menikah misalnya. Karena dengan demikian akan ada interaksi dengan sang istri yang tidak menutup kemungkinan akan bisa memberikan kontribusi besar pada Anda, setidak-tidaknya memberikan penyaluran s*ks yang sehat, atau bergaul dengan pribadi-pribadi atau komunitas masyarakat yang memperhatikan norma-norma sosial serta agama dengan baik yang tidak membenarkan adanya h*mo s*ks atau aktivitas free s*x yang lain. Bila memungkinkan, mintalah bantuan dari psikiater.

Apa Hukum Bunga Bank Menurut Fikih Islam ?

Hukum Bunga di Bank Pemerintah dan Swasta
Tanya : Apakah ada perbedaan dalam hukum menabung antara bunga di bank pemerintah dan swasta? (Mutammimah, Salatiga) 

Jawab : Pengharaman riba oleh para ulama sudah tidak diragukan lagi karena tidak sesuai dengan rasa kemanusiaan. Al Quran secara eksplisit menegaskan hal itu. Dalam surat Al Baqarah ayat 275, Allah berfirman:
Artinya : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. A1-Baqarah: 275) 

Ayat yang sejalan dengan ayat ini banyak. Demikian pula dengan hadis yang berfungsi sebagai penjelas kandungan Al Quran yang masih bersifat global. 

Kesepakatan tentang status hukum riba ternyata tidak disertai kesepakatan dalam menentukan bentuk dan kriteria riba yang diharamkan. Ada bentuk-bentuk transaksi yang disepakati sebagai praktik riba yang hukumnya haram, tetapi ada pula tindakan yang diperselisihkan, apakah termasuk praktik riba atau tidak. 

Perbedaan penilaian itu, mau tidak mau membawa akibat terhadap perbedaan status hukumnya. Termasuk yang disebut terakhir adalah bunga bank pada zaman ini. Apakah termasuk riba yang dilarang atau tidak? Masing-masing mempunyai alasan, dalil dan pertimbangan sendiri-sendiri.

Salah satu penyebab khilaf tersebut adalah kenyataan bahwa bank belum dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Nah, ketika turun ayat yang melarang riba, apakah yang dimaksud praktik riba yang dikenal saat itu, yang memang tidak manusiawi, eksploitatif, dan untuk kepentingan konsumtif, ataukah mencakup model bank sekarang yang umumnya diperuntukkan membiayai usaha-usaha produktif? 

Sedangkan yang dimaksud bank di sini, mencakup bank pemerintah dan swasta. Karena, di antara keduanya tidak ada perbedaan. Lain halnya dengan bank syariah yang menerapkan sistem mudharabah atau syirkah, jelas diperbolehkan syara.

Karena pertimbangan-pertimbangan itulah, ulama NU dalam salah satu maklumatnya setelah melakukan kajian secara matang, memutuskan hukum bunga bank (nasional maupun swasta) ada 3 (tiga), haram, halal dan syubhat (tidak jelas halal maupun haramnya). 

Dengan keputusan tersebut, bukan berarti NU bersikap ambivalen. Ketidaktegasan itu justru karena didasari sikap objektif dan kejujuran ilmiah. Hal itu bukan hanya milik NU. Para ulama juga banyak yang bersikap seperti itu. 

Tidak mustahil, dalam satu kasus terdapat beberapa kemungkinan hukum akibat ada tarik-menarik beberapa dalil. (lihat Ahkam Al-Fuqaha, kumpulan hasil bahfsul masail Muktamar NU).

Saturday, 27 August 2016

Tiga Landasan Aqidah Islam Yang Harus Kita Ketahui

Tiga Landasan Aqidah Islam Yang Harus Kita Ketahui

Akidah (bahasa arab: Ø§َÙ„ْعَÙ‚ِÙŠْدَØ©ُ; transliterasi: al-'AqÄ«dah) dalam istilah islam yang berarti iman atau percaya yakin.  Ada tiga landasan utama yang wajib diketahui oleh setiap muslim dan muslimah, tiga hal tersebut merupakan landasan seorang hamba untuk mempunyai aqidah yang kuat menjadi seorang muslim dan mukmin. tiga landasan tersebut adalah :
 1. Jika seorang muslim dan muslimah ditanya: “Siapa Rabbmu?”  Maka Jawablah: “Rabbku adalah Allah, yang telah menghidupkanku dan memelihara semua makhluk di alam semesta ini dengan berbagai nikmat-Nya. Dialah yang aku sembah dan tidak ada yang patut sembah selain Dia semata”.  Hal tersebut sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:
 “ Segala puji bagi Allah, Rabb (Tuhan) semesta alam”. {Qs. Al-Fatihah: 2}.
 2. Jika seorang muslim dan muslimah ditanya: “Apakah Agamamu?” Maka Jawablah: “Agamaku Islam” ,agama islam adalah agama yang aku pilih yang akan menolongku baik dunia  maupun di akhirat, hal tersebut sesuai dengan firman Allah Yang berbunyi:
 “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam...”.{Qs. Ali-Imran:19}.
     Ayat tersebut jelas menerangkan bahwa hanya agama islam yang diridhoi oleh Allah Rabb pemilik      seluruh alam. Hal tersebut dipertegas oleh firmannya yang berbunyi :
 “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama     itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi”. {Qs. Ali-Imran:85}
 3. Jika seorang muslim dan muslimah ditanya:: Siapa Nabimu? Maka Jawablah? ”Muhammad        bin Abdullah bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Beliau adalah keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim,      Kekasih Allah. Beliau adalah nabi dan rosulku yang akan memberikan syafaat atau pertolongan          kepadaku diakherat nanti.
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita     gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang        penghuni-penghuni neraka”. Al-Baqarah (2:119)
 Ayat tersebut menjelaskan bahwa muhammad adalah seorang utusan Allah yang memberi kabar gembira dan peringatan kepada seluruh manusia. Memahami aqidah islam harus memiliki landasan yaitu keyakinan baik hati,ucap dan tingkah laku atas ikrar didalam hidup kita bahwa Tuhan kita adalah Allah S.W.T,  agama kita sampai kita mati adalah Islam, dan Nabi kita yang akan memberikan syafaat(pertolongan) di akhirat nanti yaitu Muhammad SAW dengan segala keteladana yang harus kita ikuti.

Aborsi "Diperbolehkan" Dalam Fikih Islam

Aborsi "Diperbolehkan" Dalam Fikih Islam, Aborsi "Diperbolehkan" Dalam Fikih Islam, hukum aborsi, aborsi menurut islam, kacamata islam tentang aborsi, islam memandang aborsi, hukum aborsi menurut islam.
Tanya : Dalam kehidupan suami-istri, kami menginginkan tidak terlalu banyak memiiki anak sampai berusaha agar hubungan kami tidak sampai menjadi anak dengan jalan mengggugurkan kandungan saya. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap pengguguran kandungan (aborsi)? (Shoirurotun Hasanah, Sidoarjo) 

Jawab : Dalam literatur-literatur fiqih, pengguguran kandungan itu diistilahkan dengan i’ihadh yaitu isti’malu ad-dawa bi-qashdi al-isqath menggunakan obat dengan maksud menggugurkan kandungan. (Nthayah A1-Muntaj VIII, 416) 

Berdasarkan kenyataan, bakal manusia (janin) yang ada dalam kandungan seorang perempuan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi bahwa 40 (empat puluh) hari pertama bakal manusia masih berupa nuthfah atau sperma. 40 (empat puluh) hari kemudian menjadi ‘ala qah atau gumpalan darah dan 40 (empat puluh) hari lagi menjadi mudghah atau segumpal daging. Baru kemudian dalam masa tiga kali empat puluh (3 x 40) hari itu Allah meniupkan ruh pada bakal manusia. Dengan demikian, mulai saat itulah kandungan memiliki aktivitas kehidupan. 

Boleh tidaknya pengguguran kandungan didasarkan pada pandangan sudah hidup atau belumkah kandungan itu dan seberapa tinggi penghargaan terhadap kehidupan itu sendiri. 

Menurut ulama-ulama Hanafiyah, pengguguran kandungan setelah tiga kali empat puluh (3 x 40) hari atau 120 hari yang berarti sudah ditiupkan ruh, adalah haram. Di sini mereka memandang bahwa manusia mulai memiliki ruh atau kehidupan setelah 120 hari berada dalam kandungan ibunya. Oleh karenanya menggugurkan adalah haram karena sama dengan membunuh.

Adapun sebelum masa ilu, maka hukumnya boleh bahkan sekalipun tanpa seizin suaminya. Namun demikian seorang ulama Hanafiyah berpendapat makruh karena sesuatu yang ada dalam rahim memiliki hukum hidup seperti halnya telur hewan buruan tanah haram Makkah dan Madinah. (Fath Al Qadir. II, 495). 

Sementara dalam kajian-kajian fikih Hanabilah, pengguguran kandungan boleh dilakukan sebelum usianya mencapai 40 (empat puluh) hari (masih berupa sperma). Sedangkan setelah lebih dari batas itu tindakan pengguguran adalah dosa dan akan dikenakan kafarah atau pengganti. (Mukhtashar Al-Mughni II, 316). 

Demikian juga pendapat ulama-ulama Syafi’iyah yang menyatakan tidak dikenakan hukum apapun dalam pengguguran kandungan yang belum mencapai 40 (empat puluh) hari, meskipun ada juga sebagian ulama yang mengharamkan. Artinya tidak dibenarkan merusak atau mengeluarkan kandungan sesudah berada dalam rahim. (Nihayah A1-Muhtaj VIII, 416).

Dan dua madzhab ini (Syafi’iyah dan Hanafiyah) dapat kita tangkap bahwa sperma itu setelah berada dalam rahim belum hidup dan baru dapat dilihat tanda-tanda kehidupannya setelah lebih dari 40 (empat puluh) hari yang kemudian berubah menjadi ‘alaqah dan mudghah. Oleh karena itu pengguguran hukumnya boleh dilakukan ketika kandungan masih berupa sperma (sebelum 40 hari) itu pun masih ada yang mengatakan makruh. 

Sedangakan menurut Malikiyah, tidak dibenarkan sama sekali (haram) mengeluarkan sperma yang sudah berada dalam rahim meskipun belum mencapai 40 (empat puluh) hari. (Hasyiah Dasuqy. II, 266). Nampak sekali dalam pendapat ini nuansa kehati-hatiannya sehingga terbebas dari khilafan tindakan makruh sekalipun.

Dan semua pendapat di atas dapat disarikan bahwa boleh menggugurkan kandungan selagi masih berupa sperma (kurang dan 40 hari). Boleh juga menggugurkannya sebelum mencapai 120 hari tetapi ini akan berisiko tinggi bagi sang ibu karena kandungan sudah berujud gumpalan darah atau daging. Dan yang terakhir tidak boleh sama sekali.

Sumber : disadur dari buku "Dialog Dengan Kiyai Sahlan"

Kapan Malaikat Diciptakan Dan Dari Apa Malaikat Diciptakan ?

Kapan Malaikat Diciptakan Dan Dari Apa Malaikat DIciptakan ?, penciptaan malaikat, bahan malaikat diciptakan, waktu malaikat diciptakan, kisah malaikat diciptakan, dalil malaikat diciptakan.
1. Bahan Penciptaan Malaikat
Rasulullah SAW. memberitahukan kepada kita dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah binti Abi Bakar RA. Bahwa bahan yang menyusun penciptaan Malaikat adalah cahaya. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW. “Malaikat diciptakan dari cahaya, Jin diciptakan dari kobaran api, dan Adam diciptakan daii apaapa yang telah diterangkan kepada kalian.” (HR. Imam Muslim). 

Rasulullah SAW tidak menjelaskan secara gamblang kepada kita tentang cahaya seperti apa yang menyusun materi penciptaan Malaikat. Oleh karena itu, kita tidak bisa menyelami permasalahan ini untuk lebih menentukan jenis cahaya tersebut, karena hal itu adalah perkara ghaib yang tidak ada penjelasan yang melebihi penjelasan hadits di atas. 

Sedangkan apa yang diriwayatkan dan lkrimah ra. Bahwa ia berkata:
“Malaikat itu diciptakan dari cahaya kemuliaan, dan Iblis diciptakan dan api kehinaan.” 

Juga apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bahwa ia berkata: “Allah menciptakan Malaikat dari cahaya kedua hasta dan dada.” 

Adapun yang disebutkan oleh Waliyullah ad-Dahiawi di dalam Hujjatul Baalighah (hlm.33), yaitu bahwa Malaa-ul A’laa (para Malaikat) itu terbagi tiga jenis:
  1. Yang Pertama, alam kebenaran, dimana tatanan kebenaran bergantung kepada mereka. Maka mereka diciptakan dalam bentuk jasad dan cahaya, seperti api yang pernah dilihat oleh Nabi Musa, kemudian ditiupkan padanya ruh yang mulia.
  2. Yang Kedua, terjadi percampuran yang tepat di dalam uap-uap tipis dan beberapa unsur yang mengakibatkan bergejolaknya jiwa mulia yang sangat menolak keburukan-keburukan sifat-sifat kehewanan.
  3. Yang Ketiga, mereka adalah jiwa-jiwa manusia yang sumbernya hampir sama dengan sumber Malaikat, dimana ia senantiasa melakukan amalan-amalan yang menyelamatkan yang menjadikan mereka disejajarkan dengan para Malaikat. Kemudian dihilangkan darinya unsur-unsur (manusia) sehingga ia berjalan di jalur para Malaikat dan dianggap bagian dari Malaikat.

2. Kapan Malaikat Diciptakan?
Kita tidak mengetahui secara pasti kapan diciptakannya para Malaikat. Allah SWT tidak mengabarkan kepada kita tentangnya. Akan tetapi kita mengetahui bahwa Allah SWT, menciptakan Malaikat sebelum Allah menciptakan Nabi Adam AS, bapak manusia. Allah telah mengabarkan kepada kita bahwa Allah memberiahukan kepada Malaikat-Nya bahwa Dia hendak menjadikan seoorang khalifah di atas bumi. Allah berfirman :
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu beriman kepada para alaikat, Aku menjadikan khalifah di bumi....” (QS. Al - Baqarah : 30). 

Yang dimaksud dengan khalifah disini iadalah Nabi Adam AS. Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk sujud kepada Adam setelah Allah SWT menciptakannya. Sebagaimana Firman-NYa :
Artinya : Maka apabila aku telah menyempurnakan (kejadian besar)nya ,dan aku telah meniupkan ruh (ciptaan)Ku kedalamnya,maka kamu (wahai parah malaikat) tunduklah kepadanya (Adam) dengan bersujud.” (QS.Al Hijr:29).

Tabir Wanita