Sudah lama persoalan rokok menjadi kontroversi yang tidak pernah usai. Sebagian di antara ulama berpendapat dan menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. Inilah keragaman pendapat dalam Islam, yang masing-masing memiliki dasar dalam membuat fatwa.
Perbedaan pendapat itu dikarenakan pada rujukan nash yang bersifat umum yang menjadi patokan hukum atas persoalan rokok ini, yakni adanya larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana tercantum di dalam Al-Qur'an dan Hadis sebagai berikut:
Firman Allah SWT dalam Al-Qur'an :
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah: 195)
Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain).” (HR. Ibnu Majah, No.2331)
Berdasar dari dua nash di atas, seluruh ulama sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak ?, dan bermanfaat ataukah tidak ?. Disinilah muncul perbedaan pendapat dalam hal menafsirkan dan menginterpretasikan soal kemudharatan dan kemanfaatan dari rokok.
Perbedaan-perbedaan pendapat serta argument dari ulama-ulama terkait rokok dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum.
Pertama ; ulama yang berpendapat hukum merokok adalah mubah atau boleh berargumen karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Dan menilik bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.
Dalil yang mendasari rokok mubah :
* Kaidah fiqih “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah”
Kedua ; ulama yang berpendapat hukum merokok adalah makruh berargumen karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan (belum cukup alasan) untuk menyatakan dan menjadikan dasar hukum haram.
Dalil yang mendsarkan rokok makruh :
* Kaidah fiqih “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah”
Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang menyatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafi’i “bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah” kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Olehkarena itu, karena tidak ditemukan dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka pengambilan hukumnya dengan istish-hab (kembali ke hukum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah. Jadi jika suatu persoalan yang belum ada dalil jelas dari Quran maupun hadis dihukumi mubah.
Namun hukum mubah bisa menjadi haram jika dengan merokok dapat menimbulkan atau memperparah penyakit bagi orang yang mempunyai penyakit yang berbahaya.
Ketiga; hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Mengingat bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Dalil yang mendasarkan rokok haram :
Firman Allah SWT :
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Al-A'raf 7:15)
Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra 17:26-27)
Ayat lain yang sering diajukan dalil adalah QS An-Nisa' 4:29 dan Al-Baqarah 2:195.
Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Daruqutni, dll
Artinya: “Jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakakan diri sendiri dan orang lain.”
Artinya: “Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya tidak menyakiti tetangganya, menghormati tamunya, dan mengatakan sesuatu yang baik atau diam.” (HR. Bukhari)
Alasan ulama yang mengharamkan rokok antara lain adalah sbb:
1. Mengganggu kesehatan
2. Pemborosan
3. Mengganggu kesehatan masyarakat
4. Mengganggu kesehatan lingkungan
Tiga pendapat di atas dapat berlaku secara umum bagi siapa pun orangnya. Namun bisa jadi tiga macam hukum tersebut diatas berlaku secara individual, dengan pengertian setiap individu akan terkena hukum yang berbeda sesuai dengan apa yang diakibatkannya, sedhananya tiap hukum merokok dikembalkan pada dampak dan kondisi yang ditimbulkan akibat rokok.
Abdur Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn 'Umar Ba'alawiy di dalam Bughyatul Mustarsyidin (hal.260) menjelaskan sebagai berikut:
“Tidak ada hadits mengenai tembakau dan tidak ada atsar (ucapan dan tindakan) dari seorang pun di antara para shahabat Nabi SAW. … Jelasnya, jika terdapat unsur-unsur yang membawa mudarat bagi seseorang pada akal atau badannya, maka hukumnya adalah haram sebagaimana madu itu haram bagi orang yang sedang sakit demam, dan lumpur itu haram bila membawa mudarat bagi seseorang. Namun kadangkala terdapat unsur-unsur yang mubah tetapi berubah menjadi sunnah sebagaimana bila sesuatu yang mubah itu dimaksudkan untuk pengobatan berdasarkan keterangan terpercaya atau pengalaman dirinya bahwa sesuatu itu dapat menjadi obat untuk penyakit yang diderita sebagaimana berobat dengan benda najis selain khamr. Sekiranya terbebas dari unsur-unsur haram dan mubah, maka hukumnya makruh karena bila terdapat unsur-unsur yang bertolak belakang dengan unsur-unsur haram itu dapat difahami makruh hukumnya.”
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhailiy di dalam Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh (Cet. III, Jilid 6, hal. 166-167) berpendapat sebagai berikut:
“Masalah kopi dan rokok; penyusun kitab Al-'Ubab dari madzhab Asy-Syafi'i ditanya mengenai kopi, lalu ia menjawab: (Kopi itu sarana) hukum, setiap sarana itu sesuai dengan tujuannnya. Jika sarana itu dimaksudkan untuk ibadah maka menjadi ibadah, untuk yang mubah maka menjadi mubah, untuk yang makruh maka menjadi makruh, atau haram maka menjadi haram. Hal ini dikuatkan oleh sebagian ulama' dari madzhab Hanbaliy terkait penetapan tingkatan hukum ini. Syaikh Mar'i ibn Yusuf dari madzhab Hanbaliy, penyusun kitab Ghayah al-Muntaha mengatakan : Jawaban tersebut mengarah pada rokok dan kopi itu hukumnya mubah, tetapi bagi orang yang santun lebih utama meninggalkan keduanya.”
Mahmud Syaltut di dalam Al-Fatawa (hal.383-384) berpendapat sebagai berikut:
“Tentang tembakau … sebagian ulama menghukumi halal karena memandang bahwasanya tembakau tidaklah memabukkan, dan hakikatnya bukanlah benda yang memabukkan, disamping itu juga tidak membawa mudarat bagi setiap orang yang mengkonsumsi. ...Pada dasarnya semisal tembakau adalah halal, tetapi bisa jadi haram bagi orang yang memungkinkan terkena mudarat dan dampak negatifnya. Sedangkan sebagian ulama' lainnya menghukumi haram atau makruh karena memandang tembakau dapat mengurangi kesehatan, nafsu makan, dan menyebabkan organ-organ penting terjadi infeksi serta kurang stabil.”
Kesimpulan Pendapat Hukum
Pertama; sebagian besar ulama' terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka lmelihat kenyataan bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau kalaupu membawa mudarat relatif kecil. Dianalogikan, bahwa kemudaratan merokok tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi.
Kedua; ulama sekarang cenderung mengharamkan merokok karena lebih melihat pada informasi mengenai hasil penelitian medis yang menyatakan bahaya rokok (berdampak besar) bagi kesehatan, khusunya menmbukan penyakit dalam. Apabila model penelitian medis semacam ini kurang dicermati, jika kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Lalu, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram.
Tapi bukankah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Lalu apakah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu terus dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya ?
Ketiga; hukum merokok itu bisa jadi bersifat relative, dalam arti dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang dipastikan tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi hanya kadarnya kecil.
Keempat; jika merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Jika dalam kasus rokok dpat memberikan semangat bagi yang mengkonsumsinya, tentunya dalam kadar yang tidak berlebihan. Karena apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya.
Nah, itulah beberapa hukum terkait rokok, perbedaan pendapat danpandangan dalam menghukumi rokok sudah diuraikan, lalu mau mengikuti pendapat yang mana ? penulis hanya bisa mengajak pembaca untukdapat menakar sejauhmana dampak kemudharatan dan atau manfaatnya. Semoga bermanfaat.