Tanya : Kami ingin menanyakan satu permasalahan yang berkaitan dengan akad nikah. Yang selama in kami ketahui adalah akad nikah harus dengan adanya seorang wali dari pihak perempuan secara langsung (dalam satu tempat). Ketika kita sedang berkumpul dengan teman-teman, sempat menemukan satu permasalahan yaitu “bolehkah akad nikah dilakukan melalui internet atau alat komunikasi lainnya?” (M. Hadafi, International University of Afrika-Khartum-Sudan)
Jawab : Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu ia adalah syari’atun azhimatun (syariat yang agung) yang dimulai sejak Nabi Adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah Swt. Pernikahan adalah sunah Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu.
Pernikahan merupakan bentuk ibadah muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanaannya diikat dan diatur oleh ketentuan syarat dan rukun.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara menurut jurnhur Al-Ulama (mayoritas pendapat ulama) ada empat macam meliputi, shighat atau ijab qabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, dan wali, ada juga sebagian ulama yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun, tetapi jumhur al-ulama memandang keduanya sebagai Syarat. (Al-Fiqh Al-Islami: IX, 6521-6522. Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, 4).
Dan ketentuan di atas kita dapati bahwa ijab qabul adalah satu-satunya rukun yang disepakati oleh semua ulama. Meskipun mereka sepakat hal itu, namun keduanya, baik Hanafiyah maupun jumhur al-ulama memiliki pengertian ijab qabul yang tidak sama. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan aqad, baik itu dari suami atau istri, sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur al-ulama, ijab memiliki pengertian lafal yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau dari seseorang yang mewakili wali. Sementara qabul berarti lafal yang menunjukkan kesediaan menikah yang keluar dari pihak mempelai laki-laki atau yang mewakilinya. Jadi menurut Hanafiyah, boleh-boleh saja ijab itu datang dari mempelai laki-laki yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan. Berbeda dengan Hanafiyah, jumhur al-ulama yang mengharuskan ijab datang dari wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai laki-laki.
Di masa dulu, akad nikah (ijab qabulnya) barangkali bukanlah sesuatu yang penting dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir ke majlis yang disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas aktivitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus semua batas dunia dengan alat semacam internet, telephone, faks dan lain-lain. Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan akad nikah dalam hal ini ijab qabul.
Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi adalah dengan menu e-mail dan chating yang secara esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya pada media yang digunakan untuk menulis pesan, kalau surat ditulis pada kertas dan memakan waktu yang relatif lama untuk sampai tujuan. Sedangakan email atau chating menggunakan komputer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses dan dijawab seketika itu oleh yang dituju.
Saya teringat pendapat ulama Hanafiyah bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat dipandang sebagai khithab (al-khithab min al-gha‘ib bi manzilah al-khithab min al-h adhir) dengan syarat dihadiri oleh dua orang saksi. Atau bisa juga mengirim seorang utusan untuk melakukan akad nikah dengan syarat yang sama, yaitu dihadiri dua orang saksi. Menurut pendapat ini, akad nikah melalui internet juga sah asal disaksikan oleh dua orang saksi.
Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan akad nikah melaui komunikasi jarak jauh, namun pendapat itu ditentang oleh jumhur al-ulama. ini mengingat pernikahan memiliki nilai yang sangat sakral sebagai mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan kukuh), yang bertujuan mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, rahmah bahkan tatanan sosial yang kukuh pula. Oleh karena itu pelaksanaan akad nikah harus dihadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal ini mempelai laki-laki, wali dan minimal dua orang saksi. (Tanwir Al-Qulub, At-Tanbih, dan Kifayah Al-Akhyai)
Pengertian dihadiri di sini mengharuskan mereka secara fisik berada dalam satu majlis untuk mempermudah tugas saksi dan pencatatan sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan datang tidak memiliki peluang untuk mengingkarinya.
Dengan demikian, akad nikah melalui media komunikasi (internet, faks, telephone dan lain-lain) tidaklah sah, karena tidak satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping atu sesuai dengan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah. (Al-Fiqh Al-Islami : IX, 2531).
Jawab : Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu ia adalah syari’atun azhimatun (syariat yang agung) yang dimulai sejak Nabi Adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah Swt. Pernikahan adalah sunah Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu.
Pernikahan merupakan bentuk ibadah muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanaannya diikat dan diatur oleh ketentuan syarat dan rukun.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara menurut jurnhur Al-Ulama (mayoritas pendapat ulama) ada empat macam meliputi, shighat atau ijab qabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, dan wali, ada juga sebagian ulama yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun, tetapi jumhur al-ulama memandang keduanya sebagai Syarat. (Al-Fiqh Al-Islami: IX, 6521-6522. Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, 4).
Dan ketentuan di atas kita dapati bahwa ijab qabul adalah satu-satunya rukun yang disepakati oleh semua ulama. Meskipun mereka sepakat hal itu, namun keduanya, baik Hanafiyah maupun jumhur al-ulama memiliki pengertian ijab qabul yang tidak sama. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan aqad, baik itu dari suami atau istri, sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur al-ulama, ijab memiliki pengertian lafal yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau dari seseorang yang mewakili wali. Sementara qabul berarti lafal yang menunjukkan kesediaan menikah yang keluar dari pihak mempelai laki-laki atau yang mewakilinya. Jadi menurut Hanafiyah, boleh-boleh saja ijab itu datang dari mempelai laki-laki yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan. Berbeda dengan Hanafiyah, jumhur al-ulama yang mengharuskan ijab datang dari wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai laki-laki.
Di masa dulu, akad nikah (ijab qabulnya) barangkali bukanlah sesuatu yang penting dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir ke majlis yang disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas aktivitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus semua batas dunia dengan alat semacam internet, telephone, faks dan lain-lain. Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan akad nikah dalam hal ini ijab qabul.
Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi adalah dengan menu e-mail dan chating yang secara esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya pada media yang digunakan untuk menulis pesan, kalau surat ditulis pada kertas dan memakan waktu yang relatif lama untuk sampai tujuan. Sedangakan email atau chating menggunakan komputer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses dan dijawab seketika itu oleh yang dituju.
Saya teringat pendapat ulama Hanafiyah bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat dipandang sebagai khithab (al-khithab min al-gha‘ib bi manzilah al-khithab min al-h adhir) dengan syarat dihadiri oleh dua orang saksi. Atau bisa juga mengirim seorang utusan untuk melakukan akad nikah dengan syarat yang sama, yaitu dihadiri dua orang saksi. Menurut pendapat ini, akad nikah melalui internet juga sah asal disaksikan oleh dua orang saksi.
Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan akad nikah melaui komunikasi jarak jauh, namun pendapat itu ditentang oleh jumhur al-ulama. ini mengingat pernikahan memiliki nilai yang sangat sakral sebagai mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan kukuh), yang bertujuan mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, rahmah bahkan tatanan sosial yang kukuh pula. Oleh karena itu pelaksanaan akad nikah harus dihadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal ini mempelai laki-laki, wali dan minimal dua orang saksi. (Tanwir Al-Qulub, At-Tanbih, dan Kifayah Al-Akhyai)
Pengertian dihadiri di sini mengharuskan mereka secara fisik berada dalam satu majlis untuk mempermudah tugas saksi dan pencatatan sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan datang tidak memiliki peluang untuk mengingkarinya.
Dengan demikian, akad nikah melalui media komunikasi (internet, faks, telephone dan lain-lain) tidaklah sah, karena tidak satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping atu sesuai dengan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah. (Al-Fiqh Al-Islami : IX, 2531).
Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)