Sunday 4 September 2016

Apakah Boleh Istri Menikah Lagi Karena Ditinggal Suami ?

hukum istri menikah lagi, bilik islam
Tanya : Saya ditinggal suami selama 3 (tiga) tahun, tidak pernah diberi nafkah. Katanya dia sudah menikah lagi. Apa pernikahan saya bisa rusak. Bolehkan saya cerai ? Bagaimana jika proses perceraian itu dipersulit pihak suami ?

Jawab : Pernikahan adalah akad yang sangat kuat (al-mitsaq al-ghalizh) untuk mentaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Untuk mencapai tujuan itu, hubungan suami istri diatur oleh hak dan kewajiban. Keharmonisan sebuah keluarga sangat ditentukan oleh sejauh mana kedua belah pihak melaksanakan kewajiban-kewajibannya. 

Pengetahuan suami istri akan kewajibannya dengan demikian menjadi hal yang sangat penting. Pemahaman dan kesadaran terhadap kewajiban akan mendorong kepada pengamalan. Apabila kewajiban telah dilaksanakan, dengan sendirinya hak telah terpenuhi. 

Akan tetapi, dalam kenyataannya, kadangkala salah satu pihak dari suami istri tidak menunaikan kewajibannya, sehingga berdampak negatif terhadap pasangannya. Tidak jarang pula, dalam kehidupan rumah tangga karena faktor-faktor tertentu tidak lagi ditemukan perasaan sakinah, mawaddah dan rahmah. 

Dalam kondisi demikian, perceraian menjadi alternatif pemecahan yang tidak terhindarkan. Perceraian bagaikan obat, rasanya pahit tetapi dibutuhkan. Menurut sebuah hadis, perceraian adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. 

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, pada pasal 116 menetapkan 8 (delapan) alasan perceraian. Di antaranya : 1) bila salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, 2) bila salah satu pihak (suami maupun istri) dipenjara selama 5 (lima) tahun, 3) bila salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, dan lain-lain. 

Dalam literatur-literatur fikih, misalnya dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami juz 9, diterangkan bahwasanya pengadilan (qadhi) dapat menceraikan sebuah pernikahan karena: suami tidak memberi nafkah (‘adam al-infaq), penyakit atau cacat (al-’uyub wa al-’ila]), perselisthan dan kekerasan (al-syiqaq wa adh-dharar), pergi (al-ghaibah), dan dikenai hukuman penjara (al-habs). Sudah barang tentu, masing-masing sebab memiliki aturan sendiri-sendiri. 

Dalam hal tidak memberi nafkah, mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali memperbolehkan istri menuntut perceraian. Menurut madzhab Hanafi solusinya lain lagi. Jika suami mampu memberi nafkah tetapi tidak mau, maka dia dipaksa untuk memenuhi kewajibannya. 

Hak menuntut perceraian akibat ditinggalkan salah satu pasangan adalah pendapat ulama Malikiah dan Hanabilah. Malikiah menetapkan masa selama satu tahun. Sedangkan Hanabilah hanya 6 (enam) bulan. Ulama Hanafiah dan Syafi’iah tidak mengakuinya.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia temyata lebih memiliki pendapat Malikiah dan Hanabilah, dengan batasan waktu yang berbeda, yaitu 2 (dua) tahun. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kepergian pasangan hidup dalam waktu yang lama sangat merugikan secara jasmani dan rohani pihak yang ditinggalkan. Padahal menurut salah satu kaidah fikih, adh-dhararu yuzal yang bersumber dari hadis ‘la dharara wa la dhirara”, hal-hal yang merugikan harus dihilangkan. Pemberian hak menuntut perceraian kepada istri yang diperlakukan demikian oleh suami sejalan pula dengan Al Quran, tepatnya surat Al-Baqarah, ayat 232, sebagai berikut :
Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali,) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma‘ruf itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu iebih baik bagimu dan lebih suci. Alah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. A1-Baqarah: 232) 

Suami hanya diberikan dua pilihan, mempertahkan istri seraya memperlakukannya dengan baik atau menceraikannya dengan baik pula. 

Oleh karena suami saudari penanya pergi selama 3 (tiga) tahun, apalagi tanpa memberikan nafkah, maka ia berhak mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Selama pengadilan belum memutuskan perceraian, ikatan perkawinan masih utuh. 

Perceraian tidak dengan sendirinya terjadi dengan adanya alasan-alasan tersebut di atas. Tetapi harus lewat putusan pengadilan setelah pihak yang dirugikan menyampaikan gugatan kepada pengadilan. 

Pihak suami tidak boleh mempersulit gugatan perceraian karena hal itu menjadi hak istri. Kita tidak boleh menghalangi seseorang meraih hak-hanya. Adapun lddah dimulai sejak pangadilan memutuskan perceraian.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita