Tuesday 13 October 2015

Apa Hukum Puasa Sambil Menggunjing Dan Berdusta ?

Tanya : Bagaimana hukumnya melaksanakan ibadah puasa, namun dengan tidak bisa meninggalkan perkataan dusta dan menggunjing kesalahan orang lain. Batalkah puasa yang dilakukan oleh orang dengan aktivitas itu? Mohon penjelasan.

Jawab :
Menggunjing adalah membicarakan sesuatu yang berkenaan dengan orang lain yang tidak disukai oleh orang tersebut untuk dibicarakan, pada saat yang bersangkutan tidak berada di tempat (dzikruka akhaka bi ma fihi min ma yakrah/ dzikruka akhaka bima yakrah fighaybatihi) atau lazim disebut ngrasain atau rasan-rasan dalam bahasa Jawa. Adapun berdusta adalah mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan, berbohong. Kedua tindakan ini termasuk maksiat lisan yang dilarang oleh agama.

Al-Quran menggambarkan perbuatan menggunjing sebagai memakan ‘bangkai saudara. Perhatikan firman Allah sebagai berikut:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taobat lagi Maha Penyayang. “(QS. Al-Hujurat: 12)

Dr Wahbah Az-Zuhaily, memberikan komentar dalam tafsirnya Al- Wajiz halaman 518 sebagai berikut:
“Ini merupakan penggambaran perbuatan penggunjing dengan gambaran yang paling buruk menurut watak dan akal. Memakan daging anak Adam adalah haram, demikian juga menggunjing.”

Menggunjing merupakan tindakan pengecut karena bersifat menyerang orang lain tanpa sepengetahuan dan karena itu juga tidak memberikan kesempatan untuk membela diri. Sedangkan berdusta, menurut sebuah hadis, termasuk tanda kemunafikan. Dan pelakunya akan mendapat siksa yang pedih. Dalam Surat Al-Baqarah : 10 dinyatakan sebagai berikut:
Artinya: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah: 10)

Idealnya, selama menjalankan ibadah puasa, kita tidak hanya meninggalkan makan/minum dan hal-hal fisik lainnya yang membatalkan puasa, tetapi juga mencegah seluruh anggota badan, hati dan pikiran dari hal-hal yang terlarang, termasuk di dalamnya berdusta dan menggunjing.

Para ulama bersepakat bahwa dusta dan menggunjing adalah haram, tetapi larangan untuk melakukan kedua hal itu pada saat berpuasa lebih ditekankan daripada ketika tidak berpuasa.

Namun, terdapat perbedaan pendapat dalam menjawab pertanyaan : apakah kedua perbuatan itu membatalkan puasa?

Mayoritas fuqaha menyatakan, berdusta dan menggunjing tidak membatalkan puasa. Pendapat sebaliknya (menurut Al-Auza’iy, Al-Tsauriy dan lain-lain) menyatakan bahwa keduanya membatatkan puasa, dan oleh karenanya wajib diganti dengan mekanisme qadha.

Perbedaan pendapat ini muncul dari perbedaan dalam memahami dan menilai beberapa hadis yang dijadikan sumber untuk menetapkan hukum kasus ini. Misalnya hadis riwayat Abu Hurairah:
Artinya: “Puasa itu tidak hanya meninggalkan makan dan minum, (tetapi juga) meninggalkan al-laghw dan ar-rafats.” (HR-Baihaqi)

Dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith diterangkan ar-rafats adalah perkataan buruk, dan al-laghw adalah perbuataan yang sia-sia, tidak berguna. Hadis lainnya diriwayatkan Al-Laits dan Mujahid, yang artinya: “Ada dua perkara yang membatalkan puasa, yaitu menggunjing dan berdusta.”

Kedua hadis di atas mi scara lahiriah, sebagaimana pendapat Al-Auza’iy, memberikan pengertian batalnya puasa akibat berdusta dan menggunjing. Kesimpulan ini diperkuat dengan hadis lain tentang orang yang berpuasa tanpa mendapatkan pahala. Perhatikan hadis berikut ini:
Artinya: “Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar.” (HR Nasai dan Ibn Majah)

Hal mi masih dipertegas lagi dengan hadis lain:
Artinya: “Ada lima perkara yang membataikan puasa : dusta, menggunjing, mengadu-domba bersumpah palsu, dan melepaskan pandangan terhadap sesuatu yang tidak dibenarkan syara’.”(HR. Nasai)

Meskipun demikian, mayoritas ulama berpendapat bahwa berdusta dan menggunjing tidak membatalkan puasa. Kelompok ini menolak validitas hadis terakhir (tentang lima perkara yang membatalkan puasa), dan memahami tiga hadis lainnya dengan pengertian bahwa kesempurnaan puasa tidak dapat dicapai tanpa meninggalkan ar-ra fats dan al-laghw.

Mirip dengan pendapat ini adalah pendapat Imam Al-Mawardi dan A1-Mutawalli yang menyatakan bahwa hal yang batal bukanlah pekerjaan puasanya tetapi pahalanya. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab VI, 356, Umdah Al-Qari: X, 276).

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita