Friday 9 October 2015

Bagimana Hukum Puasa Dengan Memperlambat Haid ?

Tanya : Bagaimana hukumnya perempuan meminum obat untuk memperlambat haid supaya dapat berpuasa sebulan penuh?

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, kewajiban puasa Ramadhan tidak berlaku atas perempuan yang mengalami haid. Berpuasa baginya tidak sah, dan hukumnya justru haram. (Mughni Al-Muhtaj I, 423).

Pemberian dispensasi (keringanan hukum) tersebut bisa dirmaklumi. Perempuan pada waktu haid atau menstruasi, secara fisik dan psikis tengah mengalami gangguan. Fisiknya cenderung lemah, dan pikirannya kurang konsentrasi. Tidak jarang, datangnya menstruasi disertai keluhan berupa rasa sakit dan mual.

Di samping puasa, shalat juga tidak diwajibkan kepada perempuan saat haid. Bedanya, puasa harus diqadha sementara shalat tidak perlu.

Keringanan tersebut pada umumnya disambut dengan gembira oleh kaum Hawa. Bagaimanapun, berpuasa pada saat haid tentu akan terasa lebih berat. Tetapi bagi perempuan tertentu, hal itu justru disesali, sebab menghalangi puasa, yang berarti kehilangan kesempatan untuk beribadah. Meskipun kalau dipikir secara mendalam, meninggalkan puasa karena haid, juga merupakan ibadah tersendiri, kalau diniati menjalankan perintah Allah (yang dalam kasus ini berupa larangan). Bukankah definisi larangan (haram) adalah sesuatu yang berdosa jika dilakukan, dan berpahala jika ditinggalkan?

Berkat kemajuan ilmu farmasi, sekarang telah ditemukan obat untuk memperlambat haid. Dengan meminum obat ini, dimungkinkan seorang perempuan tidak mengalami haid dalam jangka waktu tertentu. Dan sini lalu muncul gagasan memperlambat haid dengan harapan dapat berpuasa sebulan penuh.

Meminum obat memperlambat haid, sejauh tidak membawa akibat negatif (diperlukan pendapat ahli dalam hal ini), tidak dipermasalahkan. Dan kalau obat itu terbukti efektif mencegah haid, puasanya juga sah. Prinsipnya, perempuan berpuasa dalam keadaan suci. Terlepas, apakah kondisi suci itu terjadi secara alamiah atau karena pengaruh obat tertentu. Kesimpulan ini, merujuk pada kaidah ushul fiqth, “ashl al-madhan at-tahrim wa al-manafi al-hill” artinya: Sesuatu yang tidak dijelaskan status hukumnya oleh dalil agama, apabila bermanfaat hukumnya diperbolehkan, jika membawa madharat dilarang. (Qurrah Al‘Ain bi Syarh Waraqat Al-Haramain, 55).

Meskipun demikian, membiarkan sikius haid secara alami saya kira lebih baik karena lebih aman. Pada galibnya, melawan fitrah atau peristiwa alamiah akan menimbulkan dampak negatif, sekecil apapun dampak itu. Lagi pula, jika seorang perempuan berniat berpuasa jika tidak terhalang haid, insya Allah niat baik itu akan dicatat juga. Bukankah Rasulullah bersabda:
Artinya: “Keabsahan amal tergantung pada niatnya. Dan setiap orang memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari).

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita