Tanya : Pada bulan Ramadhan ini, saya ingin memperbanyak amal ibadah dengan membaca atau tadarrus Al-Quran, tetapi sebagai perempuan saya juga mengalami haid. Bolehkah membaca atau tadarrus Al-Quran dengan niat dzikir seperti pendapat Ibnu Abbas ?
Jawab : Ramadhan adalah bulan istimewa, di antaranya karena pahala beribadah dilipatgandakan sedemikian rupa. Di samping itu, Al-Quran juga sesuatu yang sangat istimewa, tidak saja dan sisi fungsionalnya sebagai sumber nomor satu untuk memahami dan menjalankan agama Islam, tetapi juga karena kedudukannya sebagai kalam (firman) Allah, mu’jizat terbesar yang diberikan kepada rasul terbesar pula.
Dari sisi fungsional, terhadap pembaca Al-Quran dituntut kemampuan untuk mengetahui dan memahami kandungan yang terdapat di dalamnya, karena hanya dengan kemampuan itulah seseorang mampu memetik hikmahnya. Tetapi karena keistimewaan Al-Quran tidak terbatas dalam pengertian fungsional, maka tanpa pemahaman yang memadaipun, setiap muslim tetap berhak untuk “menikmati” Al-Quran. Bentuk paling awam dan sederhana untuk menikmati Al-Quran adalah dengan membacanya, dan untuk amal ini dijanjikan pahala yang besar, karena salah satu unsur definisi Al-Quran adalah al-muta‘abbad bi tilawatihi, membacanya (meskipun tanpa pemahaman atas maknanya) termasuk ibadah. Seperti amal ibadah yang lain, dalam bulan Ramadhan pahala membaca Al-Quran juga dilipatgandakan. Tetapi membaca Al-Quran tidak selamanya berarti ibadah.
Ada berbagai kondisi di mana membaca Al-Quran sebaiknya dihindari (makruh) bahkan dilarang (haram). Termasuk yang dilarang adalah membacanya dalam keadaan hadas besar : junub maupun haid. Dari sisi hukum fikih, dasar larangan ini adalah hadis riwayat At-Turmudzi:
Artinya: “Janganlah orang junub dan haid membaca sesuatu dari Al-Quran.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah)
Di luar itu ada juga pertimbangan etis. Al-Quran adalah wahyu, kalam suci, maka membacanya dalam keadaan tidak suci (dari hadas besar) tidak pantas dilakukan. Kecuali, kalau membacanya dengan niat berdzikir. Jadi tergantung niatnya. Rasulullah dalam satu hadis bersabda:
Artinya: “Keabsahan amal tergantung pada niat. Dan seseorang mendapat balasan sesuai niatnya. “(HR. Bukhari)
Dari hadis ini lalu tirnbul kaidah fikih : al-umur bi maqathidiha, hukum sebuah perbuatan ditentukan oleh niat yang mendasari. Jadi, ketika seorang perempuan haid membaca Al-Quran dengan niat berdzikir maka hukumnya tidak haram. Dan tentu saja, pahala yang didapat adalah pahala dzikir, bukan pahala membaca Al-Quran. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh: I, 538, Asy-Syarqawi I, 85).
Oleh karenanya, membaca basmalah sebelum makan, hamdalah Sesudahnya, atau istirja’ (membaca innalillah wa inna ilaihi raji’un) ketika ditimpa musibah ketika menyandang hadas besar juga tidak dilarang. Meskipun ketiga bacaan itu terdapat dalam (dan memang bersumber dari) Al-Quran, tetapi orang membacanya sebagai doa atau dzikir, bukannya membaca Al-Quran itu sendiri.
Hanya saja, pengecualian seperti ini tidak dapat membenarkan keinginan Anda untuk tadarius dalan keadaan haid. Bagaimanapun, Anda sejak semula memang berniat membaca atau tadarrus Al-Quran karena mempertimbangkan pahalanya di bulan Ramadhan. Jadi, bagaimana mungkin Anda dapat menganggapnya sebagai dzikir, sementara Anda memang secara spesifik bermaksud membaca Al-Quran? Jadi, niat dan motivasi Anda perlu ditinjau kembali: apakah bertadarrus Al-Quran ataukah sekadar berdzikir. Padahal niat itu tidak bisa direkayasa.
Maksud Anda untuk memperbanyak pahala di bulan Ramadhan sungguh amat mulia, dan itu tetap bisa ditempuh meskipun tidak dengan membaca Al-Quran. Toh, amal ibadah tidak terbatas hanya membaca Al-Quran saja. Mempelajari hadis, mendalami ilmu keagamaan, membaca kalimah thayyibah (laa ilaaha ilallaah), bershalawat kepada Rasulullah juga ibadah yang berbasis pada aktivitas membaca. Kalau mau yang lebih bernilai sosial, bersedekah juga ibadah yang sangat dianjurkan.
Jadi, pintu pahala masih terbuka sangat lebar bagi Anda. Bahkan tidak membaca Al-Quran karena haid juga sebuah kesempatan pahala, jika itu Anda niatkan untuk menjauhi larangan. Karena, seperti pernah saya sampaikan di sini beberapa hari lalu, separuh pengertian larangan (haram) adalah berpahala jika ditinggalkan. Selamat beribadah.
Jawab : Ramadhan adalah bulan istimewa, di antaranya karena pahala beribadah dilipatgandakan sedemikian rupa. Di samping itu, Al-Quran juga sesuatu yang sangat istimewa, tidak saja dan sisi fungsionalnya sebagai sumber nomor satu untuk memahami dan menjalankan agama Islam, tetapi juga karena kedudukannya sebagai kalam (firman) Allah, mu’jizat terbesar yang diberikan kepada rasul terbesar pula.
Dari sisi fungsional, terhadap pembaca Al-Quran dituntut kemampuan untuk mengetahui dan memahami kandungan yang terdapat di dalamnya, karena hanya dengan kemampuan itulah seseorang mampu memetik hikmahnya. Tetapi karena keistimewaan Al-Quran tidak terbatas dalam pengertian fungsional, maka tanpa pemahaman yang memadaipun, setiap muslim tetap berhak untuk “menikmati” Al-Quran. Bentuk paling awam dan sederhana untuk menikmati Al-Quran adalah dengan membacanya, dan untuk amal ini dijanjikan pahala yang besar, karena salah satu unsur definisi Al-Quran adalah al-muta‘abbad bi tilawatihi, membacanya (meskipun tanpa pemahaman atas maknanya) termasuk ibadah. Seperti amal ibadah yang lain, dalam bulan Ramadhan pahala membaca Al-Quran juga dilipatgandakan. Tetapi membaca Al-Quran tidak selamanya berarti ibadah.
Ada berbagai kondisi di mana membaca Al-Quran sebaiknya dihindari (makruh) bahkan dilarang (haram). Termasuk yang dilarang adalah membacanya dalam keadaan hadas besar : junub maupun haid. Dari sisi hukum fikih, dasar larangan ini adalah hadis riwayat At-Turmudzi:
Artinya: “Janganlah orang junub dan haid membaca sesuatu dari Al-Quran.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah)
Di luar itu ada juga pertimbangan etis. Al-Quran adalah wahyu, kalam suci, maka membacanya dalam keadaan tidak suci (dari hadas besar) tidak pantas dilakukan. Kecuali, kalau membacanya dengan niat berdzikir. Jadi tergantung niatnya. Rasulullah dalam satu hadis bersabda:
Artinya: “Keabsahan amal tergantung pada niat. Dan seseorang mendapat balasan sesuai niatnya. “(HR. Bukhari)
Dari hadis ini lalu tirnbul kaidah fikih : al-umur bi maqathidiha, hukum sebuah perbuatan ditentukan oleh niat yang mendasari. Jadi, ketika seorang perempuan haid membaca Al-Quran dengan niat berdzikir maka hukumnya tidak haram. Dan tentu saja, pahala yang didapat adalah pahala dzikir, bukan pahala membaca Al-Quran. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adilatuh: I, 538, Asy-Syarqawi I, 85).
Oleh karenanya, membaca basmalah sebelum makan, hamdalah Sesudahnya, atau istirja’ (membaca innalillah wa inna ilaihi raji’un) ketika ditimpa musibah ketika menyandang hadas besar juga tidak dilarang. Meskipun ketiga bacaan itu terdapat dalam (dan memang bersumber dari) Al-Quran, tetapi orang membacanya sebagai doa atau dzikir, bukannya membaca Al-Quran itu sendiri.
Hanya saja, pengecualian seperti ini tidak dapat membenarkan keinginan Anda untuk tadarius dalan keadaan haid. Bagaimanapun, Anda sejak semula memang berniat membaca atau tadarrus Al-Quran karena mempertimbangkan pahalanya di bulan Ramadhan. Jadi, bagaimana mungkin Anda dapat menganggapnya sebagai dzikir, sementara Anda memang secara spesifik bermaksud membaca Al-Quran? Jadi, niat dan motivasi Anda perlu ditinjau kembali: apakah bertadarrus Al-Quran ataukah sekadar berdzikir. Padahal niat itu tidak bisa direkayasa.
Maksud Anda untuk memperbanyak pahala di bulan Ramadhan sungguh amat mulia, dan itu tetap bisa ditempuh meskipun tidak dengan membaca Al-Quran. Toh, amal ibadah tidak terbatas hanya membaca Al-Quran saja. Mempelajari hadis, mendalami ilmu keagamaan, membaca kalimah thayyibah (laa ilaaha ilallaah), bershalawat kepada Rasulullah juga ibadah yang berbasis pada aktivitas membaca. Kalau mau yang lebih bernilai sosial, bersedekah juga ibadah yang sangat dianjurkan.
Jadi, pintu pahala masih terbuka sangat lebar bagi Anda. Bahkan tidak membaca Al-Quran karena haid juga sebuah kesempatan pahala, jika itu Anda niatkan untuk menjauhi larangan. Karena, seperti pernah saya sampaikan di sini beberapa hari lalu, separuh pengertian larangan (haram) adalah berpahala jika ditinggalkan. Selamat beribadah.
0 komentar:
Post a Comment