Tanya : Atas kemajuan teknologi terutama dalam dunia kedokteran, seringkali ditemukan kasus-kasus pemindahan anggota badan baik dari manusia yang sudah mati maupun yang masih hidup kepada manusia lain (pasien), seperti pemindahan ginjal, transfusi darah, jantung, rambut, dan lain sebagainya. Bagaimanakah ketentuan hukum Islam dalam masalah ini ? (Indah Sri lestari, Semarang).
Jawab : Pemindahan anggota badan baik berupa pencangkokan, transfusi, donor dan lain sebagainya merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Proses pemindahan itu secara medis biasa dilakukan terhadap orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati.
Dalam berbagai macam referensi, masalah ini masih menjadi ikhtliaf (materi perdebatan) para fuqaha. Pertama, jika pemindahan itu dari manusia yang masih hidup. Dalam hal ini apabila anggota badan yang dipindahkan itu akan menjadi sebab kematiannya sendiri seperti pemindahan hati, maka hal ini haram secara mutlak. Artinya baik ada izin maupun tidak (secara paksa mengambilnya atau membunuh) tetap haram, karena mengizinkannya berarti bunuh diri. Begitu pula apabila pemindahan itu menyebabkan ia meninggalkan kewajiban-kewajibannya atau pemindahan itu menolong pada maksiat meskipun hal itu masih memungkinkan untuk kehidupannya, maka hukumnya tetap haram seperti pemindahan dua tangan atau dua kaki sekaligus yang menyebabkan ia tak dapat bekerja. Apabila tidak demikian (tidak menjadi sebab meniggalkan kewajiban dan tidak menolong pada perbuatan maksiat) seperti pemindahan salah satu mata, satu ginjal atau darah, apabila pemindahannya tanpa izin maka haram dan wajib menggantinya sesuai dengan aturan syara’ yang secara terperinci dijelaskan dalam kitab-kitab fikih bab diyat ‘ala an-nafsi wa al- a’dha. Apabila dengan izinnya maka sebagian ulama tetap mengharamkannya dengan alasan bahwa kemuliaan manusia tidak membolehkan salah satu bagian tubuhnya untuk orang lain, jika terpotong harus di kuburkan. (Majmu.III. 149). Ada juga ulama yang membolehkan itu dengan catatan tidak menjadikan tadlis atau fitnah seperti yang disampaikan Ibn Hajar dalam kitahnya Fath Al-Bari.
Dari pendapat ini nampaknya pemindahan anggota badan dari manusia hidup harus tetap memperhatikan eksistensi kemanusiaannya sebagai makhluk yang mempunyai tanggungjawab kepada Khaliq maupun makhluk lainya serta bagaimana dia menjaga jasadnya sendiri (tetap hidup) karena itu merupakan karunia Allah yang tidak boleh dinafikan.
Kedua, jika pemindahan ini dari manusia yang sudah mati (mayit), sebagian berpendapat bahwa apabila pemindahan aggota badan itu dari mayit yang sebelumnya sudah berwasiat atau berpesan untuk memberikan salah satu bagian dari anggota badannya atau dengan kata lain sebelumnya sudah ada izin dari mayit, maka pemindahan itu diperbolehkan. Pendapat ini mendasarkan pada tidak adanya dalil yang mengharamkan hal tersebut. Bahwa kemuliaan anak Adam yang menjadi illat (sebab) diharamkannya pemindahan anggota badan, pendapat tersebut tidak melarang untuk memanfaatkannya demi kehidupan.
Hal ini sesuai juga dengan kaidah fikih adh-dharurah tubihu al mahdhurah. Sama halnya jika sebelumnya tidak ada izin dari mayit tetapi walinya (keluarganya) memperbolehkan, maka hal itu juga diperbolehkan. Sebaliknya, apabila mereka tidak mengizinkan maka ada dua pendapat. tidak memperbolehkan dan membolehkan (Fatwa Syaikh Athiyah Saqr, Ketua Lajnah Fatwa Al-Azhar Mesir).
Pendapat di atas secara eksplisit bisa dicerna bahwa pemindahan aggota badan dari mayit boleh dilakukan dengan catatan ada izin dari mayit sebelum meninggal atau keluarganya. Karena memandang tidak adanya dalil yang secara jelas tidak memperbolehkan pemindahan salah satu anggota badan.