Thursday, 22 September 2016

Apakah Boleh Umroh Saat Haji Menurut Fikih Islam ?

umrah saat haji
Tanya : Orang yang sudah pernah umrah tetapi belum berhaji. wajibkah mengulangi umrah di kala beribadah haji ? (Abdul Hakim, Punjer, Kebumen) 

Jawab : Haji dan umrah pada dasarnya dua ibadah yang berdiri sendiri, meski dalam banyak hal yang berkaitan dengan kriteria orang yang diwajibkan dan tata cara pelaksanaannya memiliki kesamaan. 

Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis, umrah disyariatkan dalam Islam, meskipun status hukumnya diperselisihkan para ulama. 

Mazhab Hanafi dan Maliki mengatakan umrah hukumnya sunah muakkadah, sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat umrah adalah wajib. 

Terjadinya khilaf itu menurut pengarang kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-’Arba’ah, sebuah kitab fikih perbandingan empat mazdzhab, merupakan salah satu aspek yang membedakan umrah dengan haji. Kalau haji semua sepakat hukumnya wajib bagi yang telah mampu sebagaimana tercantum dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajihan manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah, barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. “(QS. Ali Imran: 97) 

Bagi yang berpendapat wajib, umrah cukup dilakukan sekali saja selama hidup (marrah thul al-umr) dan berlaku atas orang orang yang berkewajiban haji. Lebih dari itu hukumnya sunah. Karena haji dan umrah merupakan ibadah yang berdiri sendiri, keduanya dapat dilakukan secara terpisah, tidak dalam satu tahun. Dalam artian boleh saja umrah dilakukan tahun 1995 dan baru tahun berikutnya menunaikan haji, tanpa harus mengulangi umrah untuk kali yang kedua. Seperti yang saya sebutkan di atas, kewajiban umrah hanya satu kali dalam hidup ini. 

Meski demikian untuk menghemat tenaga dan biaya, orang biasanya -terutama yang jauh dari Makkah- mengerjakan umrah dan haji sekaligus. Karena dengan begitu, seseorang yang belum pernah umrah, pada tahun-tahun berikutnya tidak perlu pergi ke Makkah lagi untuk melakukannya. Sedangkan bagi yang sudah pernah menjalankan umrah ketika haji dimaksudkan sebagai optimalisasi kesempatan yang sangat berharga tersebut -berada di tanah suci- dengan memperbanyak ibadah.

Ibadah haji yang demikian, dalam arti dirangkai dengan umrah, dapat ditempuh dengan tiga cara. Pertama, ihram haji terlebih dahulu, setelah selesai kemudian umrah. Kedua, tammattu, kebalikan ifrad. Ketiga, qiran, ihram haji dan umrah secara bersamaan. 

Ketiga cara tersebut, mana yang paling utama termasuk masalah khilafiyah, lantaran ada perbedaan pendapat dalam menentukan cara yang dipilih Rasulullah Saw. saat mengerjakan haji wada (perpisahan) apakah ifrad, tammattu atau qiran. Yang jelas semua boleh dipakai, dan mempunyai pendukung sendiri-sendiri. 

Dalam Madzhab Syafi’i yang dianut mayoritas kaum muslim Indonesia, yang paling utama adalah ifrad, sebagaimana termaktub dalam kitab Fath Al-Qarib, dan 1ain-lain.

Apa Hukum Wanita Berhaji Tanpa Muhrim ?

haji tanpa muhrim
Tanya : Mengapa perempuan harus disertai muhrim ketika melaksanakan haji. Bagaimana jika tidak disertai muhrim atau suami? 

Jawab : Seperti kemarin telah saya singgung, bahwa berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, haji hanya dapat dilaksanakan di tanah suci Makkah. Thawaf di Ka’bah, sa’i dari Shofa ke Marwah, wukuf di Arafah dan seterusnya. Ibadah haji selain di tempat-tempat tersebut tidak sah. Sebab tempat-tempat tersebut memiliki nilai historis yang tidak dimiliki tempat lain. 

Padahal di sisi lain, kewajiban haji berlaku bagi umat Islam di seluruh dunia, yang memenuhi persyaratan istitha‘ah, yakni mempunyai kemampuan mengerjakan haji. 

Sebelum membicarakan status muhrim bagi perempuan yang berangkat haji, sebaiknya diketahui terlebih dahulu perbedaan 3 (tiga) jenis persyaratan haji, yaitu, syarth al-wujub wa ash-shihhah, syarth al-wujub wa al-ijza’ wa laisa syarth ash-shihhah, dan syarth al-wujub faqath. 

Persyaratan pertama adalah Islam dan berakal. Orang Islam dan berakal saja yang sah dan terkena kewajiban haji. Non muslim atau orang gila tidak wajib dan tidak sah. Kedua, baligh dan merdeka (bukan budak atau hamba). Anak kecil sebelum baligh dan budak, tidak wajib melakukan haji. Kalau pun mengerjakan, hajinya sah. Tetapi setelah baligh atau merdeka wajib mengulangi lagi. Ketiga adalah istitha’ah (memiliki kemampuan menunaikan haji). Orang yang belum atau tidak mampu, misalnya tidak punya perbekalan, tidak wajib berhaji. 

Tetapi kalau memaksakan diri berangkat ke tanah suci, hajinya sah dan sudah mencukupi sebagai haji Islam. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2076). 

Seseorang dianggap mampu dan wajib menunaikan haji apabila sehat, memiliki perbekalan dan biaya transportasi, tersedia alat transportasi, keamanan terjamin dan waktunya masih longgar untuk mengerjakan haji. Khusus bagi istri, persyaratannya adalah adanya suami, muhrim, atau jamaah perempuan yang terpercaya minimal tiga orang yang menyertai. 

Dengan demikian, keberadaan mereka termasuk syarat istitha‘ah. Oleh karena itu, perempuan yang tidak disertai suami, muhrim atau jamaah perempuan tidak wajib mengerjakan haji. Meskipun begitu, hajinya tetap sah. Karena keberadaan suami dan muhrim atau 3 (tiga) perempuan terpercaya, menjadi syarat kewajiban (syarth al-wujub), bukan syarat keabsahan (syarth ash-shihhah) ibadah haji perempuan. 

Kalau kita perhatikan, sebenarnya persyaratan tersebut justru meringankan perempuan. Kondisi tempat haji pada zaman dahulu belum seaman sekarang. Alat transportasi masih menggunakan kuda dan onta. Sehingga ibadah haji sangat melelahkan. Keberadaan suami atau muhrim dalam kondisi demikian sangat dibutuhkan. 

Perempuan diperbolehkan berangkat haji dengan disertai satu perempuan yang terpercaya. Boleh juga berangkat sendirian jika keamanan terjamin. (Mausu‘ah Al-Fiqh Al-Islami. VII, 116). 

Pada zaman sekarang, segala urusan haji sudah ditangani oleh pemerintah. Faktor keamanan juga sangat diperhatikan pemerintah setempat. Jamaah haji tinggal membayar ONH (ongkos naik haji). Oleh sebab itu, boleh-boleh saja perempuar barangkat haji tanpa suami dan muhrim. Toh jamaah haji perempuan jumlahnya sangat banyak.

Pengertian Haji Badal Dan Cara Haji Badal

pengertian badal haji, cara badal haji
Tanya : Saat naik haji beberapa tahun lalu saya dititipi uang badal haji sebanyak 700 riyal oleh kerabat saya untuk ibunya yang sudah meninggal di tanah air. Sampai di Makkah saya minta teman saya yang sudah berhaji untuk menghajikan ibu kerabat saya tadi. Pak Kiai, bolehkah badal haji dengan uang sejumlah itu. Kabarnya itu memang harga umum. Padahal ONH jauh lebih banyak dari itu? Apakah syarat-syarat badal haji? (Toha, Jakarta) 

Jawab :
Pertama saya jelaskan dahulu apa itu haji badal, haji badal, atau badal haji adalah haji yang diwakilkan kepada orang lain karena alasan tertentu, atau singkatnya membayar orang untuk mewakilkan melaksanakan haji.

Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji hanya bisa dilangsungkan di tanah suci. Thawaf harus mengitari Ka’bah. Sa’i dari bukit Shofa dan Marwah. Wukuf dilaksanakan di Padang Arafah. 

Ibadah haji memerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibadah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliah). Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajian haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahib A1-Arba’ah. I, 706). 

Pada prinsipnya sebagai ibadah badaniyah, haji harus dilakukan sendiri. Dalam kondisi normal, di mana yang bersangkutan mampu mengerjakan sendiri, haji tidak boleh diwakilkan kepada orang lain. 

Tetapi dalam kondisi sakit yang kronis dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya, sebagai ibadah maliyah, menurut pendapat mayoritas ulama, haji boleh diwakilkan kepada orang lain. Begitu pula orang yang meninggal dunia dalam keadaan belum pernah menunaikan ihadah ini, padahal yang bersangkutan sudah mampu. Diceritakan dalam sebuah hadis sahih, seorang perempuan dan Khats’am berkata kepada Rasulullah :
Artinya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya? Beliau menjawab, “Ya”. (Muttafaq‘alaih) 

Oleh sebab itu, para fuqaha mengklasifikasikan istitha’ah (kemampuan haji) menjadi dua, istitha’ah bi nafsih dan istitha’ah bi ghairih. Istitha’ah bi nafsih artinya, sanggup mengerjakan haji sendiri. Istitha’ah bi ghairih, ketika seseorang karena alasan sakit atau termakan usia tidak mampu berangkat sendiri, tetapi memiliki uang untuk menyewa orang lain melakukan haji atas namanya. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2098). 

Seseorang dianggap sudah istitha’ah bi ghairih, apabila mempunyai uang dalam jumlah yang cukup untuk membayar orang lain mengerjakan haji menurut ukuran lumrah yang berlaku di masyarakat (ujrah al-misl). 

Transaksi antara orang yang mewakilkan dan wakil atau badal termasuk kategori akad ijarah. Sehingga tidak ada batasan yang baku mengenai upah yang harus diberikan. Yang terpenting terdapat kata sepakat antara keduanya, atau dalam bahasa fikihnya disebut ‘an taradhin. Mungkin juga si wakil tidak meminta bayaran sepeserpun, semata-mata ingin membantu orang. Hal ini sangat mungkin terjadi, bilamana antara keduanya terjalin hubungan kekerabatan misalnya. 

Orang yang sah ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah orang yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh dan berakal), dan mampu melakukannya. Wakil diisyaratkan sudah melaksanakan haji sebelumnya. Yidak dibenarkan mewakilkan kepada orang yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.

Hendaknya dicarikan orang yang dapat dipercaya (al-mautsuq bih), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Wakil melakukan ihram atas nama orang yang mewakilkan. Ihram dilakukan dan miqat orang yang diwakili. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2106)

Wednesday, 21 September 2016

Apa Hukum Berhaji Tanpa Memahami Ilmu Haji

berhaji tanpa ilmu haji, berhaji tanpa bekal ilmu haji
Tanya : Terus terang kami belum mempunyai bekal ilmu yang cukup untuk melaksanakan rukun Islam kelima. Namun kesempatan itu tiba- tiba ada. Kami mendapatkan rezeki yang tidak kami duga sebelumnya. Apakah kami memaksakan diri dengan ilmu seadanya ? Padahal kalau ditunda tahun depan kemungkinan besar kesempatan itu tidak ada lagi. Mohon penjelasannya.

Jawab : Haji adalah rukun Islam kelima. Seorang muslim wajib menjalankan ibadah haji kalau ia sudah mampu. Seseorang dikatakan mampu kalau secara fisik ia sehat untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan haji, dan secara materi ia mampu perbekalannya serta adanya jaminan keamanan di perjalanan. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”  (Ali Imran: 97) (Al-Fiqhu Al-Islami. III, 2082). 

Ditinjau dari kelengkapannya, pelaksanaan ibadah haji memang berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, karena ternyata ia mencakup hal-hal yang ada pada rukun Islam di luar haji. Di antaranya pelaksanaan haji sama dengan shalat dan puasa sebagai ibadah badaniyah yang membutuhkan kekuatan fisik. Haji menyerupai zakat sebagai ibadah maliyah yang sama-sama rnembutuhkan kekuatan materi, dalam hal ini adalah bekal. Haji mencakup jugi jihad fi sabillah karena membutuhkan semangat dan kekutan jiwa-raga (mujahadatu an-nafsi wa al-badan). Kalau dalam shalat, puasa atau zakat itu hanya membutuhkan kekuatan fisik atau materi ansich (badaniyah, maliyah) maka dalam ibadah haji, ketiga-tiganya baik kekuatan fisik, materi dan mujahadatu an-nafsi tidak bisa dipisahkan. Kekuatan fisik tanpa kemampuan materi atau kemampuan fisik dan materi saja tanpa mau mujahadatu an nafsi wa al-badan rasanya sulit bahkan mustahil seseorang dapat menjalankan ibadah haji.

Dalam kasus yang Anda alami nampaknya saat itu sudah mampu secara fisik maupun materi, satu hal yang masih menjadi ganjalan adalah merasa belum cukup ilmu. Sebenarnya perasaan itu adalah hal yang wajar bagi orang yang belum pernah haji. Kekhawatiran akan belum tercukupinya ilmu, tidak hanya dialami oleh seseorang saja, mungkin orang perorang mengalaminya. Tapi bukankah ilmu dapat dipelajari, apalagi sekarang sudah banyak yayasan atau lembaga yang menangani bimbingan bagi para calon jamaah haji. 

Untuk itu masalah penting yang perlu diperhatikan dan difokuskan adalah bagaimana agar bisa menjalankan rukun dan wajib haji secara sempurna. Rukun haji meliputi, ihram dan miqat (batas baik waktu maupun tempat untuk berihram), thawaf(mengitari ka’bah tujuh kali), sa’i (lari-lari kecil antara bukit Shofa dan Marwah), dan wuquf (bertempat) di Arafah. Sedangkan wajib haji meliputi, ihram dan miqat, melempar jumrah (ramyu al-jimar), memotong rambut (halqu). (Fath Al Qarib, 27-28).

Kesemuanya itu bisa dipelajari oleh setiap orang dalam waktu singkat, tetapi sebaliknya tidak setiap orang mampu mendapatkan materi yang cukup untuk bisa menunaikan ibadah haji. 

Jadi, apa yang Anda dapatkan barupa kemampuan materi dan kekuatan fisik adalah amanat sekaligus anugerah yang patut untuk disyukuri, karena dengan demikian Anda diberi kemampuan untuk menjalankan ibadah haji. Anda wajib untuk menunaikan ihadah haji. Bahwa kemudian seseorang merasa kurang ilmu, itu tidaklah pantas dijadikan alasan untuk menunda ibadah haji, lagipula siapalah kita sehingga yakin betul akan mendapati mentari di hari esok.

Seberapa Penting Menghajikan Orang Tua Yang Sudah Meninggal ?

haji untk orang tua meninggal
Tanya : Mana yang lebih afdhal, mengahajikan orang tua yang telah meninggal, ataukah istri saya ?
 
Jawab : Ibadah haji, rukun Islam ke lima, hanya diwajibkan atas orang-orang yang mampu. Kewajiban haji hanya sekali selama hidup. Oleh karena waktunya sepanjang umur. Orang yang telah mampu menunaikan ibadah haji, tidak harus melakukannya seketika. Jadi, jika pada tahun ini seseorang memperoleh rezeki yang cukup untuk berangkat haji, pelaksanaannya boleh ditunda pada tahun-tahun mendatang. Akan tetapi karena setiap orang tidak tahu berapa umurnya secara pasti, semakin cepat haji selagi mampu semakin baik. Dengan begitu, ia segera terbebas dari kewajiban haji. Lagi pula, tidak sedikit ulama yang berpendapat kewajiban haji adalah secepatnya. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2073- 2074).

Karena kewajiban haji tidak seketika (‘ala at-tarakhi), banyak kaum muslimin yang sebenarnya telah mampu berangkat haji, tetapi pelaksanaannya ditunda dengan pelbagai pertimbangan. Penundaan ini apabila berlangsung lama, kadangkala berakhir dengan datangnya ajal sebelum sempat menunaikan haji. 

Orang yang meninggal dalam keadaaan belum berhaji, padahal pada masa hidupnya telah mampu, menurut para ulama dihukumi berdosa. 

Orang demikian hajinya harus diqadha’ dengan cara mengupah orang lain yang telah pergi haji dengan  harta peninggalannya (at-tirkah). Qadha’ dilakukan secepatnya (‘ala al-faur). Kalau tidak mempunyai harta peninggalan, ahli waris tidak berkewajiban menghajikan si mayit. Tetapi dianjurkan, karena hukumnya sunah. (A1-Majmu VII, 109). 

Kewajiban mengqadha’ haji orang meninggal, mengacu pada hadis riwayat Buraidah, beliau mengatakan : Seorang perempuan mendatangi Rasulullah, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu saya telah meninggal dalam keadaaan belum haji. Rasulullah bersabda :
Artinya: “Berangkatlah haji sebagai ganti ibumu.” (HR. Muslim) 

Ibadah haji adalah ibadah badaniyah dan maaliyah, fisik dan harta. Sehingga dapat diwakilkan kepada orang lain, apabila tidak mampu dikerjakan sendiri karena kematian atau penyakit yang tidak memungkinkan berangkat ke tanah suci. 

Haji adalah hak Allah. Orang yang belum berhaji herarti masih berutang kepada Allah. Seperti halnya utang manusia, utang kepada Allah wajib dilunasi. Pelunasan utang haji, dilakukan dengan haji badal. 

Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka meng-qadha‘ haji orang tua dengan harta peninggalannya didahulukan daripada menghajikan istri. Lagi pula, harta tersebut hasil jerih payah orang tua. Sudah sebaiknya jika digunakan untuk kemashlahatannya. Mengqadha’haji orang tua harus seccpatnya. Menghajikan istri boleh ditunda.

Apa Hukum Melempar Jumrah Dengan Sandal ?

melempar jumrah selain dengan batu
Tanya : Saya pernah melihat salah seorang jamaah haji melempar jumrah dengan sandal. Apakah hal itu diperbolehkan ? (Hadi, Banyuwangi) 

Jawab : Pekerjaan ibadah haji dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), rukun, kewajiban dan sunah. Rukun haji adalah sesuatu yang asasi, jika ditinggalkan maka hajinya tidak sah.

Kewajiban haji juga harus dikerjakan, tetapi jika tidak dipenuhi hajinya tetap sah. Cuma harus membayar fidyah. Sedangkan sunah sebaiknya dikerjakan. 

Salah satu kewajiban haji adalah melempar 3 (tiga) jumrah, yakni, jumrah ula, wustha dan kubra atau ‘aqabah. Diceritakan dari Sahabat Jabir, beliau berkata, yang atinya : “Saya melihat Rasulullah melempar jumrah dari atas kendaraannya pada hari raya Idul Adha, dan berkata, “Ambillah manasik kalian dariku. Karena sesungguhnnya aku tidak mengetahui kalau-kalau tidak bisa haji setelah ini.” (Nail Al-Authar. V, 65).
Pelemparan jumrah, di samping karena diperintahkan Rasulullah, juga untuk meneladani tindakan Nabi Ibrahim beserta istri dan anaknya. Nabi Ibrahim mendapat wahyu menyembelih putranya, Nabi Ismail. Mereka bertiga melempar batu ke arah iblis yang berusaha menggagalkan pelaksanaan perintah Allah tersebut. Jadi, melempar jumrah merupakan simbol perlawananan manusia terhadap setan yang selalu berusaha menjerusmuskannya supaya melakukan hal-hal yang tidak baik. Dalam Al-Quran, setan menjadi musuh manusia. (Al-Fiqh Al Islami, 3). 

Pelemparan jumrah dilakukan dengan batu (al-hajar). Dalam hal ini, kita semata-mata mengikuti Rasulullah (ittiba’ as-sunah). Sebab, dalam masalah ibadah, kita harus merujuk pada dalil naqli (Al-Quran atau hadis). Ada kaidah segala bentuk ibadah hukumnya haram kecuali yang diperintahkan. Dalam bidang muamalah berlaku sebaliknya, yaitu segala sesuatu diperbolehkan kecuali yang dilarang. (Nihayah Az Zain, 211, AI-Madzahib A1-Arba’ah. I, 665). 

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan melempar jumrah dengan sandal. Tindakan salah seorang jamaah yang dilihat penanya tidak bisa dibenarkan. Sebab sandal adakalanya terbuat dari kayu, kulit atau karet. Ketiganya jelas bukan batu. 

Setiap jamaah melempar jumrah dengan tangan secara langsung. Diutamakan menggunakan tangan kanan. Karena itu, harus dihindari melempar dengan kaki atau ketapel. 

Karena yang diperintahkan adalah melempar (ar-ramy), belum mencukupi meletakkan batu di marma (tempat pelemparan), seperti memasukkan gula ke dalam gelas. Sebab itu namanya bukan melempar. Batu yang dilempar sudah barang tentu harus masuk marma.

Pendapat Empat Imam Madzhab Tentang Qunut

pendapat imam madhab soal qunut.
Sebelumnya sudah dibahas mengenai Alasan Orang Yang Membantah Kesunnahan Qunut Dan Jawaban Atas Bantahannya, dan artikel lanjutan dari pembahasan seputar qunut kali iini penulis akan keengahkan pendapat imam madzhab (4 imam madzhab) tentang qunut.

Berikut ini adalah Pendapat Imam Madzhab yang Empat Tentang Qunut :
a. Madzhab Hanafi : Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya adalah sebelum ruku’. Adapun qunut pada shalat Subuh tidak disunnatkan. Sedangkan qunut nazilah disunnatkan tetapi pada shalat yang jahriyyah saja. 

b. Madzhab Maliki : Disunnatkan qunut pada shalat Subuh dan tempatnya yang lebih utama adalah sebelum ruku’, tetapi boleh juga dilakukan sesudah ruku’. Adapun qunut pada selain subuh yakni qunut witir dan qunut nazilah, maka keduanya dimakruhkan. 

c. Madzhab Syafi’i : Disunnatkan qunut pada shalat Subuh dan tempatnya sesudah ruku’. Begitu juga disunnatkan qunut nazilah dan qunut witir pada pertengahan bulan ramadhan. 

d. Madzhab Hambali : Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku’. Adapun qunut pada shalat Subuh tidak disunnatkan. Sedangkan qunut nazilah disunnatkan dan dilakukan pada shalat Subuh saja.

Demikianlah rangkaian artikel pembahansan tentang kesunnahan qunut, semoga dapat memberikan manfaat.

Alasan Orang Yang Membantah Sunnah Qunut Dan Jawaban Atas Bantahannya

dalil bantahan qunut, jawaban yang membantah qunut
Artikel lanjutan dari postingan sebelumnya tentang Lafadz Doa Qunut Menurut Sunnah akan penulis ketengahkan, pembahasan lanjutan kali ini mengenai Alasan Orang-orang yang Membantah kesunnahan qunut beserta jawaban ulama syafi'iyyah akan bantahan tersebut.

a. Ada orang yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadits Anas ra. :
“Bahwasanya Nabi Saw. melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku sambil mendoakan kecelakaan atas beberapa suku arab kemudian beliau meninggalkannya “. (HR. Bukhari Muslim) 

Jawaban : Bahwa hadits Anas tersebut kita akui sebagai hadits yang sahih karena terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata-kata : “Tsumma Tarokahu“ (Kemudian Nabi meninggalkannya). Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu? Meninggalkan qunutkah? Atau meninggalkan berdoa yang mengandung kecelakaan atas suku arab? 

Untuk menjawab permasalahan ini marilah kita perhatikan baik-baik penjelasan Imam Nawawi dalam A1-Majmu’ III/505 : 
“Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairoh ra. dalam hal ucapannya dengan “Tsumma Tarokahu“, maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan atas orang-orang kafir itu dan meninggalkan pelaknatan lerhadap mereka saja, bukan meninggalkan seluruh qunut. Atau maksudnya itu adalah meninggalkan qunut pada selain subuh. Penafsiran seperti ini harus dilakukan karena hadits Anas dalam ucapannya : “Senantiasa Nabi qunut dalam shalat Subuh sehingga beliau meninggal dunia” adalah sahih lagi jelas, maka wajiblah menggabungkan diantara keduanya” 

Imam Baihaqi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Madiyyil Imam bahwasanya beliau berkata : “Innama Tarokta La’nu” (Hanyalah yang beliau tinggalkan itu adalah melaknat). Lebih-lebih lagi penafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairoh r.a yang berbunyi :
“Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan atas mereka”. 

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan babwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yang ditinggalkan bukan qunut pada waktu shalat Subuh. 

b. Ada juga orang-orang yang tidak menyukai qunut mengajukan dalil yakni Hadits Sa’ad bin Thariq yang juga bernama Abu Malik al-Asja’i :
“Dari Abu Malik al-Asja’i, beliau berkata : Aku pernah bertanya kepada bapakku, wahai bapak! Sesungguhnya engkau pernah shalat dibelakang Rasulullah Saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib disini di Kufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut? Dijawab oleh bapaknya : “Wahai. anakku, itu adalah bid’ah”. (HR. Turmuzi) 

Jawaban : Kalau benar Saad bin Thariq mengatakan demikian, maka sungguh suatu hal yang mengherankan karena hadits-hadits tentang Nabi dan para Khalifah Rosyidin yang melakukan qunut sangatlah banyak baik di dalam kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi. Oleh karena itu, maka ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah diakui dan tidak terpakai dalam madzhab Syafi’i dan juga madzhab Maliki. Hal ini disebabkan karena beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula dengan sahabat-sahabat beliau. Sedangkan hanya Thariq sendiri yang mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah. Maka dalam kasus ini berlakulah kaidah ushul fiqih yakni “Al-Mutsbit muqaddam ‘alan naafi” ( Orang yang yang menetapkan didahulukan alas orang yang menafikan). 

Terlebih lagi bahwa orang yang mengatakan “ada” jauh lebih banyak dibanding orang yang mengatakan “tidak ada” Seperti inilah jawaban Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ III/505. Beliau berkata sebagai berikut :
“Dan jawaban kita terhadap hadits Saad bin Thariq adalah bahwa riwayat orang-orang yang menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh karenanya wajiblah mendahulukan mereka”. 

Pensyarah hadits Turmuzi yakni Ibnul Arabi juga memberikan komentar yang sama terhadap hadits Saad bin Thariq itu. Beliau mengatakan “Telah tetap bahwa Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut dalam shalat Subuh. Telah tetap pula bahwa Nabi pernah melakukan qunut sebelum ruku atau sesudah ruku’. Telah tetap pula bahwa Nabi pernah melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah-pun melakuan qunut serta sayyidina Umar mengatakan bahwa qunut itu sunnat, telah pula diamalkan di masjid Madinah. Oleh karena itu janganlah kamu ambil perhatian terhadap ucapan yang lain daripada itu”. 

Seorang ulama ahli fiqih dari Jakarta bernama KH.Syafi’i Hazami dalam kitabnya Taudhiihul Adillah mengatakan ketika mengomentari hadits Saad bin Thariq itu : “Sudah terang qunut itu bukan bid’ah menurut segala riwayat yang ada, maka yang bid’ah itu adalah meragukan kesunnatannya sehingga masih bertanya pula”. 

Dengan demikian dapatlah kita pahami ketegasan Imam Uqaili yang mengatakan bahwa Abu Malik itu jangan diikuti haditsnya dalam hal qunut. (Lihat Mizanul l’tidal Il/122). 

c. Ada juga yang mengetengahkan riwayat dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan :
“Rasulullah Saw. tidak pernah qunut di dalam shalat apapun”. 

Jawaban : Riwayat ini menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ sangatlah dhaif karena diantara perawinya terdapat Muhammad bin Jabir as-Suhaili yang ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli hadits. Tersebut dalam kitab Mizanul l’tidal karangan Az-zahabi bahwa Muhammad bin Jabir as-Suhaimi adalah orang yang dhaif menurut perkataan Ibnu Mu’in dan Imam Nasai. Imam Bukhari mengatakan : “la tidak kuat”. Imam Ibnu Hatim mengatakan: “la dalam waktu terakhirnya menjadi pelupa dan kitabnya telah hilang”. (Mizanul I’tidal III/492). 

Dan juga kita dapat menjawab dengan jawaban terdahulu bahwa orang yang mengatakan “ada” lebih didahulukan daripada orang yang mengatakan “tidak ada” berdasarkan kaidah : “Al-Mutsbit muqaddam alan naafl”.

d. Ada yang mengajukan dalil bahwa Ibnu Abbas berkata :.
 “Qunut pada shalat Subuh itu bid’ah” 

Jawaban : Hadits ini dhaif sekali karena Baihaqi meriwayatkannya dari Abi Laila al-Kufi dan beliau sendiri mengatakan bahwa hadits ini tidak sahih karena Abu Laila itu adalah matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada haditsnya yang lain Ibnu Abbas sendiri mengatakan :
“Bahwasanya Nabi Saw. melakukan qunut pada shalat Subuh”. 

e. Ada juga yang mendatangkan dalil bahwa Ummu Salamah berkata :
“Bahwasanya Nabi Saw. melarang qunut pada shalat Subuh”. 

Jawaban : Hadits ini juga dhaif karena diriwayatkan dari Muhammad bin Ya’fa dari Anbasah bin Abdurrahrnan dari Abdullah bin Nafi’ dari bapaknya dari Ummu Salamah. Berkata Daruqutni : “Ketiga-tiga orang itu lemah dan tidak benar kalau Nafi’ mendengar hadits itu dari Ummu Salamah”. Tersebut dalam Mizanul I‘tidal : “Muhammad bin Ya’Ia itu diperkatakan oleh Imam Bukharii bahwa ia banyak menghilangkan hadits. Abu Hatim mengatakannya bahwa ia matruk” (Mizanul I‘tidal IV/70). 

Anbasah bin Abdurrahman menurut Imam Bukhari haditsnya matruk. Sedangkan Abdullah bin Nafi adalah orang yang banyak meriwayatkan hadits mungkar. (Mizanul I’tidal II/422). 

Artikel selanjutnya mengenai pendapat 4 madzhab (Syafi'i, Hambali, Maliki, Hanafi) tentang kesunnahan qunut dalam shalat subuh, selengkapnya bisa dilihat disini : Pendapat Empat Imam Madzhab Tentang Qunut

Tabir Wanita