Tanya : Saat naik haji beberapa tahun lalu saya dititipi uang badal haji sebanyak 700 riyal oleh kerabat saya untuk ibunya yang sudah meninggal di tanah air. Sampai di Makkah saya minta teman saya yang sudah berhaji untuk menghajikan ibu kerabat saya tadi. Pak Kiai, bolehkah badal haji dengan uang sejumlah itu. Kabarnya itu memang harga umum. Padahal ONH jauh lebih banyak dari itu? Apakah syarat-syarat badal haji? (Toha, Jakarta)
Jawab : Pertama saya jelaskan dahulu apa itu haji badal, haji badal, atau badal haji adalah haji yang diwakilkan kepada orang lain karena alasan tertentu, atau singkatnya membayar orang untuk mewakilkan melaksanakan haji.
Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, ibadah haji hanya bisa dilangsungkan di tanah suci. Thawaf harus mengitari Ka’bah. Sa’i dari bukit Shofa dan Marwah. Wukuf dilaksanakan di Padang Arafah.
Ibadah haji memerlukan biaya, sarana transportasi dan kesiapan fisik. Haji adalah ibadah fisik (al-ibadah al-badaniyah) sekaligus harta (al-ibadah al-maliah). Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Oleh sebab itu kewajian haji sebagai rukun Islam kelima, terbatas pada kaum muslimin yang mampu menunaikan. (Al-Fiqh ‘ala Madzahib A1-Arba’ah. I, 706).
Pada prinsipnya sebagai ibadah badaniyah, haji harus dilakukan sendiri. Dalam kondisi normal, di mana yang bersangkutan mampu mengerjakan sendiri, haji tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.
Tetapi dalam kondisi sakit yang kronis dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya, sebagai ibadah maliyah, menurut pendapat mayoritas ulama, haji boleh diwakilkan kepada orang lain. Begitu pula orang yang meninggal dunia dalam keadaan belum pernah menunaikan ihadah ini, padahal yang bersangkutan sudah mampu. Diceritakan dalam sebuah hadis sahih, seorang perempuan dan Khats’am berkata kepada Rasulullah :
Artinya : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji berlaku atas hamba-hamba Allah. Saya menjumpai bapak saya telah tua dan tidak mampu duduk di atas kendaraan. Apakah saya mengerjakan haji atas namanya? Beliau menjawab, “Ya”. (Muttafaq‘alaih)
Oleh sebab itu, para fuqaha mengklasifikasikan istitha’ah (kemampuan haji) menjadi dua, istitha’ah bi nafsih dan istitha’ah bi ghairih. Istitha’ah bi nafsih artinya, sanggup mengerjakan haji sendiri. Istitha’ah bi ghairih, ketika seseorang karena alasan sakit atau termakan usia tidak mampu berangkat sendiri, tetapi memiliki uang untuk menyewa orang lain melakukan haji atas namanya. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2098).
Seseorang dianggap sudah istitha’ah bi ghairih, apabila mempunyai uang dalam jumlah yang cukup untuk membayar orang lain mengerjakan haji menurut ukuran lumrah yang berlaku di masyarakat (ujrah al-misl).
Transaksi antara orang yang mewakilkan dan wakil atau badal termasuk kategori akad ijarah. Sehingga tidak ada batasan yang baku mengenai upah yang harus diberikan. Yang terpenting terdapat kata sepakat antara keduanya, atau dalam bahasa fikihnya disebut ‘an taradhin. Mungkin juga si wakil tidak meminta bayaran sepeserpun, semata-mata ingin membantu orang. Hal ini sangat mungkin terjadi, bilamana antara keduanya terjalin hubungan kekerabatan misalnya.
Orang yang sah ditunjuk menjadi wakil atau badal adalah orang yang memiliki kompetensi untuk mengerjakan haji, yaitu mukallaf (muslim, baligh dan berakal), dan mampu melakukannya. Wakil diisyaratkan sudah melaksanakan haji sebelumnya. Yidak dibenarkan mewakilkan kepada orang yang belum pernah mengerjakan haji untuk dirinya sendiri.
Hendaknya dicarikan orang yang dapat dipercaya (al-mautsuq bih), untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Wakil melakukan ihram atas nama orang yang mewakilkan. Ihram dilakukan dan miqat orang yang diwakili. (Al-Fiqh Al-Islami. III, 2106)