Thursday, 8 September 2016

Keutamaan Dan Manfaat (Fadhilah Dan Faedah) Shalawat Badawi Kubra

bilik islam

ALLAAHUMMA SHALLI WA SALLIM WA BAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA WA MAULAANAA MUHAMMADIN SYAJARATIL ASHLIN NUURAANIYYATI WALAM’ATIL QABDLATIR RAHM AANIYYATI WA AFDLALIL KHALIIQATIL INSAANIYYATI WA ASYRAFISH SHUURATIL JISMAANIYYATI WA MADINIL ASRAARIR RABBANIYYATI WA KHAZAA-INIL ‘ULUUMIL ISHTHIFAAI YYATI SHAAHIBIL QABDLATIL ASHLIYYATI WABAHJATISS ANNIYATI WARRUTBATIL ‘ALIYYATI MANINDARATIN NABIYYUUNA TAHTA LIWAAIHI FAHUM MINHU WA ILAIHI WAS HALLI WA SALLIM WA BAARIK ALAIHI WA ‘ALAA AALIHI WA SHAHBIHI ‘ADADA MAA KHALAQTA WA RAZAQTA WA AMATI’A WA AHYAITA ILAA YAUMI TAB’ATSU MAN AFNAITA WA SALLIM TASLIIMAN 

Artinya :
Ya Allah, berilah rahmat keselamatan dan berkah atas junjungan kita Nabi Muhammad pohon pokok cahaya, berkilauan genggaman kesayangan, makhluk manusia yang paling utama, bentuk badan yang paling mulia, tambang rahasia ketuhanan, gedung Ilmu yang terpilih, pemilik genggaman yang asil, kesenangan yang terpuji derajat yang luhur, orang yang para nabi dibawah benderanya., mereka itu dari dan kepada Muhammad. Ya Allah, limpahkanlah rahmat keselamatan dan berkah atas Nabi, keluarga dan para shahabat beliau Sebanyak makhluk yang Engkau ciptakan, Engkau rizkikan, Engkau matikan, Engkau hidupkan hingga pada hari orang-orang yang Kau binasakan dibangunkan. Semoga Allah melimpahkan keselamatan yang tidak terhingga. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
 
Khasiatnya :
Shalawat Badawi ini mempunyai khasiat besar, apabila dibaca sebanyak-banyaknya, insya Allah segala keruwetan/kesusahan baik bersifat pribadi maupun kesusahan umum dapat hilang dengan izin Allah.
 

Wednesday, 7 September 2016

Zakat Bagi Seorang Janda Beserta Anak Yatim (Dialog Wanita Dan Islam)

Zakat Bagi Seorang Janda Beserta Anak Yatim (Dialog Wanita Dan Islam)

Wanita bertanya : Apakah seorang janda yang mempunyai beberapa anak yatim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat? 

Islam menjawab : Pada prinsipnya bila jumlah kekeayaan yang dimiliki sudah mencapai satu hisab dan usia waktunya satu tahun, maka ia berkewajian untuk mengeluarkan zakat. Kemudian didalam syariah islam juga tidak pernah membeda-bedakan, apakah yang memiliki itu orang yang masih bersuami, janda ,anak-anak, remaja atau gadis yang belum menikah. Jadi sekalipun seorang janda dan mempunyai beberapa anak, tetapi bila kekayaannya telah mencapaisatu hisab, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat.

Sebagaimana dijelaskan didalam suatu riwayat dari Abdullah bin Umar, Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa menjadi wali seorang anak yatin yang berharta, maka hendaklah memperniagakan kekayaan itu bagi dirinya, jangan membiarkan harta itu hingga terkurangi oleh zakat.” (Riwayat Ad Daruquthni).

Kemudian riwayat yang lain juga menegaskan, bahwa Nabi Saw Bersabda :
“Perniagakanlah Harta anak-anak yatim (dengan mengatasnamakan kepadanya), sehingga tidak hilang atau dihabiskan oleh zakat”. (riwayat Syafi’i) 

Jadi dari uraian diatas jelas,bahwa status harta itu,apakah itu milik yatim ataupun tidak, tergantung suami yang telah meninggalkan istrinya tadi. Apakah sebelum meninggal itu ia telah mewasiatkan kekayaan ataupun belum sama sekali, tetapi meskipun harta kekeayaan itu telah diwasiatkan kepada anaknya (yatim) dan sudah mencapai satu nisab dan lewat setahun, maka ia wajib menzakatinya.

Sumber : Buku Dialog Wanita dan Islam "Imam turmudzi"

Prioritas Hak Mengasuh Anak Menurut Fikih Islam

mengasuh anak, cara mengasuh anak
Tanya : Siapakah yang lebih berhak mengasuh anak apabila sepasang suami istri bercerai dan menghasilkan anak dari perkawinannya. Apakah ibu atau ayah ? 

Jawab : Setiap pasangan tentu mengharapkan perkawinannya abadi, yang pertama sekaligus yang terakhir. Tetapi karena berbagai faktor, ikatan perkawinan dapat putus di tengah jalan akibat terjadinya perceraian atau kematian. Kalau perkawinan telah berlangsung cukup lama, dan menghasilkan keturunan, maka timbul permasalahan, siapakah yang lebih berhak mengurusnya antara ayah dan ibu. 

Sering terjadi kasus perebutan hak mengasuh anak pasca perceraian oleh kedua orang tua. Masing-masing merasa lebih berhak, layak dan mampu mengasuh anak. Keinginan untuk mengasuh anak tenu saja merupakan hal yang sangat positif. Hal ini menunjukkan rasa mahabbah mereka terhadap anaknya. Tetapi kalau tidak diatur, dikhawatirkan justru akan menimbulkan dampak kurang baik bagi anak. 

Oleh karena itu, masalah hak mengasuh anak pasca perceraian mendapat perhatian dari agama Islam, dan termasuk dalam paket hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah). Dalam kitab-kitab fikih, pemeliharaan anak ini disebut hadhanah, yang dibicarakan setelah perkawinan. 

Pemeliharaan anak atau hadhanah, sebagai dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu mandiri. 

Dalam menentukan siapa yang lebih berhak melakuk hadhanah, dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak yang mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan, minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberi batasan sampai umur 7 (tujuh) tahun. Pada tahap perkembangan ini (mumayyiz), orang tua diperintahkan menyuruh anaknya melakukan shalat supaya kelak setelah dewasa (mukallaf atau baligh) menjadi terbiasa dan terlatih.

Dalam KHI pasal 156, dijelaskan anak yang belum mumayyzz berhak mendapatkn hadhanah dari ibunya. Bila ibu meninggal, kedudukannya digantikan oleh: 1) perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu, 2) ayah, 3) perempuan-perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah, 4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, 5) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, 6) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 

Mengingat pengaruh pengasuh sangat besar terhadap jasmani dan rohani anak, maka KHI pasal 156, menegaskan, apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dari hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah. 

Secara lebih detail, kitab A1-Fiqh Al-Manhaji, II, 186-187 menerangkan, pemegang hadhanah harus memenuhi persyaratan, yaitu, 1) Beragama Islam bila mana anaknya muslim, 2) al-iffah dan al-amanah (tidak fasik), 3) tidak bepergian, 4) tidak bersuami lagi, 5) tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu pekerjaan hadhanah, seperti buta maupun tuli. 

Berdasarkan keterangan di atas, hak asuh ibu didahulukan atas ayah. Hal ini di samping bersandar pada dalil naqil juga didukung dalil aqli. Dalam satu hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan. Perempuan itu berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang dia minum, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku.” Mendengar pengaduan itu Rasulullah memberi keputusan seraya berkata, “Kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak menikah lagi.” (Al-Fiqh A1-Manhaji II, 182). 

Di samping hadis tersebut, ibu lebih berhak memelihara anak, dengan pertimbangan kasih sayang ibu (‘athifah al-umumah) pada umumnya lebih besar dari ayah. Hubungan batin ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan ASI dan hanya dimiliki ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai untuk melakukan tugas mengasuh dan merawat anak.

Apabila anak sudah mumayyiz maka dia berhak memilih ikut ayah dan ibunya. Setelah mumayyiz anak relatif lebih mandiri, dan ketergantungannya kepada ibu lebih berkurang. Pada saat yang sama, dia telah mampu membuat penilaian dan keputusan mengenai apa yang terbaik buat dirinya dalam batas-batas tertentu. Dia sudah bisa memilih mana yang lebih baik antara hidup bersama ayah dan ibu. Kelihatannya, hak memilih antara ayah dan ibu ini sederhana. Tetapi sebenarnya menjadi pendidikan demokrasi yang luar biasa. 

Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak di bawah pengasuhan ibu semua biaya hadhanah dan nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya (KHI pasal 156). Jadi tidak dibenarkan, apabila ayah secara tidak bertanggungjawab lepas tangan dalam urusan nafkah anak. Akibatnya semua biaya perawatan atau nafkah ditanggung oleh ibu.

Perbedaan Darah Nifas, Istihadah Dan Haid Kaitannya Dengan Mengqadha Puasa Dan Shalat

apa itu darah nifas ? apa itu darah haid ? apa itu darah istihadhah ?
Tanya : Jika seorang perempuan mulai haid pada 1 Ramadhan, kemudian pada 6-10 Ramadan dia suci dan pada 11-15 dia haid kembali. Pertanyaan saya bagaimana dia mengqadha’ puasa, apakah hanya sepuluh hari atau lima belas hari penuh? Padahal saat suci dia berpuasa. Bagaimana dia mengqadha’ shalat? (Imamudin, Tiogosari Semarang)

Jawab : Ada tiga macam jenis darah yang keluar dari farji (kemaluan depan) seorang perempuan, pertama darah nifas, kedua darah istihadhah, dan ketiga darah haid.

Darah nifas adalah darah yang keluarnya mengiringi kelahiran. Orang yang sedang mengeluarkan darah jenis ini, hukumnya sama dengan orang yang sedang haid, artinya dia tidak boleh melakukan segala aktivitas yang dilarang ketika seseorang sedang haid, dia juga wajib mandi apabila darah nifasnya telah berhenti (suci).

Kemudian darah istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari ujung urat di bawah rahim, pada saat seseorang tidak sedang haid atau nifas. Berbeda dengan yang telah saya katakan, orang yang mengeluarkan darah nifas atau darah haid wajib mandi apabila sudah suci, namun orang istihadhah tidak diwajibkan mandi setelah darahnya berhenti. 

Mengapa ? Karena darah istihadhah hanya membatalkan wudhu saja, karena itu apabila segala sesuatu yang dilarang ketika orang sedang haid dan nifas seperti shalat, puasa dan lain-lain tetapi wajib dilakukan oleh mustahadhah (orang yang sedang istihadhah).

(Lebih jelas tentang darah Istihadhah silahkan baca : Pengertian Darah Istihadhah)

Sedangkan darah haid yaitu darah yang dikeluarkan perempuan dalam keadaan sehat, tidak luka dan telah mencapai umur genap sembilan tahun. 

Rasulullah bersabda :
Artinya : “Hal itu memang sesuatu yang sudah digariskan Allah atas anak-anak perempuan Adam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Minimal bisa dikatakan darah haid, apabila darah keluar sehari semalam (24 jam) secara terus menerus, jika kurang dari ukuran ini darah yang keluar itu tidak dinamakan darah haid tetapi darah istihadhah. 

Atau bisa juga lebih dan sehari semalam (selama tidak melebihi batas maksimal haid atau aktsaru al-haidhi), dan keluarnya dengan terputus-putus pada jam-jam tertentu. 

Tetapi apabila jam-jam saat haid tadi, dikumpulkan waktunya bisa mencapai genap sehari semalam, darah itu juga disebut sebagai darah haid. 

Sebaliknya, seorang perempuan mengeluarkan darah dalam waktu dua, tiga, lima atau tujuh hari dan seterusnya sampai batas maksimal haid, tetapi apabila jam-jam saat keluar darah dikumpulkan dan tidak mencapai 24 jam, darah itu bukan dinamakan darah haid melainkan darah istihadhah.

Batas waktu maksimal haid adalah 15 hari (di atas batas ini bukan dinamakan darah haid melainkan istihadhah), pada umumnya waktu haid yang paling banyak dialami oleh para perempuan antara enam dan tujuh hari. 

Dari pertanyaan Anda di atas, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, mulai tanggal 1-5 mengeluarkan darah dengan terputus-putus, jika jam-jam saat keluarnya darah tersebut dikumpulkan dan mencapai waktu sehari semalam, serta hal itu sesuai tradisi (biasanya dia haid selama 5 hari) darah itu dinamakan darah haid.

Sedangkan darah yang keluar mulai tanggal 11-15 berarti bukan darah haid melainkan darah istihadhah, karena masa suci atau tenggang antara dua haid minimal lima belas hari. 

Kedua, jika ketika mengeluarkan darah tanggal 1-15, lalu dikumpulkan jam-jam keluarnya telah mencapai sehari semalam. Penjelasannya lima hari pertama mengeluarkan darah, namun setelah jam-jam keluarnya dikumpulkan belum mencapai 24 jam.

Selanjutnya baru mencapai 24 jam jika digabungkan dengan tanggal 11-15 dan hal itu sesuai dengan kebiasaannya, maka darah yang mulai keluar tanggal 1-15 itu dinamakan darah haid 

Ketiga, dalam kebiasaannya seorang perempuan mengeluarkan haid hanya beberapa hari (tidak sampai 15 hari), dan ketika mengeluarkan darah mulai tanggal 1-5 apabila dikumpulkan jam-jam keluar darahnya tidak mencapai 24 jam, sedangkan ketika mulai mengeluarkan darah mulai tanggal 11-15 apabila dikumpulkan jam-jam haidnya bisa mencapai 24 jam, darah yang keluar mulai tanggal 1-5 bukan darah haid (darah istihadhah) melainkan darah yang keluar mulai tanggal 11-15 dinamakan darah haid.

Keempat, jika mengeluarkan darah dari tanggal 1-15 apabila dikumpulkan jam-jam waktu keluar darahnya tidak mencapai batas minimal haid, darah itu bukan darah haid melainkan darah istihadhah. 

Jadi untuk kasus pertama, orang wajib mengqadha’ puasanya mulai tanggal 1-5, sedangkan mulai tanggal 6 sampai seterusnya dia wajib melakukan puasa dan shalat karena sudah dalam keadaan suci.

Dan untuk kasus yang kedua, seseorang wajib meng-qadha’ puasanya selama 15 hari penuh, jika terlanjur puasa atau shalat saat haid berhenti tetapi masih dalam masa haid (dalam kasus ini mulai tanggal 6-10), maka puasa dan shalatnya dianggap tidak sah, bahkan haram melakukan puasa atau shalat pada waktu seseorang tahu bahwa dia dalam keadaan sedang haid. 

Sedangkan untuk kasus yang ketiga, seseorang wajib mengqadha’ puasa hanya mulai tanggal 11-15, sedangkan mulai tanggai 1-10 dia tetap wajib melakukan puasa dan shalat karena dia masih suci.

Kemudian untuk kasus yang terakhir, seseorang wajib melakukan puasa dan shalat mulai tangal 1 sampai seterusnya. 

Berdasarkan uraian di atas, untuk menentukan apakah darah yang keluar itu darah haid atau bukan penting sekali seorang perempuan melihat bagaimana kebiasaan waktu perempuan tersebut dalam mengeluarkan haid. 

Apakah biasanya di awal bulan, tengah bulan, atau akhir bulan? Atau apakah biasanya dia mengeluarkan haid hanya selama satu hari, enam hari, tujuh hari ataukah lima belas hari penuh, karena seperti kaidah yang terdapat dalam fikih “al ‘adah muhakkamah “ kebiasaan bisa dijadikan hukum. 

Adapun untuk masalah shalat yang ditinggalkan selama berlangsungnya masa haid hal itu tidak perlu diqadha karena merupakan bagian dari rukhshah bagi haid (orang yang haid).

Malaikat Tidak Makan, Tidak Minum, Tidak Bosan Dan Tidak Letih (Iman Kepada Malaikat)

rukun iman, bilik islam
Malaikat Tidak Makan dan Tidak Minum
Sebelumnya, telah diulas pada postingan sebelumnya bahwa para Malaikat tidak disifati dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan,demikian pula mereka tidak butuh kepada makanan manusia serta minuman mereka. 

Allah SWT telah mengabarkan kepada kita tentang Malaikat yang mendatangi Nabi Ibrahim RA dalam rupa manusia, maka Nabi Ibrahim AS menyuguhkan makanan kepada mereka akan tetapi tangan mereka tidak menyentuh makanan tersebut sedikit pun. Maka Nabi Ibrahin pun merasa takut kepada mereka, hingga ditampakkanlah hakikat (bahwa) mereka (adalah Malaikat, dan hilanglah rasa takut Nabi Ibrahim RA kemudian beliau pun beristhigfar kepada Allah. 

Allah SWT berfirman :
Artinya: “Sudahkah sampai kepadamu (wahai Muhammad) cerita para tamu Ibrahim (yaitu para Malaikat) yang dimuliakan ? (lngatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalau mengucapkan, “Salaam” Ibrahim pun menjawab, ‘Salaam ‘(Mereka itu) orang-orang yang belum dikenainya. Maka diam-diam Ia (Ibrahim) pergi menemul keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim, berkata, “Mengapa tidak kamu makan?” Maka Ia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut“ dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (ishaq).” (QS. Adz-Dzaariyaat:24.28)
 
Dalam ayat yang lain, Allah SWT befirman : 
Artinya : “Maka, ketika (Nabi Ibrahim) melihat tangan mereka takut ketika tidak menjamah (hidangan tersebut), Ibrahim pun mencurigai mereka dan merasa takut kepada mereka. Mereka (para Malaikat) berkata, ‘Jangan takut Seseungguhnya kami adalah (Malaikat-Malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” (QS. Huud: 70) 

Para Malaikat Tidak Merasakan Bosan dan Tidak Letih
Para Malaikat senantiasa beribadah kepadah Allah SWT,taat kepada-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya tanpa rasa letih dan bosan. Tidaklah mereka merasakan apa yang umumnya dirasakan oleh manusia dan perkara tersebut. 

Allah Ta’ala berfirman tentang sifat para Malaikat :
Artinya : “Mereka (Malaikat-malaikat) itu bertasbih malam dan siang, tidak ada henti-hentinya.” (QS.Al-Anbiyaa’:20) 

Makna (Laa Yafturun) dalam surat Al- Anbiya ayat 20 adalah tidak merasa lemah.
 
Dalam ayat lain, Allah SWT Berfirman :
Artinya : “Jika orang-orang itu menyombongkan diri,maka mereka (Malaikat) yang di sisi Rabb-Mu justru bertasbih kepada-Nya siang dan malam, dan mereka tidak pernah merasa jemu.” (QS. Fushshilat:38)

Jenis Kelamin Malaikat (Iman Kepada Malaikat)

sifat kelamin malaikat
Malaikat Tidak Disifati dengan Jenis Laki-laki maupun Perempuan
Diantara sebab sesatnya manusia ketika berbicara tentang alam ghaib bahwa sebagian mereka berusaha untuk menakar alam ghaib ini dengan ukuran manusia yang bersifat duniawi. Maka, pernah kami dapati salah seorang diantara mereka dalam makalahnya disebuah koran mereka merasa heran bahwa Jibril pernah datang kepada Rasullah SAW. 

Bagaimana mungkin Jibril mampu datang dalam kecepatan yang luar biasa ini, sementara cahaya saja membutuhkan berjuta-juta tahun cahaya untuk sampai dari satu bintang ke bintang yang lain dilangit ? 

Orang seperti ini tidak mengerti,bahwa perumpamaannya adalah seperti perumpamaan nyamuk yang berusaha untuk mengukur kecepatan pesawat terbang dengan suatu kadar ukuran tertentu.Andai saja orang tersebut memikirkan perkara tersebut, niscaya ia akan mengetahui bahwa alam Malaikat memiliki kadar-kadar ukuran yang sama sekali berbeda dengan ukuran-ukuran yang berlaku pada kita selaku manusia. 

Sungguh dalam perkara ini, orang-orang musyrik Arab yang menyangka bahwa Malaikat adalah berjenis perempuan telah sesat. Perkataan mereka yang jauh dari kenyataan ini bercampur dengan khurafat yang lebih besar, dimana mereka menyangka bahwa para Malaikat adalah anak-anak perempuan Allah SWT. 

Al-Qur’an mengajak mereka berdialog mengenai dua perkara ini. Al Qur’an telah menjelaskan bahwa (keyakinan) mereka tidak bersandar kepada dalil yang Shahih dalam perkara yang menjadi pendapat mereka,dan ucapan mereka adalah ucapan yang serampangan.Yang mengherankan juga adalah bahwasanya mereka menisbatkan anak-anak perempuan bagi Allah SWT. Padahal mereka tidak suka dengan anak-anak perempuan. Tatkala salah seorang diantara mereka diberi kabar gembira dengan dikaruniai rizqi berupa anak perempuan, maka merah padamlah wajahnya disertai kemarahan yang sangat. Terkadang ia bersembunyi dari khalayak karena malu yang disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Adakalanya, ia bersikap melampaui batas sampai-sampai ia tega menguburkan anak perempuan tersebut kedalam tanah hidup-hidup. 

Bersamaan dengan itu semua, mereka justru menisbatkan anak kepada Allah SWT,dan menyangka bahwa anak-anak tersebut adalah perempuan. Demikianlah khurafat tersebut tumbuh dan menyebar diakal orang-orang yang tidak disinari hidayah (petunjuk dari Allah SWT). Simaklah ayat berikut yang menceritakan khurfat ini disertai dialog bersama para pelaku khurafat tersebut. 

Allah SWT berfirman :
Artinya : “Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (Orang-orang kafir Mekah), “Apa anak perempuan itu untuk Rabb mu sedangkan untuk mereka anak laki-laki ? Atau apakah kami menciptakan Malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan (nya)? Ingatlah Sesungguhnya diantara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan, Allah mempunyai anak dan sungguh, mereka benar-benar pendusta Apakah Dia (Allah) memliki anak-anak perempuan dari pada anak-anak laki-laki ? Mengapa kamu tau ? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka mengapa kamu tidak memikirkan ? Ataukah kamu mempunyai bukti yang jelas.” (QS.Ash-Shafaat: 149-156).

Allah SWT telah menjadikan ucapan mereka ini sebagai persaksian yang dengannya mereka nanti akan dihisab. Padahal diantara dosa yang paling besar adalah berbicara atas Nama Allah tanpa dasar ilmu. Allah SWT berfirman : 

Artinya : “Dan mereka menjadikan para Malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apa mereka menyaksikan penciptaan (Malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungn (QS.Az-Zukhruf : 19).

Kedudukan Para Malaikat Di Sisi Allah (Iman Kepada Malaikat)

Sebaik-baik sifat yang diberikan kepada Malaikat adalah bahwa mereka hamba-hamba Allah, akan tetapi mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Telah kami sebutkan pengakuan orang-orang musyrik bahwa para Malaikat adalah anak-anak perempuan Allah merupakan pengakuan yang bathil tidak ada kebenarannya sama sekali. 

Allah Azza Wajalla telah mendustakan orang-orang yang berkata demikian dengan ucapan ini (yaitu bahwa para Malaikat adalah hamba-hamba Allah), dan Allah telah menjelaskan tentang hakikat Malaikat serta kedudukan mereka di banyak tempat pembahasan. Allah Ta’ala berfirman :
 
Artinya : “Dan mereka berkata, “ Rabb Yang Maha Pengasih telah menjadikan (Malaikat) sebagai anak.” Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para Malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (Malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafa‘at melainkan kepada orang-orang yang di Ridhai (Allah), dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Maka Ia akan kami beri balasan dengan Jahannam. Demikianlah kami memberikan balasan kepada siapa saja yang berbuat zhalim”. (QS. Al- Anbiyaa’: 26-29)

Malaikat adalah hamba yang disifati dengan seluruh sifat ‘Ubudiyah (penghambaan), mereka melakukan pelayanan, dan melaksanakan berbagai perkara yang diberitahukan. Ilmu Allah meliputi mereka. Mereka tidak mampu untuk melampaui perintah dan melanggar berbagai perkara yang diberitahukan mereka. Dan mereka senantiasa merasa takut kepada Allah. Seandainya dimungkinkan sebagian mereka melakukan tindakan melampaui batas, maka sungguh Allah akan meng-adzab mereka sebagai balasan atas pembangkangannya.

Diantara kesempurnaan penghambaan Malaikat adalah mereka tidak mendahului Allah dengan memberikan usulan dan mereka pun tidak menyanggah satu perintah pun dari sekian banyak perintah, melainkan mereka senantiasa menunaikan perintah-penintah-Nya dan bersegera memenuhi seruannya. Allah berfirman :

Artinya : “Mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”(QS. Al- Anbiyaa’: 27) 

Dan mereka, para Malaikat, tidak mengerjakan sesuatu pun selain yang di perintahkan Allah SWT kepada mereka. Perintah Allah lah yang menggerakkan mereka dan perintah Allah pula yang menghentikan mereka pula.

Inti Kandungan Iman Terhadap Malaikat

iman kepada malaikat, keutamaan iman kepada malaikat.
Iman pada Malaikat Allah SWT Mengandung Empat Perkara
1. Iman dengan keberadaan mereka para malaikat.

2. Iman kepada siapa yang telah kita ketahui namanya diantara mereka dengan namanya itu sendiri, seperti Jibril, sedangkan siapa yang belum kita ketahui namanya, maka kita beriman kepadanya secara global (masuk dalam iman pada keseluruhan Malaikat). 

3. Iman pada apa yang kita ketahui tentang keadaan mereka, seperti sifat Jibril yang Nabi telah mengabarkan bahwa beliau melihatnya, dengan bentuk asli penciptaanya dengan 600 sayap yang telah menutup ufuk. Kadang Malaikat berubah bentuk ke bentuk laki-laki sebagaimana yang terjadi pada Jibril. dalam hadits tentang pertanyaannya masalah iman dan islam yang telah diulas sebelumnya. 

4. Iman pada apa yang telah kita ketahui tentang amal perbuatan mereka dalam merealisasikan perintah-perintah Allah seperli bertasbih dan beribadah kepada Allah siang dan malam, karena sesungguhnya Malaikat tercipta dengan tabi’at-tabi’at menaati Allah SWT. Dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk bermaksiat. 

Allah berfirman :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakamya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan..” (QS. At-Tahrim: 6) 

Jadi, perbuatan mereka meninggalkan kemaksiatan dan melaksanakan ketaatan merupakan tabi’at penciptaan, Allah tidak membebani mereka sedikitpun mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) sebab mereka tidak mempunyai syahwat.

Tabir Wanita