Wednesday 7 September 2016

Prioritas Hak Mengasuh Anak Menurut Fikih Islam

mengasuh anak, cara mengasuh anak
Tanya : Siapakah yang lebih berhak mengasuh anak apabila sepasang suami istri bercerai dan menghasilkan anak dari perkawinannya. Apakah ibu atau ayah ? 

Jawab : Setiap pasangan tentu mengharapkan perkawinannya abadi, yang pertama sekaligus yang terakhir. Tetapi karena berbagai faktor, ikatan perkawinan dapat putus di tengah jalan akibat terjadinya perceraian atau kematian. Kalau perkawinan telah berlangsung cukup lama, dan menghasilkan keturunan, maka timbul permasalahan, siapakah yang lebih berhak mengurusnya antara ayah dan ibu. 

Sering terjadi kasus perebutan hak mengasuh anak pasca perceraian oleh kedua orang tua. Masing-masing merasa lebih berhak, layak dan mampu mengasuh anak. Keinginan untuk mengasuh anak tenu saja merupakan hal yang sangat positif. Hal ini menunjukkan rasa mahabbah mereka terhadap anaknya. Tetapi kalau tidak diatur, dikhawatirkan justru akan menimbulkan dampak kurang baik bagi anak. 

Oleh karena itu, masalah hak mengasuh anak pasca perceraian mendapat perhatian dari agama Islam, dan termasuk dalam paket hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah). Dalam kitab-kitab fikih, pemeliharaan anak ini disebut hadhanah, yang dibicarakan setelah perkawinan. 

Pemeliharaan anak atau hadhanah, sebagai dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu mandiri. 

Dalam menentukan siapa yang lebih berhak melakuk hadhanah, dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak yang mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan, minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberi batasan sampai umur 7 (tujuh) tahun. Pada tahap perkembangan ini (mumayyiz), orang tua diperintahkan menyuruh anaknya melakukan shalat supaya kelak setelah dewasa (mukallaf atau baligh) menjadi terbiasa dan terlatih.

Dalam KHI pasal 156, dijelaskan anak yang belum mumayyzz berhak mendapatkn hadhanah dari ibunya. Bila ibu meninggal, kedudukannya digantikan oleh: 1) perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu, 2) ayah, 3) perempuan-perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah, 4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, 5) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, 6) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 

Mengingat pengaruh pengasuh sangat besar terhadap jasmani dan rohani anak, maka KHI pasal 156, menegaskan, apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dari hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah. 

Secara lebih detail, kitab A1-Fiqh Al-Manhaji, II, 186-187 menerangkan, pemegang hadhanah harus memenuhi persyaratan, yaitu, 1) Beragama Islam bila mana anaknya muslim, 2) al-iffah dan al-amanah (tidak fasik), 3) tidak bepergian, 4) tidak bersuami lagi, 5) tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu pekerjaan hadhanah, seperti buta maupun tuli. 

Berdasarkan keterangan di atas, hak asuh ibu didahulukan atas ayah. Hal ini di samping bersandar pada dalil naqil juga didukung dalil aqli. Dalam satu hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan. Perempuan itu berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya, susuku yang dia minum, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku.” Mendengar pengaduan itu Rasulullah memberi keputusan seraya berkata, “Kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak menikah lagi.” (Al-Fiqh A1-Manhaji II, 182). 

Di samping hadis tersebut, ibu lebih berhak memelihara anak, dengan pertimbangan kasih sayang ibu (‘athifah al-umumah) pada umumnya lebih besar dari ayah. Hubungan batin ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan ASI dan hanya dimiliki ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai untuk melakukan tugas mengasuh dan merawat anak.

Apabila anak sudah mumayyiz maka dia berhak memilih ikut ayah dan ibunya. Setelah mumayyiz anak relatif lebih mandiri, dan ketergantungannya kepada ibu lebih berkurang. Pada saat yang sama, dia telah mampu membuat penilaian dan keputusan mengenai apa yang terbaik buat dirinya dalam batas-batas tertentu. Dia sudah bisa memilih mana yang lebih baik antara hidup bersama ayah dan ibu. Kelihatannya, hak memilih antara ayah dan ibu ini sederhana. Tetapi sebenarnya menjadi pendidikan demokrasi yang luar biasa. 

Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak di bawah pengasuhan ibu semua biaya hadhanah dan nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya (KHI pasal 156). Jadi tidak dibenarkan, apabila ayah secara tidak bertanggungjawab lepas tangan dalam urusan nafkah anak. Akibatnya semua biaya perawatan atau nafkah ditanggung oleh ibu.

0 komentar:

Post a Comment

Tabir Wanita