Thursday, 22 October 2015

Menghancurkn Berhala (Kisah Dalam Al-Quran)


Menghancurkn Berhala
QS. Maryam: 41.-50, A1-Anbiyaa’: 51-71

Setelah beranjak dewasa, orangtua Ibrahim membawa Ibrahim pulang ke kampung halamannya. Di kampung halamannya Ibrahim melihat banyak patung yang disembah oleh kaumnya. Ayahnya sendiri adalah seorang pembuat patung berhala. Ayahnya sangat bangga dengan pekerjaannya.

Setiap hari, dia melihat ayahnya membuat patung berhala. Lalu, patung-patung itu disembah oleh kaumnya sendiri. Ibrahim yang telah diberi petunjuk oleh Allah, tidak tinggal diam melihat kelakuan kaumnya itu.

Ketika ayahnya dan teman-temannya sedang membuat patung, Ibrahim menghampiri mereka.
“Hai Ibrahim, bantulah ayahmu membuat patung ini,” ucap salah seorang teman ayahnya.
“Sebelum membantu, aku ingin bertanya sesuatu kepada kalian,” ujar Ibrahim.
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya ayahnya.
“Apakah patung-patung ini akan kalian sembah?” Ibrahim balik bertanya.
“Tentu saja, sudah sejak zaman nenek moyang kita patung-patung ini menjadi sesembahan.”
“Kenapa kalian menyembah sesuatu yang dapat kalian buat. Sungguh, kalian berada dalam kesesatan. Patung itu tidak dapat mendengar, melihat, atau menolong kalian....”
Mereka berseru dengan marah, “Apa yang kamu katakan, Ibrahim? Kamu jangan mempermainkan kami!
“Tahukah kalian siapa yang seharusnya kalian sembah? Dialah Allah yang telah menciptakan alam semesta ini, mengatur langit dan bumi. Aku siap menjadi saksi atas kebenaran tersebut.”

Mendengar perkataan Ibrahim, mereka sangat marah. Beruntung Azar berhasil meredakan kemarahan mereka. Azar segera menyuruh Ibrahim pulang. Di rumah, Ibrahim melihat Ibunya melakukan sesuatu. “Apa yang sedang Ibu kerjakan?” tanyanya penasaran.

“Malam ini, kita akan melakukan persembahan kepada berhala,” jawab ibunda Ibrahim. Ibrahim pun tersenyum. Dia mendapat akal untuk menyadarkan kesalahan kaumnya.

Pada saat semua orang sedang sibuk mempersiapkan persembahan, Ibrahim menyelinap masuk ke dalam tempat penyimpanan berhala-berhala tersebut. Ibrahim membawa kapak milik ayahnya. Dia segera menghancurkan berhala-berhala yang ada di tempat tersebut. Namun, dibiarkannya salah satu patung yang paling besar. Ibrahim kemudian menggantungkan kapak tersebut di bahu si patung.

Setelah itu, Ibrahim langsung pulang ke rumahnya. Begitu kaumnya selesai menyiapkan sesembahan, mereka kaget melihat patung-patung yang sudah hancur. “Siapa yang berbuat seperti ini kepada Tuhan kita? Dia sudah berbuat aniaya!”

Kemudian, di antara mereka ada yang berkata, “Kami dengar ada seorang anak yang menghina dan mencela Tuhan kita, namanya Ibrahirn.” 

“Bawalah dia kemari agar kita mendengar pengakuannya,” sahut yang lain dengan nada marah.

Ibrahim dibawa ke hadapan mereka. Kemudian, mereka bertanya, “Apakah engkau yang telah melakukan semua mi terhadap Tuhan kami?” 

Ibrahim pun menjawab, “Bukan aku yang melakukannya, melainkan patung besar itu. Coba saja tanyakan kepadanya.” 

Mendengar perkataan Ibrahim, mereka menjadi bingung. Lalu, mereka berkata, “Bagaimana kita bisa bertanya kepadanya, bila ia tidak bisa menjawab kami?”

Kemudian Ibrahim menjawab, “Apakah kalian pantas menyembah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun kepada kalian?”

Walaupun perkataan Ibrahim benar, namun mereka tidak mau mendengarkan. Mereka meminta raja untuk menghukum mati Ibrahim.

Wednesday, 21 October 2015

Apa Hukum Puasa Saat Sakit ?

Tanya : Apakah orang sakit itu wajib tidak berpuasa? Misalnya, saya sakit cukup serius dan dokter menyarankan saya tidak berpuasa, lalu saya memaksakan diri berpuasa karena tidak ingin ketinggalan pahala puasa di bulan Ramadhan. Apa hukumnya puasa saya ini ? Haram, makruh atau apa?

Jawab :
Kewajiban melakukan ibadah berlaku bagi setiap mukallaf; yaitu muslim/muslimah yang telah dewasa (baligh) dan berakal sehat (‘aqil). Ketentuan ini berlaku umum dalam segala jenis ibadah.

Khusus untuk puasa Ramadhan, ditambahkan ketentuan lain, yaitu orang tersebut harus dalam keadaan suci dari haid atau nifas, dan memiliki kemampuan fisik (ithaqah) untuk menjalankan puasa.

Semua ketentuan tersebut dalam istilah fikih disebut sebagai syuruth al-wujub (syarat kewajiban). Apabila salah satu dari ketentuan-ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka ibadah itu tidak lagi bersifat wajib bagi yang bersangkutan.

Dalam kitab A-Fiqh Al-Islami dijelaskan beberapa hal yang bisa memperbolehkan seseorang untuk tidak berpuasa, di antaranya adalah sakit (al-maradh) berdasar pada firman Allah berikut ini:
Artinya: “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu Ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebànyak hari yang ditinggalkan, pada hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Dalam konteks pertanyaan ini, ayat tersebut kurang lebih berarti mereka yang sakit mendapatkan dispensasi (rukhshah) untuk tidak berpuasa, dengan catatan bahwa orang tersebut harus mengganti puasa yang ditinggalkannya pada kesempatan lain. Mekanisme ini dalam fikih dikenal sebagai qadha.

Masalahnya kemudian, sakit yang bagaimanakah yang bisa menyebabkan seseorang mendapatkan rukhshah?

Para ulama ahli fikih (fuqaha) memberikan batasan bahwa sakit ini adalah sakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu secara fisik untuk melakukan puasa. Pengertian ini mencakup sakit yang jika penderitanya melakukan puasa, maka penyakitnya akan bertambah parah atau paling tidak memperlambat masa penyembuhan.

Secara spesifik, kitab Al-Fiqh Al-Manhajy menyebutkan jika puasa mengakibatkan al-halak (kerusakan fungsi organ tubuh, cacat, atau meninggal) pada seseorang, maka wajib bagi orang tersebut untuk tidak berpuasa. Dus, puasa dalam kasus tersebut haram hukumnya. Tentu dibutuhkan pendapat dokter atau ahli kesehatan terpercaya untuk menentukan apakah puasa seseorang berbahaya bagi kesehatannya atau tidak.

Ketentuan di atas sesuai dengan kaidah fikih “al-dharurah tubihu al-mahdhurah” (keadaan darurat memperbolehkan sesuatu yang semestinya dilarang). Satu contoh, Rasulullah memperbolehkan seorang laki-laki memakai sutera (yang dalam keadaan normal haram) karena yang bersangkutan menderita penyakit kulit.

Kaidah ini berlaku karena salah satu tujuan pokok syariat (maqashid asy-syani’ah) adalah hifzh an-nafs (menjaga keselamatan diri), oleh karenanya orang dilarang menyakiti diri sendiri maupun orang lain.

Lain dari pada itu, salah satu ciri ajaran Islam adalah memberikan kemudahan terhadap umatnya.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:
Artinya: “Allah tidak pernah menjadikan dalam agama suatu kesulitan bagi kalian. “(QS. A1-Hajj: 78).

Syarat Sah Shalat Qasar Dan Jamak

Salat qasar artinya salat yang diringkaskan bilangan rakaatnya, yaitu di antara salat fardu yang lima; yang mestinya empat rakaat dijadikan dua rakaat saja. Salat lima waktu yang boleh diqasar hanya Lohor, Asar, dan lsya. Adapun Magrib dan Subuh tetap sebagaimana biasa, tidak boleh diqasar.

Hukum salat qasar dalarn mazhab Syafi’i harus (boleh), bahkan lebih baik bagi orang yang dalam perjalanan serta cukup syarat-syaratnya.
Firman Allah Swt.:
“Dan apabila kamu bepergian di muka buni, maka tidaklah mengapa kamu meng-qasar salat(mu). Jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (AN-NISA: 101)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Telah bercerita Ya’la bin Umar,. “Saya telah berkata kepada Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman (tidak takut lagi). Umar menjawab, Saya heran juga sebagaimana engkau maka saya tanyakan kepada Rasulullab Saw.. dan beliau menjawab ; “Salat qasar itu sedekah yang diberikan Allah keppada kamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberianNya) itu’.” (RIWAYAT MUSLIM)


Syarat Sah Salat Qasar

1. Perjalanan yang dilakukan itu bukan perjalanan maksiat (terlarang), seperti pergi haji, silaturahmi; atau berniaga, dan sebagainya. 

2. Perjalanan itu berjarak jauh, sekurang-kurangnya 80,640 km atau lebih (perjalanan sehari semalam).
Sabda Rasulullah Saw.:
“Seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian tidak diizinkan untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, kecuali bersama-sama mahramnya.” (RIWAYAT JAMA’AH AHLI HADIS, KECUAILI NASAI)


Sebagian ulama berpendapat, “Tidak hanya disyaratkan dalam perjalanan jauh, tetapi asal dalam perjalanan, jauh ataupun dekat’
Sabda Nabi :
“Dari Syu’bah. Ia berkata, “Saya telah bertanya kepada Anas tentang meng-qasar salat. Jawabnya, ‘Rasulullah Saw. apabila menempuh jarak perjalanan tiga mil (80,640 km) atau tiga farsakh (25,92 km) beliau salat dua rakaat” (RIWAYAT AHMAD, MUSLIM, DAN ABU DAWUD)


3. Salat yang diqasar itu ialah salat ada’an (tunai), bukan salat qada. Adapun salat yang ketinggalan di waktu dalam perjalanan, boleh diqasar kalau diqasar dalam perjalanan; tetapi yang ketinggai sewaktu mukim tidak boleh diqada dengan qasar sewaktu dalam perjalanan. 

4. Berniat qasar ketika takbiratul ihram.

Syarat Sah Mengikuti Imam (Tata Cara Makmum)

1. Makmum hendaklah berniat mengikuti imam. Adapun imam tidak disyaratkan berniat menjadi imam, hal itu hanyalah sunat, agar ia mendapat ganjaran berjamaah.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya segala amal itu hendaklah dengan niat.” (RIWAYAT BUKHARI)


(baca juga : Arti Dan hukum Masbuq)

2. Makmum hendaklah mengikuti imam dalam segala pekerjaannya. Maksudnya, makmum hendaklah membaca takbiratul ihram sesudah imamnya; begitu juga permulaan segala perbuatan makmum, hendaklah terkemudian dari yang dilakukan oleh imamnya
 Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya imam itu dijadikan pemimpin supaya diikuti perbuatannya. Apabila ia telah takbir, hendaklah kamu takbir; dan apabila ia rukuk, hendaklah kamu rukuk pula.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya imam itu gunanya supaya diikuti perbuatannya. Maka apabila Ia takbir, hendaklah karnu takbir, janganlah kamu takbir sebelum Ia takbir. Apabila ia rukuk hendaklah kamu rukuk, janganlah kamu rukuk sebelum ia rukuk. Apabila ia sujud, hendaklah kamu sujud, janganlah kamu sujud sebelum Ia sujud.” (RIWAYAT AHMAD DAN ABU DAWUD)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Abu Hurairah r.a. telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Apakah seseorang di antara kamu tidak takut apabila ia mengangkat kepalanya mendahului imam, Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala himar.” (RIWAYAT JAMA’AH AHLI HADIS)

“Dari Anas. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Telah bersabda, “Hai manusia sesungguhnya aku imam bagi kamu, maka janganlah kamu mendahului aku waktu rukuk, sujud, berdiri, duduk, dan salam.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)


3. Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam, umpamanya dari berdiri ke rukuk, dan rukuk ke i’tidal, dan i’tidal ke sujud, dan seterusnya baik dengan melihat imam sendiri, melihat saf (barisan) yang di belakang imam, maupun mendengar suara imam atau suara mubalignya.

4. Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat, umpamanya dalam satu rumah. Sebagian ulama berpendapat bahwa salat di satu tempat itu tidak menjadi syarat, tetapi hanya sunat, sebab yang perlu ialah mengetahui gerak-gerik perpindahan imam dari rukun ke rukun atau dan rukun ke sunat, dan sebaliknya, agar makmum dapat mengikuti gerak-gerik imamnya.

5. Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan daripada imam. Yang dimaksud di sini ialah lebih depan ke arah kiblat. Bagi orang yang salat sambil berdiri diukur tumitnya, dan bagi orang yang duduk diukur pinggulnya. Adapun apabila berjamaah di Masjidil Haram, hendaklah saf mereka melengkung sekeliling Ka’bah; di lain pihak, imam berhadapan dengan makmum.

Susunan makmum :
Kalau makmum hanya seorang, hendaklah Ia berdiri di sebelah kanan imam agak ke belakang sedikit; dan apabila datang orang lain, hendaklah ia berdiri di sebelah kiri imam. Sesudah takbir, imam hendaklah maju, atau kedua orang itu (makmum) mundur. 

Sabda nabi : “Dari Jabir. Ia berkata, “Saya telah salat mengikuti Nabi Saw Saya berdiri di sebelah kanan beliau, kemudian datang jabir bin Sakhrin berdiri di sebelah kiri beliau, maka beliau inenganbil tangan kami berdua sehingga beliau dirikan kami di belakang beliau.” (RIWAYAT MUSLIM)

Kalau jamaah itu terdiri atas beberapa saf, terdiri atas jamaah laki-laki dewasa, kanak-kanak, danperempuan, hendaklah diatur saf sebagai berikut: Di belakang imam ialah saf laki-laki dewasa, saf kanak-kanak, kemudian saf perempuan.
“Nabi Saw. pernah mengatur saf laki-laki dewasa di depan saf kanak-kanak dan saf perempuan di belakang saf kanak-kanak. (RIWAYAT MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Abu Hurairah telah menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Sebaik-baik saf laki-laki dewasa ialah saf yang pertama seburuk-buruknya (saf laki-laki dewasa) ialah saf yang di belakang sekali. Sebaik-baik saf perempuan ialah saf yang di belakang sekali, dan seburuk-buruknya ialah saf yang pertama.” (RIWAYAT MUSLIM )


Saf hendaklah lurus dan rapat, berarti jangan ada renggang antara satu orang dengan yang lain.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Anas, “Rasulullah Saw. menghadapkan muka kepada kami sebelum takbir. Beliau berkata, Rapatkanlah dan luruskanlah barisan kamu’.” (RIWAYAT MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abu Amamah. Rasulullah Saw. telah bersabda, “Penuhkan olehmu jarak yang kosong di antara kamu. Karena sesungguhnya setan dapat masuk di antara kamu sebagai anak kambing.” (RIWAYAT AHMAD)

6. imam hendaklah jangan mengikuti yang lain. Imam itu hendaklah berpendirian, tidak terpengaruh oleh yang lain. Kalau Ia makmum, tentu Ia akan mengikuti imamnya.

7. Aturan salat makmum dengan salat imam hendaklah sama. Artinya, tidak sah salat fardu yang lima mengikuti salat gerhana atau salat mayat karena aturan (cara) kedua salat itu tidak sama. Tetapi orang yang salat fardu tidak berhalangan mengikuti orang yang salat sunat yang sama aturannya, seperti orang salat Isya mengikuti orang salat tarawih, dan sebaliknya, karena aturan kedua salat tersebut sama.

8. Laki-laki tidak sah mengikuti perempuan. Berarti laki-laki tidak boleh menjadi makmum jika imamnya perempuan. Adapun perempuan yang menjadi imam bagi perempuan pula, tidak berhalangan.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Perempuan janganlah dijadikan imam, sedangkan makmumnya laki-laki.” (RIWAYAT IBNU MAJAH)

9. Keadaan imam tidak ummi, sedangkan makmum qari. Artinya imam itu hendaklah orang yang baik bacaannya. 

10. Makmum janganlah berimam kepada orang yang ia ketahui tidak sah (batal) salatnya. Misalnya mengikuti imam yang makmum ketahui bukan orang Islam, atau ia berhadas atau bernajis badan, pakaian, atau tempatnya. Imam seperti itu hukumnya tidak sah dalam salat.

Bayi Dalam Goa (Kisah Dalam Al-Quran)


Bayi Dalam Goa
QS. Al-An’am : 74-79

Terdengar suara tangis seorang bayi laki-laki. Suara tangisnya begitu kencang sehingga dapat membuat siapa saja yang mendengarnya iba. Namun, tidak ada seorang pun yang mendengar suara tangis bayi tersebut, karena ia berada di dalam sebuah gua yang terletak di dalam hutan. Bayi tersebut begitu kesepian di gua yang gelap itu.

Tiba-tiba, tangisan bayi itu terhenti. Rupanya ia kelelahan karena terlalu lama menangis. Kemudian, bayi itu tertidur pulas sambil mengisap jari-jarinya. Setelah hari itu, tidak terdengar lagi suara tangisnya. Yang ada hanya suara tawa bahagia. Bayi itulah yang bernama Ibrahim.

Ibrahim berada di dalam gua karena orangtuanya terpaksa membuang dirinya. Mereka tidak ingin bayinya itu dibunuh oleh tentara Raja Namruz. Raja Namruz mengeluarkan peraturan bahwa di negaranya tidak boleh ada keluarga yang merawat bayi laki-laki. Apabila lahir seorang bayi laki-laki, maka bayi itu harus dibunuh. Raja Namruz memernitahkan demikian karena dia merasa cemas bahwa suatu hari nanti akan ada seorang laki-laki dari bangsanya yang akan menghancurkan tahta kerajaannya.

Orang tua Ibrahim tidak mau melihat bayinya dibunuh. Oleh karena itu, keduanya terpaksa membuang Ibrahim ke dalam gua.

Semenjak itu, ibunda Ibrahim selalu memikirkan bayi laki-lakinya. Azar,suaminya,selalu berusaha menghiburistrinya.
“Kenapa wajahmu selalu murung?” tanya Azar begitu melihat istrinya merenung di dalam rumah. “Aku teringat anak kita, Ibrahim.”

“Jangan engkau cemaskan anak kita. Lebih baik nasibnya seperti itu daripada kita melihatnya dibunuh oleh tentara Raja Namruz.”

“Bagaimana kalau kita kembali ke dalam hutan untuk melihat keadaannya, Pak?” tanya
ibunda Ibrahim.

“Percuma saja, kemungkinan besar bayi kita sudah meninggal. Jangan membuat dirimu semakin
menderita, istriku.”

“Tapi... aku merasa bayi kita masih hidup, Pak!”

“Rasanya tidak mungkin Bu. Barangkali bayi kita sudah meninggal karena kelaparan atau dimakan binatang buas.

Mendengar perkataan suaminya, ibunda Ibrahim menangis tersedu-sedu. Ia membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi pada bayinya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Ibrahim masih hidup.

“Kita harus kembali ke dalam hutan,” ucapnya kemudian. Matanya membulat menunjukkan tekad yang kuat. Akhirnya, Azar mengikuti keinginan istrinya karena ia tidak tega melihat istrinya bersedih terus-menerus. Keesokan harinya, mereka berangkat pagi-pagi sekali menuju hutan.

“Itu ... guanya,” tunjuk ibunda Ibrahim. Mereka berdua segera menuju ke arah gua. Keadaan gua itu tampak sangat tenang. Matahari pagi bersinar menerobos pintu gua. Ibunda Ibrahim segera bergegas masuk ke dalamnya. Apa yang dilihatnya di dalam gua benar-benar menakjubkan! Bayinya sedang tertawa-tawa seperti sedang bercanda dengan seseorang.

“Bayikuuu....” jeritnya bahagia. Azar segera mengikuti sang istri. Dia pun tertegun melihat istrinya menggendong Ibrahim.
“Lihat . . .Ibrahim masih hidup.”... aku sungguh tidak percaya.” ini suatu keajaiban. Rupanya ada yang menjaga Ibrahim.”

“Ya ... tapi kita tidak dapat membawa Ibrahim pulang,” ucap Azar sambil mengelus kepala anaknya.

Kalau begitu, aku yang akan ke sini setiap hari,” ucap istrinya.

“Tapi ... bagaimana kalau orang lain curiga?”

“Aku akan berpura-pura mencari kayu bakar di hutan,” ucap istrinya penuh keyakinan.

“Baiklah ..,“ sahut Azar kemudian.

Sejak itu, setiap hari mereka menengok Ibrahim di dalam gua. Mereka datang pagi-pagi dan baru
pulang di sore hari. Mereka tetap merasa takjub menyadari Ibrahim dapat tinggal sendirian di dalam gua.

Mereka merahasiakan hal itu karena tidak berani membawa Ibrahim pulang ke kampung halamannya sebelum peraturan Raja Namruz dihapuskan.

Ibrahim pun tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu. Sewaktu dia mulai besar dan sudah mengerti sesuatu, dia bertanya kepada orangtuanya, “Wahai -
Ibu, Bapak, siapakah yang menjadikan aku?”

Orangtuanya menjawab, “Yang menjadikan engkau adalah kami, karena engkau lahir ke dunia ini disebabkan oleh kami.”

“Lalu, siapa yang menjadikan Ayah dan Bunda?” tanya Ibrahim ragu.

“Tentu saja kakek dan nenekmu, karena kami lahir disebabkan oleh mereka,” jawab ayahnya.

“Lalu, siapakah yang pertama-tama menjadikan kita semua?” tanyanya lagi. Orangtuanya tidak dapat menjawabnya karena mereka tidak mengenal Allah sebagai Sang Pencipta alam semesta.
Ibrahim selalu bertanya-tanya siapakah yang menciptakan alam semesta ini. Namun, tidak ada seorang pun yang dapat menunjukkan dan mengajarkan kebenaran kepadanya.

Pada malam hari, Ibrahim sering melihat bintang-bintang, lalu dia berkata, “Inikah Tuhanku?” Kemudian, dia melihat bintang-bintang itu menghilang di balik awan hitam. Lalu, dia berkata lagi, “Aku tidak akan menyembah kepada sesuatu yang tidak kekal.”

Sesudah itu, dia melihat bulan purnama yang bersinar cemerlang. “Inikah Tuhanku?” Namun, beberapa saat kemudian. bulan purnama itu lenyap. “Kalau Tuhanku tidak selalu dapat memberiku petunjuk, tentu aku akan tersesat.”

Pada waktu siang, Ibrahim melihat matahari yang lebih besar dan lebih bercahaya dibanding semua yang pernah dia lihat sebelumnya. “Oh, mungkin inilah Tuhanku yang sebenarnya karena ia paling besar.” Tetapi kemudian, matahari itu terbenam. Ibrahim pun berkata, “Aku tidak akan bertuhan kepada matahari yang dapat terbenam.”

“Aku hanya akan menyembah kepada sesuatu yang menjadikan langit dan bumi dengan sebenarnya. Dan aku tidak akan pernah menduakan-Nya.”

Asmaul Husna - Al Muhaimin

Al Muhaimin artinya Yang Maha Memelihara. Semua makhluk di alam ini diciptakan Allah. Dia yang melindungi dan menjaganya. Dia mengurus sendiri semua makhluk-Nya. Da tidak akan membiarkan makhluk-Nya terlantar.

Allah menyayangi manusia dan tidak ingin manusia tersesat, maka dari itulah Allah memberi petunjuk melalui Al Qur’an.

Firman Allah SWT :
“Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dan apa yang mereka persekutukan.” (QS 59:23)


Kata Al Muhaimin berasal dan kata haimana yuhaiminu yang berarti memelihara, menjaga, mengawasi atau menjadi saksi (yang membenarkan atau menyalahkan.)

Al Muhaimin yang merujuk kepada sifat Allah (QS 59: 23) berarti bahwa hanya Allah yang memelihara dan menjaga seluruh makhluknya baik dari segi keselamatannya, keamanan, dan kesejahteraannya. Salah satu hikmah penyebutan Al Muhaimin di belakang As Salam dan Al Mu’min adalah bahwa Allah yang memelihara kesejahteraan (salam) dan ketenangan hati (amin) dan seluruh hamba-Nya.

Pemeliharaan dan pengawasan Allah itu begitu luas cakupannya, karena banyaknya yang diawasi dan luasnya jagad raya ini sehingga tidak ada satu makhlukpun yang dapat menandingi. Apalagi menandingi kemampuan Allah dalam memelihara dan mengawasi, membayangkan kemampuan Allah untuk melakukan pemeliharaan dan pengawasan saja tidak ada yang bisa. Akal manusia terlalu lemah untuk dapat membayangkannya. Begitu pula indera mereka hanya memiliki kemampuan yang sangat terbatas. Hanya mampu melihat yang lahir saja. Manusia tidak bisa melihat apa yang tersembunyi di kegelapan malam. Sedang bagi Allah sebutir biji yang jatuh dalam kegelapanpun dilihat-Nya (QS Al- An’am/6: 59).

Begitupun indera yang lain hanya mampu menjangkau segala sesuatu yang bersifat lahiriyah saja sedang apa yang tersembunyi di dalam hati tidak bisa dilihatnya. Sedang Allah menyaksikan sekaligus yang lahir dan apa yang dibisikkan oleh hati manusia. Bahkan apa yang disembunyikan oleh hati manusiapun diketahui Allah. Pengawasan manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Apa yang ada di balik tembok tidak bisa dilihatnya. Begitu pula apa yang sudah terjadi di masa lampau dan apa yang akan terjadi di masa mendatang tidak bisa diketahuinya sekarang. Allah sangat jauh dari kelemahan seperti itu. Allah SWT menyaksikan sekaligus semua makhluknya di mana saja mereka berada di seluruh jagad raya ini secara silmultan. Bahkan Allah menjangkau semua penglihatan, tetapi tidak ada penglihatan manusia yang dapat menjangkaunya (QS Al- An’am/6: 103).

Al-Muhaimin Artinya Allah yang maha menjaga. Alam semesta beserta isinya ada yang memelihara dan menjaga. Bumi selalu berputar mengelilingi matahari. Allah SWT telah menetapkan bumi, bintang, planet-planet lainnya berputar pada porosnya. Sehingga, terjadi keseimbangan antara benda-benda raksasa tersebut satu dengan yang lainnya. Yang menjaga keseimbangn alam semesta hanyalah Allah SWT.

Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Anbiyah ayat 33.
Artinya: “dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS:Al-Anbiyah :21:33)

Seluruh alam terhampar dalam angkasa raya yang sangat luas, yang tak seorang pun mengetahuinya batas-batas kekuasanya kecuali sang pencipta. Demikian pulah dengan tubuh atau jasad manusia. Manusia dapat hidup, bergerak, berfikir, memiliki tenaga, kekuatan, dan ksehatan. Itu semua nikmat dari Allah SWT yang maha menjaga.

Kisah Teladan Nabi

UNTA RAKSASA PELINDUNG RASULULLAH

Allah SWT Maha Memelihara, terutama pada hamba-Nya yang bertakwa. Nabi Muhammad SAW adalah salah atu Nabi kekasih Allah SWT. Saat itu, Nabi Muhammad SAW dimusuhi oleh Abu Jahal dan kaum musyrikin Quraisy. Karena mereka tak suka dengan dakwah Nabi Muhammad SAW yang mengajak kepada kebenaran.

Setiap subuh, Nabi Muhammad SAW biasa melaksanakan salat Subuh di depan Ka’bah, “Aku akan menjatuhkan batu besar ke atas kepala Muhammad SAW saat dia sedang sujud,” kata Abu Jahal sambil bersiap-siap menjatuhkan sebuah batu besar. Namun tiba-tiba datang seekor unta raksasa mau menerkam Abu Jahal. Tentu saja Abu Jahal berlari ketakutan. Akhirnya, ia pun gagal melaksanakan niatnya untuk membunuh Nabi Muhammad SAW.

Tuesday, 20 October 2015

Apa Hukum Terburu-Buru Berbuka Puasa ?

Tanya : Suatu ketika saya menyetir mobil keluar kota. Di tengah perjalanan saya mendengar suara adzan. Kebetulan saya tidak membawa arloji, sedangkan cuaca mendung. Sambil menyetir saya langsung berbuka dengan minum air mineral. Beberapa menit kemudian, saya sampai di tujuan. Ternyata bedug Maghrib baru ditabuh. Rupanya suara adzan yang saya dengar dari siaran radio daerah lain. Lantas bagaimana dengan puasa saya? (Usman Chan Buduran, Sidoarjo)

Jawab :
Dari segi pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua : muthlaqah dan muqayyadah. Ibadah muthlaqah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak diatur. Seperti sedekah, tidak ditentukan kapan, kepada siapa, dan jumlahnya berapa. Ibadah muqayyadah merupakan kebalikan dari muthlaqah. Jenis ibadah muqayyadah, ditentukan siapa pelakunya, kapan waktunya, dan apa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.

Puasa temasul jenis ibadah muqayyadah. Misalnya dari segi waktu pelaksanaan, puasa terbatas pada bulan Ramadhan, sejak fajar terbit sampai matahari terbenam, tidak lebih tidak kurang. Bahwa waktu puasa sehari penuh, ditegaskan Allah dalam Al Quran:
Artinya: “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudia sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. A1-Baqarah: 187)

Dalam berpuasa memang dianjurkan untuk mempercepat berbuka (tajil al-fithr) dan mengakhirkan sahur (ta’khir as-sahur). Tetapi harap diingat, anjuran mempercepat berbuka itu berlaku apabila sudah diperoleh keyakinan matahari telah terbenam. Jadi, jika sifatnya masih dugaan atau ragu-ragu, jangan cepat-cepat berbuka.

Kedudukan waktu dalam ibadah puasa penting sekali sehingga menuntut perhatian yang serius dari shaim (orang yang berpuasa) untuk mengetahuinya. Puasa yang tidak dimulai sejak fajar atau sudah diakhiri sebelum Maghrib tidak sah.

Waktu ibadah harus sesuai dengan kenyataan, tidak cukup hanya berdasarkan keyakinan atau dugaan semata. Misalnya, kalau seseorang dengan cara atau metode tertentu telah menyakini atau menduga dengan kuat waktu Zhuhur telah tiba, lalu mengerjakan shalat, tetapi dalam kenyataannya waktu Zhuhur belum tiba, maka shalatnya harus diulangi lagi. Ini mengikuti kaidah fiqih: “la ibrah biazh-zhann ai-bayyin khatha uhu” tidak ada pembenaran bagi dugaan yang terbukti salah.

Shalat Zhuhur tersebut tidak dianggap cukup sebagai pemenuhan kewajiban, karena ia didirikan di atas dugaan yang kemudian terbukti salah. Sedangkan dugaan semacam itu tidak mempunyai tempat dalam sistem hukum Islam.

Demikian halnya dengan puasa. Puasa yang disudahi berdasarkan dugaan bahwa waktu buka telah tiba (sebagaimana umumnya jika terdengar suara adzan dari radio), dan kemudian ternyata dugaan itu berlawanan dengan kenyataan maka puasanya harus dianggap batal sebelum waktunya.

Meskipun tentu saja ketidak tahuan itu membebaskan Anda dari dosa membatalkan puasa, tetapi hal yang sama tidak membebaskan Anda dari kewajiban qadha’. Anda wajib mengganti puasa yang batal ini nanti setelah Ramadhan berakhir.

Arti Dan Hukum Masbuq

Masbuq ialah orang yang mengikut kemudian, Ia tidak sempat membaca Fatihah beserta imam di rakaat pertama.

Hukumnya yaitu: Jika ia takbir sewaktu imam belum rukuk, hendaklah Ia membaca Fátihah sedapat mungkin. Apabila imam rukuk sebelum habis Fatihah-nya, hendaklah Ia rukuk pula mengikuti imam. Atau didapatinya imam sedang rukuk, hendaklah Ia rukuk pula. Ringkasnya, hendaklah Ia mengikuti bagaimana keadaan imam sesudah ia takbiratul ihram. (baca juga : Syarat Sah Mengikuti Imam)

Apabila masbuq mendapati imam sebelum rukuk atau sedang rukuk dan Ia dapat rukuk yang sempurna bersama imam, maka ia mendapat satu rakaat; berarti salatnya itu terhitung satu rakaat. Kemudian hendaklah kekurangan rakaatnya ditambah jika belum cukup, yaitu sesudah imam memberi salam.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Apabi1a seseorang di antara kamu datang untuk salat sewaktu kami sujud, hendaklah kamu sujud, dan janganlah kamu hitung itu satu rakaat; dan barang siapa yang mendapati rukuk beserta imam, maka ia telah mendapat satu rakaat.” (RIWAYAT ABU DAWUD)

Adapun Fatihah-nya ditanggung oleh imam, ini adalah pendapat jumhurul ‘ulama. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa masbuq tidak mendapat satu rakaat kecuali apabila Ia dapat membaca Fatihah sebelum imam rukuk. Mereka beralasan dengan hadis berikut.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Bagaimana keadaan imam ketika kamu dapati, hendaklah kamu ikuti; dan apa yang ketinggalan olehmu, hendaklah kamu sempurnakan.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Orang yang lebih berhak menjadi imam ialah orang yang disebutkan dalam hadis berikut.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Uqbah bin Amr, “Rasulullah Saw. telah berkata, ‘Yang menjadi imam di antara kamu ialah mereka yang terbaik bacaannya. Kalau mereka sama bacaannya, maka yang terpandai dalam sunnah; kalau kepandaian mereka sama dalam sunnah, dilihat yang lebih dulu berhijrah (ke Madinah); kalau bersamaan pula, dilihat yang lebih tua. Janganlah diimamkan seseorang di tempat kekuasaan laki-laki lain (artinya tuan rumah lebih berhak menjadi imam), dan janganlah seseorang duduk di rumah orang lain di atas tikarnya kecuali dengan izin tuan rumah itu’.” (RIWAYAT AHMAD DAN MUSLIM)

Imam yang dibenci
Apabila seseorang menjadi imam masjid, langgar, atau tempat-tempat berjamaah yang lain, tetapi kaum (orang banyak) yang berjamaah di situ benci kepadanya, sedangkan kebencian mereka kepadanya disebabkan oleh keagamaan, maka hukum imam yang seperti itu menurut sebagian ulama haram, sebagian lagi berpendapat makruh. Dengan adanya kebencian itu mereka tentu akan menjauhkan diri darinya dan salat berjamaah di situ akan berkurang, ataupun mungkin juga menimbulkan fitnah yang tidak diinginkan oleh agama Islam.
Sabda Rasulullah Saw.:
“Dari Abdulllah bin Umar,; “Rosulullah Saw. Telah berkata, Allah tidak menerima salat orang yang menjadi imam di antara satu kaum, sedangkan mereka benci kepadanyu.” (RIWAYAT ABU DAWUD DAN IBNU MAJAH).

Tabir Wanita