Tanya : Suatu ketika saya menyetir mobil keluar kota. Di tengah perjalanan saya mendengar suara adzan. Kebetulan saya tidak membawa arloji, sedangkan cuaca mendung. Sambil menyetir saya langsung berbuka dengan minum air mineral. Beberapa menit kemudian, saya sampai di tujuan. Ternyata bedug Maghrib baru ditabuh. Rupanya suara adzan yang saya dengar dari siaran radio daerah lain. Lantas bagaimana dengan puasa saya? (Usman Chan Buduran, Sidoarjo)
Jawab : Dari segi pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua : muthlaqah dan muqayyadah. Ibadah muthlaqah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak diatur. Seperti sedekah, tidak ditentukan kapan, kepada siapa, dan jumlahnya berapa. Ibadah muqayyadah merupakan kebalikan dari muthlaqah. Jenis ibadah muqayyadah, ditentukan siapa pelakunya, kapan waktunya, dan apa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.
Puasa temasul jenis ibadah muqayyadah. Misalnya dari segi waktu pelaksanaan, puasa terbatas pada bulan Ramadhan, sejak fajar terbit sampai matahari terbenam, tidak lebih tidak kurang. Bahwa waktu puasa sehari penuh, ditegaskan Allah dalam Al Quran:
Artinya: “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudia sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. A1-Baqarah: 187)
Dalam berpuasa memang dianjurkan untuk mempercepat berbuka (tajil al-fithr) dan mengakhirkan sahur (ta’khir as-sahur). Tetapi harap diingat, anjuran mempercepat berbuka itu berlaku apabila sudah diperoleh keyakinan matahari telah terbenam. Jadi, jika sifatnya masih dugaan atau ragu-ragu, jangan cepat-cepat berbuka.
Kedudukan waktu dalam ibadah puasa penting sekali sehingga menuntut perhatian yang serius dari shaim (orang yang berpuasa) untuk mengetahuinya. Puasa yang tidak dimulai sejak fajar atau sudah diakhiri sebelum Maghrib tidak sah.
Waktu ibadah harus sesuai dengan kenyataan, tidak cukup hanya berdasarkan keyakinan atau dugaan semata. Misalnya, kalau seseorang dengan cara atau metode tertentu telah menyakini atau menduga dengan kuat waktu Zhuhur telah tiba, lalu mengerjakan shalat, tetapi dalam kenyataannya waktu Zhuhur belum tiba, maka shalatnya harus diulangi lagi. Ini mengikuti kaidah fiqih: “la ibrah biazh-zhann ai-bayyin khatha uhu” tidak ada pembenaran bagi dugaan yang terbukti salah.
Shalat Zhuhur tersebut tidak dianggap cukup sebagai pemenuhan kewajiban, karena ia didirikan di atas dugaan yang kemudian terbukti salah. Sedangkan dugaan semacam itu tidak mempunyai tempat dalam sistem hukum Islam.
Demikian halnya dengan puasa. Puasa yang disudahi berdasarkan dugaan bahwa waktu buka telah tiba (sebagaimana umumnya jika terdengar suara adzan dari radio), dan kemudian ternyata dugaan itu berlawanan dengan kenyataan maka puasanya harus dianggap batal sebelum waktunya.
Meskipun tentu saja ketidak tahuan itu membebaskan Anda dari dosa membatalkan puasa, tetapi hal yang sama tidak membebaskan Anda dari kewajiban qadha’. Anda wajib mengganti puasa yang batal ini nanti setelah Ramadhan berakhir.
Jawab : Dari segi pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua : muthlaqah dan muqayyadah. Ibadah muthlaqah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak diatur. Seperti sedekah, tidak ditentukan kapan, kepada siapa, dan jumlahnya berapa. Ibadah muqayyadah merupakan kebalikan dari muthlaqah. Jenis ibadah muqayyadah, ditentukan siapa pelakunya, kapan waktunya, dan apa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.
Puasa temasul jenis ibadah muqayyadah. Misalnya dari segi waktu pelaksanaan, puasa terbatas pada bulan Ramadhan, sejak fajar terbit sampai matahari terbenam, tidak lebih tidak kurang. Bahwa waktu puasa sehari penuh, ditegaskan Allah dalam Al Quran:
Artinya: “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudia sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. A1-Baqarah: 187)
Dalam berpuasa memang dianjurkan untuk mempercepat berbuka (tajil al-fithr) dan mengakhirkan sahur (ta’khir as-sahur). Tetapi harap diingat, anjuran mempercepat berbuka itu berlaku apabila sudah diperoleh keyakinan matahari telah terbenam. Jadi, jika sifatnya masih dugaan atau ragu-ragu, jangan cepat-cepat berbuka.
Kedudukan waktu dalam ibadah puasa penting sekali sehingga menuntut perhatian yang serius dari shaim (orang yang berpuasa) untuk mengetahuinya. Puasa yang tidak dimulai sejak fajar atau sudah diakhiri sebelum Maghrib tidak sah.
Waktu ibadah harus sesuai dengan kenyataan, tidak cukup hanya berdasarkan keyakinan atau dugaan semata. Misalnya, kalau seseorang dengan cara atau metode tertentu telah menyakini atau menduga dengan kuat waktu Zhuhur telah tiba, lalu mengerjakan shalat, tetapi dalam kenyataannya waktu Zhuhur belum tiba, maka shalatnya harus diulangi lagi. Ini mengikuti kaidah fiqih: “la ibrah biazh-zhann ai-bayyin khatha uhu” tidak ada pembenaran bagi dugaan yang terbukti salah.
Shalat Zhuhur tersebut tidak dianggap cukup sebagai pemenuhan kewajiban, karena ia didirikan di atas dugaan yang kemudian terbukti salah. Sedangkan dugaan semacam itu tidak mempunyai tempat dalam sistem hukum Islam.
Demikian halnya dengan puasa. Puasa yang disudahi berdasarkan dugaan bahwa waktu buka telah tiba (sebagaimana umumnya jika terdengar suara adzan dari radio), dan kemudian ternyata dugaan itu berlawanan dengan kenyataan maka puasanya harus dianggap batal sebelum waktunya.
Meskipun tentu saja ketidak tahuan itu membebaskan Anda dari dosa membatalkan puasa, tetapi hal yang sama tidak membebaskan Anda dari kewajiban qadha’. Anda wajib mengganti puasa yang batal ini nanti setelah Ramadhan berakhir.