Tuesday 6 October 2015

Apa Hukum Melamar Kekasih Orang Lain ?

Sebut saja mpok Ulfa, yang sudah cukup lama manjalin asmara dengan Akang Rahmat. Namun apa boleh buat, ternyata perjalanan cinta mereka tidak sesuai dengan yang mereka idamkan. Sebab mpok Ulfa yang selama ini dikenal seorang gadis yang setia, tanpa sepengetahuan akang Rahmat, ia telah menerima cinta, bahkan lamaran lelaki lain yang bernama bang Abidin. Padahal sebulan sebelumnya, mereka telah mengikat janji “Setia sehidup semati”, bahkan jika cinta mereka tidak disetujui pihak keluarga, mereka siap minggat dari rumah.
 
Pertanyaan :
a. Apa hukum melamar pacar orang lain?
b. Apakah ucapan “Janji suci ingin menikah” yang diucapkan dua sejoli termasuk pinangan (khitbah)?
 
Jawab :
a. Hukumnya boleh-boleh saja, jika ia belum bertunangan.
b. Diperinci : jika si perempuan masih gadis (bikr), maka belum dikategorikan tunangan, kecuali jika wali si perempuan merestuinva. Namun jika berstatus janda, maka sudah termasuk pinangan. karena seorang janda tidak membutuhkan izin dari sang wali sebagaimana dalam nikah.
 
Referensi :

 

Monday 5 October 2015

Apa Hukum Meninggagalkan Tunangan Dengan Alasan Tidak Jelas ?

Sungguh malang nasib bang Rowi yang telah lama bertunangan dengan sang pujaan hatinva. Dia harus merana, karena tunangannya dibatalkan oleh pihak perempuan dengan alasan yang tidak jelas. Padahal dia sangat mencintainya dengan sepenuh hati. Bagaimana hukum membatalkan tunangan sebagaimana kasus di atas?

Jawab : Hukum makruh.

Referensi :

 

Sunday 4 October 2015

Hukum Memboking Calon Istri - Fikih Islam

Zaman sekarang bisa kita katakan zamannya “wong edan” tidak berlebihan. Bagaimana tidak, dulu seorang cowok memboking cewek diangap hal yang tabu. Sementara sekarang, hal tersebut menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Lihat saja, karena merasa sudah menjadi tunangannya, sang cowok dengan terang-terangan memboking ceweknya kesana-kemari bak menawarkan barang dagangan. Mereka beranggapan bahwa dengan tunangan, maka sang cewek sudah menjadi miliknya, yang lain harus minggir dan tidak boleh macam-macam. Apakah yang demikian diperbolehkan menurut syariat.

Jawab: Tidak diperbolehkan.

Referensi :



Monday 21 September 2015

Apa Hukum Jika Suami Minta “Dilayani” Di Saat Puasa

Tanya : Pada saat saya sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, suami minta “dilayani’ Sesuai dengan anjuran suami, sebelum melayaninya saya berbuka dulu. Pertanyaan saya, dengan berbuka itu apakah saya masih berkewajiban kafarat? Dan ketentuan membayar kafarat itu bagaimana?

Jawab : Terlepas dan permasalahan berbuka puasa dahulu atau tidak, secara umum kewajiban membayar kafarat berkenaan dengan kasus yang saudari tanyakan, sebenarnya hanya berlaku pada pihak suami, bukan pihak istri atau objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha). (baca juga : hukum puasa dalam keadaan junub)

Selanjutnya, jika ada rekayasa seperti yang saudari gambarkan semestinya hal tersebut tidak berpengaruh pada istri lebih-lebih pada suami.

Dengan kata lain, suami masih tetap berkewajiban membayar kafarat, denda, meski istri sudah membatalkan puasa sebelum senggama dilakukan.

Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku bila suami tidak berbuka puasa terlebih dahulu. Karena ketika suami melakukan tindakan sejenis yang dilakukan oleh istri (berbuka puasa), berarti secara syariat dia terlepas dan tuntutan pembayaran kafarat.

Hanya saja, terdapat satu kewajiban lain yang memang tidak bisa ditawar lagi, yaitu meng-qadha jumlah hitungan puasa yang batal tersebut.(baca juga : puasa bagi pengantin baru)

Sebenarnya cara itu bukanlah sebuah alternatif yang kemudian praktis terlepas dari semua tuntutan dan celaah syariat, karena secara esensial terhadap kasus sejenis itu, suami maupun istri telah melanggar perintah Allah, melakukan tindakan yang tidak mendapatkan tempat terhormat di sisi Sang Pencipta (durhaka atas perintah Allah).

Adapun mengenai kewajiban membayar kafarat sehubungan dengan permasalahan itu, dalam kitab Kasyifatu As-saja diterangkan lebih rinci dan mendetail, lengkap dengan berbagai ketentuan-ketentuannya.

Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, persetubuhan dilakukan dalam kondisi sadar dan memang atas kehendak sendiri, tidak terdapat unsur paksaan yang jika tidak dipenuhi paling tidak akan mengancam keselamatan fisik, dan atau apa saja yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.

Selain itu persetubuhan tersebut merupakan bagian dari jenis-jenis yang membatalkan puasa bagi suami (tidak berstatus musafir atau pihak-pihak lain yang mendapatkan dispensasi). Selanjutnya bentuk persetubuhan yang menuntut adanya kewajiban membayar kafarat, juga dipersyaratkan tidak terdapat faktor lain, yaitu akibat terjadinya syubhat (ketidak jelasan) dalam hal waktunya.

Dalam arti, seseorang benar-benar yakin bahwa persetubuhan tersebut dilakukan di dalam waktu wajib imsak (waktu untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Yakni, rentang waktu yang membentang antara terbit fajar hingga terbenam matahari.

Ketentuan tersebut juga melahirkan pengertian lain; ketika seseorang melakukan persetubuhan, sernentara ia merniliki dugaan kuat bahwa waktu tersebut belum melewati terbit fajar (batas awal melakukan puasa), atau berprasangka bahwa matahari telah terbenam (batas akhir puasa), maka kewajihan membayar kafarat menjadi gugur.

Ketentuan membayar kafarat tersebut secara global berlaku tidak mengenal diferensiasi ketika persetubuhan itu dilakukan melalui jalan yang wajar (lewat alat kelamin), terhadap jenis hewan atau dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia sekalipun

Selanjutnya, bentuk kafarat yang dimaksudkan dalam kasus tersebut, sebagaimana statemen tertulis Zakariya Al-Anshari dalam kitab Matan Tahrir, secara sederhana dapat dilaksanakan berdasarkan tiga macam alternatif, yang masing-masing dapat menjadi pengganti kedudukan lainnya secara berututan jika memang alternatif yang ditetapkan sebelumnya tidak ditemukan.

Pertama, membebaskan budak wanita yang beragama Islam, dan terlepas dari segala bentuk cacat yang paling tidak dapat mengganggu aktivitas kerjanya. Kedua, berpuasa dua bulan secara beruntun. Dan yang terakhir, memberi makan terhadap 60 orang miskin, yang setiap orang, masing-masing diberi satu mud (kurang lebih 6 ons) dari makanan pokok yang herlaku pada daerah setempat.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apa Hukum Istri Menyuruh Suami Ke Lokalisasi ?

Tanya : Seorang istri menolak melayani suaminya, bahkan menyuruh suaminya pergi ke lokalisasi guna menyalurkan kebutuhan biologisnya, seraya mengatakan dialah yang akan menanggung dosanya. Apakah tindakan itu dapat dibenarkan?

Jawab : Manusia selama hidupnya tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban. Manusia memiliki hak dan kewajiban, karena dia mempunyai apa yang oleh ulama ushul fikth (metodologi fikih) disebut ahhyah, yang berarti terdiri atas ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada.

Adapun yang pertama, menjadikannya layak dan pantas mendapatkan hak dan terbebani hak. Kedua, memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang darinya lahir hak-hak dan kewajiban baru, sekaligus menjadikan ibadah dan muamalahnya dianggap sah menurut ukuran syara serta dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Hak dan kewajiban senantiasa mengalami perkembangan dan perluasan, seiring dengan bertambahnya usia sebagai tolak ukur sederhana bagi perkembangan intelektualitas manusia dan perubahan status sosial yang disandangnya.

Hak dan kewajiban anak kecil tentu berbeda dari orang dewasa. Ukuran-ukuran kepatuhan dan standar moral keduanya pun tidak sama. Demikian pula jejaka dan gadis, hak dan kewajibannya ketika masih berstatus legan (belum kawin) akan mengalami perubahan dan perluasan, ketika keduanya mengikatkan diri dalam tali perkawinan, yang herarti pula menyandang status baru sebagai suamii-istri.

Dengan kata lain, perkawinan melahirkan hak dan kewajib yang semula tidak dimiliki keduanya. Hak dan kewajiban itu bagai dua sisi mata uang. Hak yang kita miliki adalah kewajiban orang lain. Sebaliknya, kewajiban yang dibebankan kepada kita, pada dasarnya adalah hak orang lain. 

Karena itu dengan melaksanakan kewajiban, secara tidak langsung kita telah memenuhi hak orang yang memilikinya. Begitu juga suami istri, hak yang satu adalah kewajiban yang lain, dan sebaliknya.

Mengingat kebahagiaan rumah tangga dan keluarga itu berkaitan erat dengan sejauh mana masing-masing memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang, ikhlas, dan bertanggungjawab, maka pemahaman dan pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah penting sebagai langkah awal ke arah pengalaman.

Salah satu hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan nafkah, yang meliputi aspek sandang, pangan, dan papan, yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku.

Kelayakan dan kepatuhan dalam masalah nafkah, berpijak pada kriteria al-ma’ruf dan istishad atau i’tidal (baik atau bagus dan pertengahan).

Suami terbebani mencari nafkah, karena potensi fisiknya serta kelebihan-kelebihan lain yang membuatnya lebih mampu mengerjakan tugas tersebut. Kewajiban itu diimbangi dengan kewajiban taat pada istrinya atas masalah yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Manusia dibekali oleh Allah nafsu biologis dan organ-organ untuk berkembang biak. Karena itu Ibnu Al-Qayyim berpendapat, tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan, mengeluarkan cairan yang bila ditahan bisa berdampak negatif untuk badan, dan mendapatkan kenikmatan.

Seperti dimaklumi, ketiganya tidak lepas dari masalah istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis). Tersalurnya kebutuhan s*ksual lebih memungkinkan seseorang membebaskan diri dari perzinaan.


Jika memang demikian kenyataannya, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah, bagaimana kedudukan istimta’ dalam hubungan suami istri itu?

Jawaban dan pertanyaan tersebut, akan mengantarkan kita pada permasalahan benar-tidaknya penolakan istri melayani suaminya.

Para ulama sepakat bahwa dengan adanya pernikahan, istri halal untuk suaminya, dan suaminya halal untuk istrinya. Mereka juga sepakat, istri berkewajiban menuruti ajakan suaminya sewaktu-waktu dia menghendaki, kecuali jika ada faktor berupa haid atau nifas, dan lain-lain, karena istimta’ menjadi hak suami.

Dalam hal itu mereka berangkat dari sebuah hadis sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Jika ada salah satu dari kalian mengajak istrinya bersetubuh lantas menolak, dan karenanya dia memarahinya malam itu, maka malaikat melaknati istrinya hingga fajar tiba.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Pelayanan itu sebenarnya ketaatan yang diwajibkan atas istri kepada suaminya. Karenanya, penolakan istri atas ajakan suaminya tidak bisa dibenarkan. Apalagi menyuruh suami ke lokalisasi.

Istri yang ideal sebaiknya memotifasi dan membantu suami mencapai kesempurnaan iman dan takwa. Dengan dalih bahwa dia akan menanggung dosanya juga salah besar. Sebab, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatan masing-masing. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, 286, Allah berfirman:
Artinya: “Baginya (pahala) kebajikan yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya.“(QS. Al-Baqarah: 286)

Kalau istimta‘ adalah hak suami, apakah itu juga merupakan kewajiban atasnya yang harus dipenuhi sebagai hak istrinya ?

Para ulama berpendapat, suami tidak wajib menyetubuhi istrinya. Sebagai hak, dia boleh melakukan dan meninggalkan. Toh demikian, seperti termaktub dalam Ensikiopedi Fiqh, Mausu’ A1-Fiqh Al-Islami, ulama Madzhab Syafi’i yang menganggap istilah semata-mata hak suami mengatakan, hal itu sunah bagi suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya ketika membutuhkan.

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika sahabat Abdullah Ibnu Al-’Ash ditanya Rasulullah: “Apakah kamu berpuasa pada siang hari?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lalu ditanya lagi, ‘Apakah kamu melakukan ibadah malam hari?’ Dia juga mengiyakan. Selanjutnya beliau bersabda:


Artinya : “Tetapi saya berpuasa dan berbuka, melakukan shalat, tidur, dan menggauli istri, maka barangsiapa tidak senang pada sunahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sampmg itu, tidak terpenuhinya kebutuhan biologis bisa berdampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga, serta tidak baik secara mental dan psikologis. Sementara ulama cenderung berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu hak istri dan kewajiban suami. ini merupakan pendapat golongan Madzhab Dzahiriyah, sesuai dengan metodenya dalam memahami teks-teks Al-Quran dan hadis menurut arti lahirnya. Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 222:
Artinya: “Apabila mereka bersuci (mandi) bersetubuhlah kamu dengan mereka, sebagaimana Allah telah menyuruhmu.” (QS. A1-Baqarah: 222)

Di sini ada perintah bersetubuh. Dan perintah itu pengertian lahirnya menunjukkan kewajiban, atau menurut bahasa ushuliyin, al-amr haqqatan 1i al-wujub. Berdasarkan ayat itu pula mereka berkesimpulan minimal dalam masa suci (bebas haid) satu kali menyetubuhi istrinya.

Sebagian ulama ada yang mengaitkan kewajiban menyetubuhi istri dengan ayat 19 dan surat An-Nisa, yaitu firman Allah:
Artinya: “Bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan cara yang baik.“ (QS. An-Nisa’: 19)

Pemenuhan kebutuhan biologis sang istri adalah satu dari bentuk ber-mu’asyarah (bergaul) dengan mereka secara baik.

Kewajiban itu bisa dianggap sebagai nafkah batin (nafaqah bathiniyah), dan menurutnya tidak kalah penting dibandingkan dengan nafkah dalam bentuk materi (nafaqah maaliyah).

Semua itu menunjukkan dalam masalah pemenuhan kebutuhan biologis sekalipun Islam memberikan perhatian. Meski tanpa aturan dalam bentuk hak dan kewajihan, manusia secara naluriah akan melakukannya. Ditambah lagi nilai ibadah yang dikandungnya.

Bukankah Rasulullah pernah bersabda, Hadis diriwayatkan dari sahabat Abi Dzar dan termaktub dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Hadis itu menjelaskan bahwa “menyetubuhi istri itu pahalanya seperti pahala sedekah”.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Bagaimana Hukum Akad Nikah Dengan Internet (Alat Komunikasi)

Tanya : Kami ingin menanyakan satu permasalahan yang berkaitan dengan akad nikah. Yang selama in kami ketahui adalah akad nikah harus dengan adanya seorang wali dari pihak perempuan secara langsung (dalam satu tempat). Ketika kita sedang berkumpul dengan teman-teman, sempat menemukan satu permasalahan yaitu “bolehkah akad nikah dilakukan melalui internet atau alat komunikasi lainnya?” (M. Hadafi, International University of Afrika-Khartum-Sudan)

Jawab : Menikah bukan sekedar formalisasi pemenuhan kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu ia adalah syari’atun azhimatun (syariat yang agung) yang dimulai sejak Nabi Adam yang saat itu dinikahkan dengan Hawa oleh Allah Swt. Pernikahan adalah sunah Rasul, karenanya ia merupakan bentuk ibadah bila dimotivasi oleh sunah Rasul itu.

Pernikahan merupakan bentuk ibadah muqayyadah, artinya ibadah yang pelaksanaannya diikat dan diatur oleh ketentuan syarat dan rukun.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun dari pernikahan hanyalah ijab dan qabul saja. Sementara menurut jurnhur Al-Ulama (mayoritas pendapat ulama) ada empat macam meliputi, shighat atau ijab qabul, mempelai perempuan, mempelai laki-laki, dan wali, ada juga sebagian ulama yang memasukkan mahar dan saksi sebagai rukun, tetapi jumhur al-ulama memandang keduanya sebagai Syarat. (Al-Fiqh Al-Islami: IX, 6521-6522. Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, 4).

Dan ketentuan di atas kita dapati bahwa ijab qabul adalah satu-satunya rukun yang disepakati oleh semua ulama. Meskipun mereka sepakat hal itu, namun keduanya, baik Hanafiyah maupun jumhur al-ulama memiliki pengertian ijab qabul yang tidak sama. Hanafiyah berpendapat bahwa ijab adalah kalimat yang keluar pertama kali dari salah satu pihak yang melakukan aqad, baik itu dari suami atau istri, sedangkan qabul adalah jawaban dari pihak kedua. Adapun menurut jumhur al-ulama, ijab memiliki pengertian lafal yang keluar dari pihak wali mempelai perempuan atau dari seseorang yang mewakili wali. Sementara qabul berarti lafal yang menunjukkan kesediaan menikah yang keluar dari pihak mempelai laki-laki atau yang mewakilinya. Jadi menurut Hanafiyah, boleh-boleh saja ijab itu datang dari mempelai laki-laki yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan. Berbeda dengan Hanafiyah, jumhur al-ulama yang mengharuskan ijab datang dari wali mempelai perempuan dan qabul dari mempelai laki-laki.

Di masa dulu, akad nikah (ijab qabulnya) barangkali bukanlah sesuatu yang penting dibicarakan karena mungkin belum ada cara lain selain hadir ke majlis yang disepakati. Sekarang fenomena itu menjadi menarik mengingat intensitas aktivitas manusia semakin tinggi dan semakin tidak terbatas, sementara kecanggihan alat komunikasi memungkinkan manusia menembus semua batas dunia dengan alat semacam internet, telephone, faks dan lain-lain. Bagi orang yang sibuk dan terpisah oleh ruang dan waktu tertentu, alat itu dipandang lebih praktis dan efisien termasuk untuk melangsungkan akad nikah dalam hal ini ijab qabul.

Dilihat dari kelazimannya, penggunaan internet untuk komunikasi adalah dengan menu e-mail dan chating yang secara esensial sama dengan surat, yaitu pesan tertulis yang dikirimkan. Bedanya hanya pada media yang digunakan untuk menulis pesan, kalau surat ditulis pada kertas dan memakan waktu yang relatif lama untuk sampai tujuan. Sedangakan email atau chating menggunakan komputer yang dengan kecanggihannya dapat langsung diakses dan dijawab seketika itu oleh yang dituju.

Saya teringat pendapat ulama Hanafiyah bahwa akad nikah itu sah dilakukan dengan surat karena surat dipandang sebagai khithab (al-khithab min al-gha‘ib bi manzilah al-khithab min al-h adhir) dengan syarat dihadiri oleh dua orang saksi. Atau bisa juga mengirim seorang utusan untuk melakukan akad nikah dengan syarat yang sama, yaitu dihadiri dua orang saksi. Menurut pendapat ini, akad nikah melalui internet juga sah asal disaksikan oleh dua orang saksi.

Meskipun ada pendapat yang memperbolehkan akad nikah melaui komunikasi jarak jauh, namun pendapat itu ditentang oleh jumhur al-ulama. ini mengingat pernikahan memiliki nilai yang sangat sakral sebagai mitsaq al-ghalizh (tali perjanjian yang kuat dan kukuh), yang bertujuan mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, rahmah bahkan tatanan sosial yang kukuh pula. Oleh karena itu pelaksanaan akad nikah harus dihadiri oleh yang bersangkutan secara langsung dalam hal ini mempelai laki-laki, wali dan minimal dua orang saksi. (Tanwir Al-Qulub, At-Tanbih, dan Kifayah Al-Akhyai)

Pengertian dihadiri di sini mengharuskan mereka secara fisik berada dalam satu majlis untuk mempermudah tugas saksi dan pencatatan sehingga kedua mempelai yang terlibat dalam akad tersebut pada saat yang akan datang tidak memiliki peluang untuk mengingkarinya.

Dengan demikian, akad nikah melalui media komunikasi (internet, faks, telephone dan lain-lain) tidaklah sah, karena tidak satu majlis dan sulit dibuktikan. Di samping atu sesuai dengan pendapat Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah yang menyatakan tidak sah akad nikah dengan surat karena surat adalah kinayah. (Al-Fiqh Al-Islami : IX, 2531).


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tabir Wanita