Friday 28 August 2015

Dasar Hukum Dan Dasar Pengambilan Hukum Dalam Islam

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah mengutus Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan agama yang hak, memberi petunjuk kepada segenap manusia ke jalan kebaikan, untuk kehidupan di dunia dan keselamatan di akhirat.

Hukum dalam Islam

Hukum dalam Islam ada lima:
1. Wajib, yaitu perintah yang mesti dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mengerjakannya mendapat pahala; jika tidak dikerjakan, maka ia berdosa.
2. Sunat, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa.
3. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan (ditinggalkan) mendapat pahala.
4. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala.
5. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula di tinggalkan. Kalau dikerjakan, tidak berpahala dan tidak pula berdosa; kalau ditinggalkan, tidak berpahala dan tidak pula berdosa.

Dalil fiqh ialah: 1. Al-Qur’an, 2. Hadis, 3. ljma’ mujtahidin, 4. Qias. Sebagian ulama menambahkan, yaitu istihsan, istidlal, ‘urf, dan istishab.

Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya terdiri atas empat macam:

1.    Hukum yang diambil dari nas yang tegas, yakin adanya dan yakin pula maksudnya menunjukkan kepada hukum itu.
Hukum seperti ini tetap tidak berubah dan wajib dijalankan Oleh seluruh kaum muslim, tidak seorangpun berhak membantahnya, seperti wajib salat yang lima waktu, zakat, puasa, haji, dan Syarat sah jual beli dengan rela. Kata Imam Syafii, apabila ada ketentuan hukum dari Allah Swt. pada suatu kejadian, setiap muslim Wajib mengikutinya.

2. Hukum yang diambil dari nas yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
Dalam hal seperti ini terbukalah jalan bagi mujtahid untuk berijtihad dalam batas memahami nsa itu saja, tidak boleh melampaui lingkungan nas itu. Para mujtahid boleh mewujudkan hukum atau menguatkan salah satu hukum dengan ijtihadnya, umpamanya boleh atau tidakkah khiyarmajelis bagi dua orang yang berjual beli dalam memahami hadis:
“Dua orang yang jual beli boleh memilih antara meneruskan jual beli atau tidak selama keduanya belum berpisah.”

Yang dimaksud dengan “berpisah” dalam hadis ini mungkin berpisah badan atau pembicaraan, mungkin pula ijab dan kabul. 

Dan seperti wajib menyapu semua kepala atau sebagian saja ketika wudu, dalam memahami ayat:

“Dan sapulah kepalanya.” (A1-Mã’jdah: 6)

Dan seperti tidak halal binatang yang disembelih karena semata-mata tidak membaca bismillãh, dalam memahami hadis:

“Alat apa pun yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah.”

3.    Hukum yang tidak ada nas, baik secara qa’i (pasti) maupun secara anni (dugaan), tetapi pada suatu masa telah sepakat (ijma’) mujtahidin atas hukum-hukumnya.
Seperti bagian kakek seperenam, dan batalnya perkawinan seorang muslimah dengan laki-lak, non muslim. Di sini tidak ada pula jalan untuk ijtihad, bahkan setiap muslim wajib mengakui dan menjalankannya karena hukum yang disepakati oleh mujtahidin itu adalah hukum untuk seluruh umat, dan umat itu menurut sabda Rasulullah Saw. tidak akan sepakat atas sesuatu yang sesat. Mujtahidin itu merupakan Ulil Amri dalam mempertimbangkan, sedangkan Allah Swt. menyuruh umatnya menaati Ulil Amri. Sungguhpun begitu, kita wajib betul-betul mengetahul bahwa pada hukum itu telah terjadi ijma’ (sepakat) ulama mujtahidin, bukan hanya semata-mata didasarkan pada sangkaan yang tidak dengan penyelidikan yang teliti.

4.    Hukum yang tidak dari nas, baik qa’i atau pun anni, dan tidak pula ada kesepakatan mujtahidin atas hukum itu.
Seperti yang banyak menghiasi kitab-kitab fiqh mazhab yang kita lihat pada saat ini. Hukum seperti ini adalah buah dan pendapat salah seorang mujtahid menurut asas (cara) yang sesuai dengan akal pikirannya dan keadaan dilingkungan masing-masing di waktu terjadinya peristiwa itu. Hukum-hukum seperti ini tidak tetap, mungkin berubah dengan berubahnya keadaan atau tinjauan masing-masing. Maka mujtahid dimasa itu atau sesudahnya berhak membantah serta menetapkan hukum yang lain, sebagaimana mujtahid pertama telah memberi (menetapkan) hukum itu sebelumnya. Ia pun dapat pula mengubah hukum itu dengan pendapatnya yang lain dengan tinjauan yang lain, setelah diselidiki dan diteliti kembali pokok-pokok pertimbangannya.

Buah ijtihad sperti inl tidak wajib dijalankan oleh seluruh muslim, hanya wajib bagi mujtahid itu sendiri dan bagi orang yang minta fatwa kepadanya, selama pendapatnya itu belum diubahnya. Jadi, pengambilan hukum yang wajib diikuti oleh semua kaum muslim hanyalah AlQ ur’an, hadis mutawatir yang qa’i dilalah, dan ijma’ mujtahidin.

Pada masa Rasulullah Saw. masih hidup, segala sesuatu beliau pimpin sendiri. Peristiwa-peristiwa yang terjadi langsung mendapat keputusan dari beliau. Sahabat-sahabat senantiasa beliau beri petunjuk, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada beliau dengan perantaraan Jibril selalu beliau ajarkan dan beliau suruh hafalkan, dan beliau suruh para sahabat untuk menulisnya. Terkadang sewaktu dikemukakan suatu peristiwa kepada beliau, beliau termenung (tidak menjawab) karena beliau menunggu wahyu dari Allah. Setelah beliau menerima wahyu mengenai soal yang sedang dihadapkan kepada beliau itu, barulah beliau berikan kepastian serta beliau jelaskan kepada sahabat-sahabat. Seringkali wahyu itu berisi jawaban atas pertanyaan atau penistiwa yang terjadi, serta membawa hukum-hukum yang lain.

Rasulullah Saw. menerima wahyu kira-kira dua puluh tiga tahun lamanya. Dalam masa itu selesailah turunnya kitab suci Al-Qur’an yang mengandung segala petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan dunia dan akhirat. Walaupun tidak dengan secara tafsil (terinci) satu-persatu, bahkan banyak ayat yang berupa mujmai (umum), tetapi kemudian dijelaskan oleh Rasulullah Saw., ada yang dengan lisan, dengan perbuatan, dan dengan jalan membiarkannya saja. Umpama suatu perbuatan yang dilakukan orang di depan beliau. Beliau melihat dan mengetahui sifat-sifat perbuatan itu, tetapi beliau diam saja, tidak memberi keterangan atas hukum perbuatan itu. Diamnya Nabi Saw ini menjadi penjelasan bahwa penbuatan tersebut hukumnya “mubah” (boleh).

Rasulullah Saw wafat meninggalkan para sahabat yang merupakan aIim ulama dan cerdik pandai. Mereka diserahi tugas untuk menggantikan beliau memimpin negara dan rakyat, memajukan agama, dan menghukum segala sesuatu dengan adil. Pengetahuan mereka tentulah tidak sama, sebagian mereka merupakan ‘aiim mutakhai (spesialis) dalam suatu ilmu, di antaranya ada yang mutakhassis dalam ilmu hukum, ada yang mutakhassis dalam ilmu kenegaraan dan politik, ada pula yang mutakhassis dalam ilmu ekonomi, perdagangan, dan seterusnya.

Dalam menghadapi segala soal, terlebih dahulu mereka memeriksa soal tersebut dalam kitab suci Ai-Qur’an atau hadis yang mereka hafal. Tetapi kadang-kadang masalah yang mereka hadapi itu tidak ditemukan nas-nya dalam Al-Qur’an ataupun hadis. Ketika itu mereka saling bertanya, mungkin yang lain mengetahui hadisnya sedangkan yang menghadapi peristiwa itu sendiri tidak mengetahuinya. Apabila di antara mereka ada yang mengetahui hadis mengenai peristiwa itu, mereka tetapkan hukum peristiwa itu menurut nas hadis tersebut. Akan  tetapi, kadang-kadang tidak dijumpai nas yang jelas. Dalam hal seperti ini mereka berijtihad untuk mencari hukum dengan memperbandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadis yang umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi, diqiaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan peristiwa yang baru terjadi itu.

Apabila ada masalah-masalah yang penting, mereka mengadakan musyawarah dan bertukar pikiran, sedangkan dalam permusyawarahan itu semuanya didasarkan pada dua pokok, yaitu Al-Qur’an dan hadis, sehingga permusyawarahan itu dapat menghasilkan keputusan. Demikianlah cara mereka bekerja; seorang yang mempunyai kedudukan  tinggi tak segan-segan bertanya kepada siapa pun, sekalipun orang tersebut lebih rendah kedudukannya.

Agama Islam makin tersiar. Negeri-negeri di Jazirah Arab menggabungkan diri dengan pemerintahan Islam. Pada tahun 17 Hijriah  daerah Syam dan Irak ditaklukkan. Tahun 20 sampai 21 Hijriah Mesir  dan Persi dikalahkan, dan negara Islam meluas ke timur dan ke barat.

Untuk kepentingan negara dan agama, maka alim ulama dan kaum cerdik pandai perlu berpindah dan tempat kelahiran mereka menuju daerah-daerah baru. Disana mereka dapati adat, pergaulan, peraturan, dan peristiwa-peristiwa yang sungguh berbeda dari yang mereka alami di daerah kelahiran mereka. Tiap-tiap daerah mempunyai adat, pergaulan, dan peraturan sendiri. Daerah Persi mempunyai peraturan-peraturan dan undang-undang sendiri sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan di sana. Mesir dan Syam rnempunyai cara sendiri pula akibat peraturan dan undang-undang yang diwarisinya dan peninggalan pemerintahan Rumawi. Ringkasnya, keadaan di daerah-daerah baru itu berbeda dengan keadaan daerah yang lama. Bahkan daerah yang baru itu ada yang lebih maju daripada Jazirah Arab.

Dalam menghadapi kejadian itu -yaitu perbedaan-perbedaan antara daerah-daerah baru dengan daerah-daerah lama, atau antara sesama daerah baru itu- alim ulama dan cerdik pandai perlu berusaha agar semua soal yang mereka hadapi dapat disesualkan dengan agama Islam, karena mereka mengetahui bahwa Islam bukan untuk meruntuhkan atau membuang segala yang ada dan menggantinya dengan yang baru, tetapi memperhatikan dan menimbang segala sesuatu dengan dasar baik serta melihat manfaat dan mudaratnya.

Segala sesuatu yang baik atau maslahat dijadikan syariat, dan segala sesuatu yang buruk atau merusak dibuang dan dilarang mendekatinya. Sesuatu yang hanya perlu diperbaiki, ditambah atau dikurangi, diperbaikinya sehingga menjadi baik dan berfaedah untuk manusia. Sesudah diperbaiki, dijadikan sebagai “syariat”.

Contohnya, Islam telah menetapkan ibadah haji menjadi salah satu rukun Islam yang lima, sesudah dibersihkannya dari sifat-sifat berhala. Islam telah menetapkan hukum perkawinan, perceraian, hukum jual beli, dan beberapa urusan muamalah setelah diatur dan diperbaiki menurut kemaslahatan. Islam telah mengharamkan minuman keras dan berjudi karena kerusakan yang timbul dari keduanya lebih banyak daripada manfaatnya. Islam pun telah memberikan beberapa hak bagi perempuan yang pada waktu sebelum Islam (zaman Jahiliyah) tidak ada.

Demikian Allah Swt. dan Rasul-Nya memberi petunjuk tentang beberapa peristiwa dan adat yang ada di zaman Jahiliyah, sehingga dengan segera akal pikiran kita dapat memahami bahwa peristiwa-peristiwa dan soal-soal yang dikemukakan kepada mujtahidin (alim ulama dan cerdik pandai) apabila tidak ada nas (dan kitab suci dan hadis), mereka ada hak mempertimbangkannya serta memberi keputusan yang sesuai dengan pokok syariat, tidak bertentangan dengan nas Al-Qur’an atau hadis.

Dengan demikian, dapatlah dipahami hubungan antara undangu ndang negara yang ditaklukkan oleh muslimin dengan fiqh Islam. Umpamanya peraturan-peraturan dan hukum-hukum pemeriritah Rumawi di Mesir dahulu, banyak yang mirip atau sama dengan pendapat ahli fiqh di Mesir, setelah Mesir diperintah oleh pemerintah Islam. Sehingga ada orang yang mengatakan bahwa undang-undang dan peraturan pemerintah Rumawi banyak yang diambil dan dicontoh oleh ulama Islam dalam buku fiqh mereka, begitu juga undang-undang dan peraturan negara lain yang telah ditaklukkan oleh kaum muslim. Sampai ada yang mengatakan, sesungguhnya fiqh Islam itu adalah pendapat utama-ulama Islam dengan mempergunakan peraturan-peraturan atau undang-undang negara-negara yang ditaklukkannya.”

Sangkaan tersebut adalah sangkaan yang tidak sehat, kurang teliti, atau karena tidak mempelajari agama Islam lebih jauh. Ia tidak mempelajari cara-cara ulama Islam menetapkan hukum fiqh. Kalau dipelajari riwayat tumbuhnya hukum fiqh dan cara-cara para ulama menyusun hukum-hukum itu, dari mana diambil dasar-dasar pokoknya, tentu ia tidak akan berkata demikian.

Ulama di zaman sahabat sampai ke zaman tabi’in dan seterusnya mengambil hukum-hukum fiqh bukan semata-mata dari pendapat mereka dengan melihat dan meneiiti pritwa yang ada di tengah-tngah mereka saja, tetapi -sebagaimana yang telah kita terangkan di atas  mereka mengambil hukum-hukum itu dan pokoknya (Al-Qur’an dan hadis). Kaidah yang menjadi dasar dan pegangan mereka ialah, Allah Swt. menurunkan hukum yang sesuai untuk segala masa dan semua tempat, hanya sebagian hukum yang diambil dari nas (secara rincian), sedangkan sebagian lagi diambil dari ayat atau hadis umum. Mereka sesuaikan ayat atau hadis umum itu dengan keadaan kemaslahatan, kemanfaatan, dan kebaikannya, baik yang berhubungan dengan diri sendiri ataupun dengan umum. Tidaklah sekali-kali mereka diizinkan mengambil hukum dari undang-undang yang bukan Islam atau undang-undang yang semata-mata hanya buatan manusia.

Pusat atau tempat alim ulama dan cerdik pandai di masa sahabat mengembangkan dan mempraktikkan hukum Islam dan ilmu pengetahuan terhadap muslimin khususnya dan terhadap umat manusia umumnya ialah daerah-daerah Mekah, Madinah, Kufah, Basrab, Syam, dan Mesir.

Di bawah ini kami cantumkan sebagian nama-nama ulama dan sahabat Rasulullah Saw. yang sungguh besar jasanya dalam menjalankan dan menyiarkan hukum-hukum fiqh, yaitu Mu’az, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Zaid bin abit, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa AI-Asy’ari, Abu Darda, Ubadah bin Samit, dan Abdullah bin Amr bin As. Mereka itu tersebar di daerah-daerah tersebut, dibawa oleh kepentingan agama dan negara, didorong oleh rasa cinta dan taat kepada perintah Allah. Selain bekerja untuk pemerintah, mengatur keadaan negeri, menyusun serta merencanakan undang-undang dan peraturan-peraturan, mereka juga sebagai pendidik, mengajar anak-anak dan teman-teman mereka menghafal dan memahamkan Al-Qur’an dan hadis. Demikianlah perkembangan ilmu fiqh dan zaman sahabat sampai zaman tabi’in serta zaman selanjutnya yang disebut zaman tabi’it-tabi’in dan seterusnya.

1 comment:

  1. Bagus, makasih penjelasannya, setelah membaca tulisannya saya sedikit memahami dasar hukum islam.

    ReplyDelete

Tabir Wanita