Friday 28 August 2015

Manusia Pertama (Kisah Teladan Untuk Anak)


Qs. Al-a’raf 11-25, shad 71-83

Saat ini, kita mengenal manusia yang terdiri dari berbagai macam suku, bangsa, bahasa, dan budaya. Namun, sesungguhnya nenek moyang manusia itu adalah satu, yaitu Nabi Adam, sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.

Allah menciptakan Nabi Adam sesudah Ia menciptakan makhluk-makhluk lainnya seperti malaikat, iblis, bumi, gunung, bulan, matahari, dan lain-lain. Malaikat diciptakan dari cahaya dan iblis diciptakan dari api, sedangkan Nabi Adam diciptakan dari tanah liat. Nabi Adam diciptakan Allah sebagai makhluk yang bentugas memelihara, memanfaatkan, dan memakmurkan bumi beserta seluruh isinya. Karena itu, Nabi Adam dibekali akal pikiran oleh Allah.

Sementara itu, iblis yang telah diusir dari surga oleh Allah berkata, “Ya Allah, karena Engkau telah menyatakan bahwa aku ini makhluk sesat, aku akan menggoda anak cucu Adam dimuka bumi untuk berbuat maksiat dan mereka semua akan kubawa sesat.”

Allah pun berfirman kepada iblis, “Pergilah engkau bersama pengikut-pengikutmu yang semuanya akan menjadi penghuni neraka. Engkau tidak akan berdaya menyesatkan hamba-hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dengan sepenuh hatinya.” Sejak saat itu, iblis terus berusaha mencari kesempatan untuk menyesatkan Nabi Adam dan seluruh keturunannya.

Kisah Terciptanya Bumi (Cerita Teladan Untuk Anak)


QS. Yunus: 3-6, Al-Anbiyaa: 30, Al-Baqarah: 29, 117, dan 164, Yasin: 33-40 

Pada mulanya, tidak ada bumi, langit, matahari, dan bulan. Yang ada hanya kegelapan. Bumi sama sekali belum terbentuk. Kemudian, Allah menciptakan dunia yang indah. Dunia diisi oleh makhlukm akhluk ciptaan-Nya.

Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam rangkaian masa. Allah cukup berkata, “Jadilah,” maka jadilah bumi dan langit. Kemudian, Allah bersemayam di atas singgasana-Nya untuk mengatur segala ciptaan-Nya.

Allah juga menciptakan matahari yang bersinar cemerlang dan bulan yang bercahaya karena menerima pantulan matahari. Allah pun menciptakan bintang-bintang yang berkerlap-kerlip di angkasa.

Allah menciptakan bumi selama dua hari.
Allah berfirman,
“Hendaklah tanah kering muncul dai kedalaman air,”

Maka terciptalah daratan dan lautan di bumi. Allah menamai tanah kering itu sebagai daratan dan kumpulan air sebagai lautan. Di atas daratan, Allah menciptakan jajaran gunung-gunung yang sangat besar. Allah menciptakan gunungg unung sebagai penyeimbang dan pengaman Bumi.

Selama enam hari, Allah mernbentuk langit ke dalam tujuh lapisan. Di lapisan terendah, Allah menciptakan gugusan bintang-bintang yang berkerlap-kerlip. Allah juga menciptakan bintang berekor di antara bintang-bintang tersebut. Allah juga mengisi alam semesta ini dengan jutaan planet yang melayang-layang di angkasa.

Allah pun membuat bumi mengelilingi matahari sehingga terjadilah pergantian siang dan malam. Kejadian bumi mengelilingi matahari pada porosnya juga mendatangkan berbagai macam musim di bumi dan menandai hari serta pergantian tahun. Semua benda angkasa yang Allah ciptakan telah diatur tempatnya sehingga tidak saling bertabrakan.

Kemudian, Allah menciptakan makhluk-makhluk hidup yang bergerak. Lalu, Allah meniupkan angin yang dapat menghidupkan bibit-bibit tumbuhan. Allah juga menciptakan awan yang berasal dari uap yang diterbangkan angin, kemudian dapat turun sebagai hujan yang menghidupkan tumbuh-tumbuhan.

Allah menumbuhkan berbagai macam tanaman, termasuk bunga-bunga yang cantik seperti mawar, aster, serta tanaman hias lainnya. Allah menciptakan makhluk yang besar dan makhluk yang kecil. Serangga mungil, semut hitam yang merayap di tanah, lebah yang terbang mengitari bunga untuk mengumpulkan madu, semuanya ciptaan Allah yang begitu indah.

Allah juga menumbuhkan berbagai macam buah-buahan yang dapat dimanfaatkan. Allah menciptakan mangga, jeruk, anggur, ceri, semangka, nanas, dan masih banyak lagi.

Tidak hanya itu, Allah pun menciptakan berbagai macam binatang. Mulai dari binatang liar yang tinggal di hutan sampai binatang ternak yang bisa dipelihara. Ada gajah yang berbadan besar, kuda nil yang suka berkubang, harimau yang ganas, si belang zebra, dan si leher tinggi jerapah. Allah juga menciptakan kelinci yang lincah, kuda yang kuat, serta sapi dan kambing yang menghasilkan susu.

Allah berfirman, “Hendaklah air memberikan kehidupan dan bumi dipenuhi dengan makhluk hidup. Hendaklah burung berterbangan di atas bumi melintasi angkasa.” Atas kehendak Allah, maka tercipta pula segala jenis burung dan unggas yang cantik. Ada burung nun, bebek, ayam, burung pipit, merak, burung puyuh, dan masih banyak lagi burung serta unggas lainnya.

Allah juga menciptakan danau dan sungai-sungai yang mengalir ke laut. Allah menciptakan berbagai macam makhluk laut, seperti ganggang dan terumbu karang, berbagai macam ikan besar maupun kecil, serta berbagai macam mamalia laut, seperti paus dan lumba-lumba.

Allah menciptakan kepiting, udang, lobster, belut, gurita, dan beraneka ragam tumbuhan laut. Allah telah mengatur semua makhluk ciptaan-Nya sehingga tidak ada satu pun yang sia-sia. Sungguh sempurna ciptaan Allah.

Lalu, Allah pun menjadikan manusia yang bertugas untuk beribadah kepada-Nya. Ketika Allah memberitahu para malaikat tentang rencana-Nya tersebut, para malaikat merasa takut dan khawatir bahwa makhluk yang disebut manusia itu akan merusak bumi. Para malaikat pun berkata kepada Allah, “Wahai Tuhan kami, untuk apa Engkau menciptakan makhluk lain selain kami, padahal kami selalu bertasbih, bertahmid, beribadah, dan mengagungkan nama-Mu tanpa henti. Sementara, makhluk yang akan Engkau ciptakan dan turunkan ke bumi itu, niscaya akan bertengkar satu dengan yang lainnya. Mereka akan saling berebut kekayaan alam sehingga akan merusak dan menghancurkan bumi yang Engkau ciptakan.”

Allah pun berfirman untuk menghilangkan kekhawatiran para malaikat, “Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui dan Aku sendirilah yang mengetahui hikmah segala penciptaan. Bila Aku telah menciptakan manusia dan meniupkan ruh kepadanya, bersujudlah kamu di hadapannya.

Maka, Allah pun menciptakan manusia dan segumpal tanah liat kering. Setelah bentuknya disempurnakan, Allah meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Setelah itu, jadilah sesosok manusia sempurna yang dinamai Adam.

Para malaikat yang melihat Adam sudah dihidupkan langsung bersujud di hadapannya. Hal itu dilakukan sebagai penghormatan bagi makhluk Allah yang mendapat amanat mengatur bumi dengan segala isinya.

Namun, makhluk Allah yang bernama iblis ternyata merasa dirinya lebih mulia daripada Adam karena dia çliciptakan dari api sedangkan Adam diciptakan dari tanah. Kebanggaan atas asal-usulnya itu membuat dia sombong. Iblis merasa rendah bila harus bersujud menghormati Adam. Dia tidak mau bersujud seperti yang diperintahkan Allah.

Maka Allah bertanya, “Hai Iblis, mengapa kamu tidak bersujud menghormati sesuatu yang telah Aku ciptakan dengan tangan-Ku? Adakah engkau menganggap dirimu benar dan agung?” Iblis pun menjawab, “Aku lebih mulia dan Iebih baik daripada Adam. Bukankah Engkau telah menciptakan aku dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah?” Walaupun Allah telah menegurnya, iblis tetap sombong dan congkak. Allah lalu berfirman, “Keluarlah dari surga-Ku ini, karena kamu terkutuk. Kutukan itu selalu akan menimpamu sampai hari kiamat kelak.”

Pada hari itu, Allah mengusir iblis dari surga dan Ia dinyatakan sebagai penghuni neraka saat hari kiamat tiba.

Hukum Sujud “Ekstra” Menjelang Salam

Tanya: Kadang-kadang saya melihat orang sujud dua kali (di luar sujud yang biasanya dilakukan ketika shalat) menjelang salam. Setelah saya tanyakan, katanya itu namanya sujud sahwi. Kapan sujud sahwi dilakukan?

Jawab: Dalam satu hadis, Rasulullah Saw. bersabda:
“Manusia tempatnya salah dan lupa.”

Hadis ini mengesankan, salah satu sifat manusia adalah pelupa, atau paling tidak berpotensi lupa. Di antara keduanya terjalin hubungan sangat erat. Kesalahan pada umunmya bersumber pada kealpaan. Karena mustahil manusia membebaskan diri dari sifat lupa, sebagai konsekuensinya manusia tidak mungkin terhindar dari kesalahan selama hidupnya.

Kesadaran akan salah satu kelemahan manusia ini dapat mengantarkan seseorang menjadi lebih toleran terhadap kesalahan orang lain, yang selanjutnya diwujudkan dalam bentuk kesediaan memaafkan.

Di antara nama-nama Allah (Al-Asma Al-husna) yang patut diteladani manusia sebagai hamba-Nya adalah Al-Afuw (pemaaf) dan At-Tawwab (penerima tobat).

Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sepenuhnya membuktikan kebenaran pernyataan Rasulullah Saw. di atas. Kealpaan dapat terjadi kapan dan di mana saja. Bahkan dalam shalat sekalipun, yang semestinya dikerjakan dengan khusu’ dan konsentrasi, kealpaan sering tak terhindarkan yang mengakibatkan ketidaksempurnaan shalat.

Shalat kurang sempurna tatkala seseorang meninggalkan hal-hal yang sebaiknya dilakukan atau sebaliknya, melakukan hal-hal yang sebaiknya ditinggalkan. Untuk menutup kekurangan itu, sujud sahwi disyariatkan.

Sahwi merupakan kata pinjaman dan bahasa Arab, artinya al-ghaflah (lupa). Pada perkembangan selanjutnya, oleh para fuqaha (ahli fikih) sahwi dimaknai dengan cacat atau kekurangan (al-khalal) dalam pelaksanaan shalat yang terjadi dengan disengaja atau lalai.

Sujud yang berfungsi menyempurnakan shalat disebut sujud sahwi, karena pada umumnya kekurangan itu terjadi akibat kealpaan. (Al- Fiqh Al-Manhajr I, 172).

Sujud sahwi dilakukan pada rakaat terakhir setelah tahiyat akhir sebelum salam. Caranya melakukannya seperti sujud biasa, yakni dua kali. Kalau sujud sahwi timbul dan kealpaan itu, membaca:
“Subhaanalladzii laa yanaamu wa la yashuu”
“Maha Sad Dzat yang tidak pemah tidur dan lupa.”


Jika kekeliruan dalam shalat akibat disengaja, sebaiknya membaca istihfar.

Menurut fuqaha Mazhab Syafi’i, sujud sahwi ada kalanya wajib dan ada kalanya sunah. Ia diwajibkan kepada makmum ketika imam mengerjakan sujud sahwi dalam rangka ber-ittiba’ iqtida’ (mengikuti atau menyesuaikan diri dengan imam). Mengikuti imam bagi makmum (dalam mengerjakan sujud sahwi) merupakan suatu keharusan, yang bila ditinggalkan mengakibatkan shalatnya batal.

Di luar itu, sujud sahwi hukumnya sunah, dalam arti holeh ditinggalkan, tapi sebaiknya dikerjakan demi kesempurnaan shalat kita.

Aspek lain yang sangat penting kaitannya dengan sujud sahwi adalah faktor-faktor yang menyebabkannya, atau dengan kata lain, kapan dan bilamana kita mengerjakan sujud sahwi itu. 

Faktor-faktor tersebut dalam literatur-literatur fikih disebut asbab sujud As-sahwi (sebab-sebab sujud sahwi), yang berjumlah 4 (empat).

Fertama, meninggalkan salah satu sunah ab’adh meliputi membaca tahiyat awal, membaca shalawat di dalam tahiyat awal, membaca doa qunut, dan mengucapkan shalawat saat berdoa qunut.

Duduk untuk pembacaan tahiyat awal dan shalawat serta berdiri untuk berdoa qunut beserta shalawat juga termasuk sunah ab’adh. Barang siapa meninggalkan salah satu atau lebih darinya, dianjurkan melaksanakan sujud sahwi.

Kedua, ada keraguan mengenai jumlah rakaat yang telah dikerjakan. Para ulama menyatakan, kalau seorang di tengah-tengah mengerjakan shalat Maghrib, misalnya ragu apakah baru mengerjakan dua rakaat ataukah telah menyelesaikan tiga rakaat. Dalam kondisi seperti itu dia wajib menambah satu rakaat lagi dan dianjurkan pula mengerjakan sujud sahwi.
Rasulullah bersabda:
‘‘Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui berapa rakaat yang telah dikerjakan, apakah tiga atau empat, maka singkirkanlah keraguan itu dan teruskanlah shalatnya sesuai dengan keyakinannya (tiga rakaat), kemudian bersujud dua kali sebelum salam. “ (HR Muslim dan Abu Sa’id ra.)

Sujud dua kali sebelum salam adalah sujud sahwi. Ketentuan mi sejalan dengan kaidah fikih: al-ashl al-adam. 

Ketiga, melakukan secara tidak sengaja sesuatu yang dapat membatalkan shalat jika disengaja. Misalnya, mengerjakan shalat Zhuhur lima rakaat. Penambahan satu rakaat dengan sengaja tentu membatalkan shalat. Namun bila terjadi karena lupa, shalatnya tetap sah dan dianjurkan sujud sahwi.

Keempat, meletakkan rukun qaul (ucapan), selain takbirat al-ihram dan salam, atau bacaan sunah bukan pada tempat yang semestinya, karena lupa. (Al-Fiqh Al-Manhaji I, 173-174. Juga perhatikan kitab Sabil AJ-Muhtadin, juz 1-3).

Dan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, sujud sahwi tidak cukup untuk mengganti rukun yang ditinggalkan. Dan sujud sahwi juga tidak disunahkan akibat tertinggalnya sunah hai’at (pekerjaan maupun ucapan yang dianjurkan selain sunah ab’adh) seperti membaca ta’awudz sebelum fatihah, tasbih ketika ruku’ atau sujud dan lain-lain.

Bagaimana Cara Shalat Saat Sakit ?

Tanya: Saya termasuk hobi sepak bola. Dalam sebuah pertandingan saya mengalami cidera cukup parah. Akibatnya tidak dapat duduk dan membungkukkan badan. Badan ini terasa kaku. Jika ditekuk terasa sakit bukan main. Tapi saya bisa berdiri namun untuk ruku’ dan sujud tidak bisa. Bagaimana cara saya melaksanakan ibadah shalat? (Ahmad Hakim, Pati)

Jawab: Islam agama yang mudah. ini sebagaimana telah ditandaskan dalam ayat sebagai berikut:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. A1-Baqarah: 185)
Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwasanya Islam itu mudah dipahami dan juga sangat mudah untuk dilaksanakan. Mudah dipahami, karena sesuai dengan akal pikiran manusia dari berbagai tingkatan. Mudah dilaksanakan, sebab mengenal rukhshah yang memungkinkan perubahan hukum menjadi lebih ringan dalam kondisi tertentu yang memberatkan pelaksanaan hukum asal. Contoh paling kongkrit adalah diperbolehkan makan bangkai dalam keadaan darurat. Penyebab timbulnya keringanan ada 7 (tujuh). Salah satunya penyakit. (Thanqah Al-Hushul, 40 dan Al-Asbah wa An-Nadair, 85).

Rukun Islam kedua adalah shalat. Shalat mempunyai beberapa persyaratan dan rukun. Rukun shalat secara garis besar digolongkan menjadi dua, yakni ucapan (al-aqwal) dan pekerjaan atau gerakan tubuh (al-af’al). Sebagian darinya dikerjakan dengan berdiri, sebagian yang lain dalam posisi duduk. Takbiratul ihram membaca fatihah, i’tidal, dan ruku’ dikerjakan sambil berdiri. Khusus ruku’ disertai membungkukkan setengah badan sampai tangan menyentuh lutut. Membaca tahiyat atau tasyahud dan salam dilakukan dengan duduk. Sedangkan sujud menempelkan jidat, kedua telapak tangan dan kaki serta lutut di atas tanah.

Dengan demikian, setiap rukun mempunyai posisi yang khusus. Tidak dibenarkan membaca fatihah sambil duduk atau membaca tasyahud dalam posisi berdiri. Mengabaikan posisi badan bisa berakibat pada ketidak absahan shalat.

Namun dalam kenyataan sehari-hari, karena berbagai faktor, dijumpai orang yang tidak mampu memenuhi ketentuan tersebut. Ada yang bisa berdiri tetapi tidak bisa duduk, begitu sebaliknya tidak jarang pula orang mampu berdiri dan duduk tetapi tidak dapat membungkukkan badan.

Mènghadapi kondisi demikian, kita tidak perlu khawatir seperti telah saya sebutkan di atas. Dalam fikih dikenal rukhshah, berupa dispensasi atau keringanan hukum karena hal-hal tertentu. Allah tidak membebani hamba-Nya dengan kewajiban di luar kemampuannya. Dia Rahman dan Rahim. 

Penerapan rukhshah dalam shalat terwujud dalam bentuk diperkenankannya shalat fardhu sambil duduk bagi orang yang tidak mampu berdiri. Jika tidak bisa duduk, boleb dengan tidur miring (al-idhthija). Kalau tidak mampu tidur miring, diperkenan tidur telentang. Kalau masih tidak bisa, maka dengan isyarat. Tidak mustahil, semua anggota badan tidak dapat digerakkan. Dalam keadaan demikian, shalat ditunaikan dengan hati. Dalam sebuah hadis dari Imran Ibn Hushain Rasulullah bersabda:
“Shalatlah dengan berdiri.Jika tidakmampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu maka di atas lambung. Jika tidak mampu maka dengan isyarat”

Pada prinsipnya dalam kondisi bagaimanapun, selagi orang masih berstatus mukallaf kewajiban shalat tetap berlaku baginya. (Subul Al-Salam: I, 200. AI-Fiqh ‘ala A1-Madzahib Al-Arba’ah: I, 497-500, Syarqawi: I, 279).

Berdasarkan keterangan tersebut, orang yang dapat berdiri tetapi tidak bisa duduk dan membungkukkan badan, semua rukun shalatnya dikerjakan dengan berdiri. Karena tidak mampu membungkukkan badan, ruku’ dan sujud cukup dilakukan dengan isyarat (al-ima’), yaitu membungkukkan badan semampunya, tidak harus sampai tangan menyentuh lutut. Isyarat sujud lebih rendah atau lebih ke bawah daripada isyarat ruku tidak boleh sama. (AJ-Fiqh ‘ala A1-Mazhahib Al-A rba ‘ak I, 497-500 atau lihat juga Syarqawi I, 279).

Intinya, kita diperintahkan menunaikan ibadah sesuai dengan kemampuan. Hal ini berarti, sebagian pekejaan dalam situ ibadah yang mungkin dilakukan tidak boleh ditinggalkan karena terdapat kesulitan menjalankan sebagian pekerjaan yang lain. ini sesuai dengan kaidah fikih “al-maisir la yasquth bi Al-ma ‘sur” (yang mudah tidak gugur oleh yang sulit) yang di-istimbathkan dari sabda Rasulullah:
“Jika aku memerintahkan kamu sesuatu (perintah) maka laksanakanlah semampumu. “(Muttafaq ‘alaih)

Shalat harus sujud dan ruku’secara sempurna, shalat tetap dilaksanakan menurut kemampuan, tanpa berkurang pahalanya. (Al-Asyabah wa An-Nazhair, 176, atau periksa juga pada Syarqawi I, 279).


Lagi pula, tujuan shalat yang asasi adalah li dzikiillah, untuk mengingat Allah. Dan itu dapat dicapai tanpa menjalankan rukun secara sempurna karena alasan yang dibenarkan oleh agama.

Cara Sujud Yang Benar Menurut Fiqih Islam

Tanya: Ketika melakukan sujud di tengah-tengah shalat, terkadang orang meletakkan tangan lebih dahulu, kemudian disusul lutut. Tetapi tidak jarang pula, saya melihat sebagian masyarakat melakukan hal yang sebaliknya. Yakni lutut lebih dahulu, baru tangan. Mana yang lebih utama? (Amir, Semarang)

Jawab: Para ulama fiqih mendefinisikan shalat sebagai tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan yang dimulai dengan takbiratal-ihram dan diakhiri dengan salam. Tindakan-tindakan dan ucapan-ucapan itu selanjutnya dinamakan rukun dan pemenuhannya menjadi satu keharusan. Berarti, bila tidak dikerjakan mengakibatkan shalatnya batal. Atau disebut sunah (Jawa: kesunatan), jika sekedar berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurnaan saja. Sehingga, kalau ditinggalkan, tidak sampai berakibat membatalkan shalat.

Rukun shalat secara kçseluruhan ada 17 (tujuh belas), yang merupakan satu kesatuan utuh, sehingga pelaksanaannya harus berkesinambungan. Akibatnya, bila ada salah satu saja dari rukun itu ditinggalkan atau dilaksanakan secara terpisah, seseorang belum dianggap telah mendirikan shalat. Dalam bahasa ahli ushul fikih, belum bebas dai uhdah al-wujub, atau belum bisa menggugurkan at-ta‘abbud.

Setiap rukun memiliki aturan dan cara-cara tertentu. Mulai dari cara membaca fatihah, ruku sujud, i’tidal dan seterusnya. Semua itu didasari cara shalat yang pernah dipraktikkan Rasulullah Saw. semasa hidup. Dalam masalah shalat juga ibadah-ibadah yang lain kita memang harus selalu mengacu dan mempedomani sunah Rasul. Hal ini sebagaimana perintah beliau dalam satu hadist :
“Shalatlah kalian semua seperti yang kalian lihat saat saya mengerjakaruiya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Cara dan aturan-aturan tersebut telah diterangkan ulama dengan panjang lebar, melalui proses ijtihad secara serius, dalam karya mereka berupa kitab-kitab fikih.

Dalam berijtihad, mereka senantiasa berpedoman pada Al-Quran, hadis, ijma’ dan qiyas serta metode-metode istimbath yang lain. Karena itu, dengan berpedoman pada kitab-kitab fikih, bukan berarti kita tidak atau kurang mengamalkan Al-Quran dan hadis, seperti anggapan minor kalangan tertentu.

Namun demikian, pada dialog kali ini, saya membatasi diri pada pembahasan cara bersujud saja, sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.

Shalat yang dipraktikkan umat Islam, secara umum sama, karena berangkat dari sumber yang sama pula. Semuanya berdiri, membaca fatihah, ruku’ dan sebagainya. Tapi dibalik kesamaan-kesamaan tersebut, ada perbedaan-perbedaan kecil yang tidak begitu prinsip. Jangan sampai terjadi, perbedaan kecil itu merusak ukhuwah islami’ah di kalangan muslimin.

Bagi mereka yang pernah pergi ke tanah suci, kenyataan itu tidak begitu mengherankan. Di sana, mereka berkesempatan menyaksikan cara shalat umat Islam dan seluruh dunia secara langsung, yang sangat beragam sekali. Perbedaan-perbedaan kecil tersebut satu di antaranya adalah sujud. Apa yang seyogyanya didahulukan ketika seseorang melakukannya, meletakkan tangan lebih dahulu kemudian lutut, atau sebaliknya?

Keberagaman cara beribadah yang dipraktikkan kaum muslim dalam kehidupan sehari-hari biasanya mencerminkan terjadinya kekhilafan di kalangan ulamanya. Pada kasus sujud, kenyataannya tidaklah berbeda. Para ulama terbagi menjadi dua kelompok, antara yang mendahulukan tangan dan yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut.

Seperti masalah-masalah khilafiyah yang lain, dalam hal itu mereka tidak mempunyai alasan dan dasar hukum. Kalau kita telusuri, perbedaan tersebut berasal dari dua hadis yang termaktub dalam kitab Bulugh Al-Maram karangan ulama hadis terkemuka Ibn Hajar AI-’Asqalani.

Hadis pertama riwayat dari sahabat Abu Hurairah ra. menyatakan bahwasanya Rasulullah Saw., bersabda:
“jika salah satu dari kalian bersujud, janganlah menderum seperti unta menderum, letakkanlah kedua tangan sebelum lutut.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai)

Dalam hadis tersebut jelas, kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan. Suatu pengertian yang berlawanan dengan pemahaman tersebut terlihat pada hadis kedua, riwayat dan sahabat Wa’il Ibn Hajar ra. yang mengatakan:

“Saya melihat Rasulullah Saw, ketika meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum kedua tangannya. “(HR. Abu Dawud, Tirinidzi, Nasai dan Ibn Majah)

Ketika ada dua hadis yang tampak bertentangan seperti itu, para ulama akan memilih mana yang lebih kuat: yang sahih didahulukan daripada yang dha’if (lemah). Kalau kedudukannya sama, sebisa mungkin dikompromikan agar sejalan dan tidak saling bertentangan. Jika langkah tersebut tidak mungkin dicapai, hadis yang terdahulu dirombak (naskh) oleh yang terakhir. Dengan catatan, sejarah keduanya diketahui. Bila waktunya tidak jelas, sikap yang mereka ambil adalah al-waaf, Maksudnya, kedua hadis tersebut tidak diamalkan, lalu beralih kepada dalil lain. Solusi itu diketemukan pada kitab-kitab ushul fikih, seperti Tashi Al-Thuruqat, Irsyad Al-Fuhul dan Al-Luma.

Yang menjadi permasalahan, adalah para ulama sering berbeda dalam menilai sebuah hadis. Hadis yang dianggap sahih oleh seorang ulama ahli (muhadditsin) tertentu, pada saat sama kadang diklaim tidak sahih oleh ulama lain. Pada giirannya, mereka cenderung berpendapat sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing.

Pada kasus sujud, Imam Malik dan Imam Auza’i memilth hadis yang pertama. Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Hanafi, cenderung mengamalkan hadis kedua. Dalam kaitan itulah, mengapa khilaf menjadi tak terelakkan. Apalagi kalau sebuah hadis hanya diketahui oleh satu pihak saja. Namun yang pasti, para ulama terdahulu telah berupaya semaksimal mungkin dalam mendekati setiap kebenaran. Yang benar memperoleh dua pahala, yang salah mendapat satu pahala. Dengan syarat mereka betul-betul memiliki kompetensi untuk berijtihad. Dalam arti, melengkapi diri dengan berbagai disiplin keilmuan yang diperlukan untuk tugas mulia yang sangat berat itu. Sekarang masalahnya tinggal kita pilih mana yang sesuai dengan keyakinan dan kemantapan masing-masing. Keduanya sama-sama mendasar dan boleh diamalkan. Kalangan pesantren yang akrab dengan kitab-kitab Madzhab Syafi’i, mungkin mendahulukan lutut. Tetapi bagi kalangan yang lain, mungkin mandahulukan kedua tangan.

Istilah-istilah Dalam Pelaksanaan Shalat

Tanya: Dalam menjalankan shalat terdapat istilah ada’, qadha’, i’adah. Dimanakah perbedaan antara ketiganya dan apakah i’adah juga wajib seperti halnya qadha’?
(Abrori, Wonokromo Surabaya)


Jawab: Sebagaimana firman Allah bahwa shalat bagi orang mukmin adalah kewajiban yang waktunya sudah ditentukan. Orang mukmin sendiri dalam menjalankan kewajiban itu terkadang karena suatu hal yang sangat mendesak tidak dapat menjalankan sesuai alokasi waktu yang ditentukan syariat. Dan sinilah kemudian muncul istilah ada’,qadha’dan i’adah.

Dalam pengertiannya shalat ada’ diartikan dengan menjalankan shalat dalam batas waktu yang telah ditentukan. Termasuk dalam ada’ menurut Madzhab Hanafiyah apabila seseorang mendapatkan kira-kira sekedar takbiratul ihram di akhir waktu shalat. Sementara Syafi’iyah berpendapat bahwa seseorang itu shalat ada’ apabila mendapatkan satu rakaat sebelum berakhir waktunya.

Sedangkan qadha’ diartikan dengan melaksanakan shalat di luar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak memungkinkan dalam pelaksanaañ shalat tersebut.

Ditinjau dari sisi hukum, sebenarnya antara qadha’ dan ada’ adalah sama, yaitu sama-sama wajib sebagaimana diungkapkan Al-Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya, Fawatikhu rakhamut bahwa kewajiban itu ada dua yaitu ada’ dan qadha Hanya saja pelaksanaan dan nilainya yang berbeda. Yang satu dilaksanakan tepat waktu, satu yang lain tidak, sehingga berdosa. Tetapi terlepas dari berdosa atau tidak, qadha’ adalah tindakan indisipliner yang akan mengurangi nilai seorang hamba dengan Tuhannya.

Lalu bagaimana dengan i’adah?

Menurut istilah para fuqaha, i’adah diartikan dengan menjalankan shalat yang sama untuk keduakalinya pada waktunya atau tidak. Karena dalam shalat yang pertama terdapat cacat atau karena ada shalat kedua yang lebih tinggi tingkat afdhali’ahnya.

Shalat i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunah. I’adah yang wajib di antaranya apahila seseorang tidak menemukan atau memiliki sesuatu yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam kondisi waktu yang terbatas, ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib i’adah pada waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bersuci. Hal mi mengingat bersuci adalah syarat shalat. (Fawatikhu rakhamut I, 36, Al-Majmu 3, 132).

Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat meskipun telah berijtihad kecuali ijtihad itu dengan melaksanakan shalat ke empat arah. (aI-Maftnu ifi, 304). Begitu pula dengan seseorang yang melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka wajib i’adah sebagaimana disampaikan qadhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid A1-Ghazali.

Adapun yang tidak wajib i’adah seperti seseorang yang shalat tanpa menutup sebagian atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan yang sunah i’adah adalah apabila ada shalát kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang sudah shalat sendirian atau berjamaah. Kemudian dalam waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia disunahkan i’adah mengikuti jamaah yang kedua.

Dengan demikian, shalat i’adah tidaklah seperti shalat ada’ atau qadha’. Fertama, i’adah tidak berfungsi menggantikan shalat sebelumya, karena pada prinsipnya shalat yang pertama adalah shalat yang sah. Kedua, i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan ada yang sunah. Hal ini tidak seperti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib. Ketiga, shalat i’adah yang belum dilaksanakan, karena pelakunya keburu meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut seperti shalat qadha‘ yang belum dilaksanakan.

Cara Istinja’ (Cebok) Dan Adab Buang Air Besar Menurut Ilmu Fiqih

Apabila keluar kotoran dari salah satu dua pintu tempat keluar kotoran, wajib istinja’dengan air atau dengan tiga buah batu. Yang lebih baik, mula-mula dengan batu atau lainnya, kemudian dengan air.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Beliau telah melewati dua buah kuburan, ketika itu beliau bersabda, “Kedua orang yang ada dalam kubur ini disiksa. Seorang disiksa karena mengadu domba orang, dan yang seorang lagi karena tidak mengistinja’ kencingnya. (SEPAKAT AHLI HADIS)

“Apabila salah seorang dari kamu beristinja’ dengan batu, hendaklah ganjil” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

“Sulaiman berkata, “Rasulullah Saw. telah melarang kita beristinja’ dengan batu kurang dari tiga.” (RIWAYAT MUSLIM)


Dalam hadis ini disebutkan tiga batu, berarti tiga buah batu atau satu batu bersegi tiga. Yang dimaksud dengan batu disini ialah setiap benda yang keras, suci, dan kesat, seperti kayu, tembikar, dan sebagainya. Adapun benda yang licin (seperti kaca) tidak sah dipakai istinja’ karena tidak dapat menghilangkan najis. Demikian pula benda yang dihormati, seperti makanan dan sebagainya, karena mubazir.

Syarat istinja’ dengan batu dan yang sejenisnya hendaklah dilakukan sebelum kotoran kering, dan kotoran itu tidak mengenal tempat lain selain tempat keluarnya. Jika kotoran itu sudah kering atau mengenai tempat lain selain dari tempatnya,maka tidak sah lagi istinja’ dengan batu, tetapi wajib dengan air.

Adab buang air kecil dan besar
  1. Sunat mendahulukan kaki kiri ketika masuk WC, dan mendahulukan kaki kanan tatkala keluar,  sebab sesuatu yang mulia hendaklah dimulai dengan kanan, dan sebaliknya setiap yang hina dimulai dengan kiri.
  2. Janganlah berkata-kata selama di dalam WC itu, kecuali berdoa dikala masuk wc, sebab apabila Rasulullah Saw. masuk wc, beliau mencabut cincin beliau yang berukir Muhammad Rasulullah. (Riwayat lbnu Hibban)
  3. Hendaklah memakai sepatu, terompah, atau sejenisnya, karena Rasulullah Saw. apabila masuk kakus, beliau memakai sepatu. (Riwayat Baihaqi)
  4. Hendaklah jauh dari orang sehingga bau kotoran tidak sampai kepadanya, supaya jangan mengganggu orang lain.
  5. Jangan berkata-kata selama di dalam kakus, kecuali apabila ada keperluan yang sangat penting yang tidak dapat ditangguhkan sebab Rasulullah Saw. melarang yang demikian. (Riwayat Hakim)
  6. Jangan buang air kecil atau besar di air yang tenang, kecuali apabila air tenang itu banyak menggenangnya, seperti tebat, sebab Rasulullah Saw. melarang kencing di air tenang. (Riwayat Muslim)
  7. Jangan buang air kecil (kencing) di lubang-lubang tanah karena kemungkinan ada binatang yang akan tersakiti dalam lubang itu, dan Rasulullah Saw. melarang yang demikian. (Riwayat Abu Dawud)
  8. Jangan buang air kecil dan besar di tempat pemberhentian karena mengganggu orang yang berhenti.

Jenis Najis Dan Cara (Kaifiat) Mencuci Benda Yang Terkena Najis

Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang kena najis, terlebih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas tiga bagian:

1. Najis mugaladah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali di antaranya hendaklah dibasuh dengan air yang dicampur dengan tanah.

Sabda Rasulullah Saw.:
“Cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (RIWAYAT MUSLiM)

2. Najis mukhaffafah (ringan),
misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. Mencuci benda yang terkena najis ini sudah memadai dengan memercikkan air pada benda itu, meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan apa-apa selain ASI, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.  Hadist Nabi :

“Sesungguhnya Ummu Qais telah datang kepada Rasulullah Saw. beserta bayi laki-lakinya yang belum makan makanan selain ASI. Sesampainya di depan Rasulullah, beliau dudukkan anak itu di pangkuan beliau, kemudian beliau dikencinginya, lalu beliau merninta air, lantas beliau percikkan air itu pada kencing kanak-kanak tadi, tetapi beliau tidak rnembasuh kencing itu.” (RIWAYAT BUKHARI DAN MUSLIM)

Sabda Rasulullah Saw.:
“Kencing kanak-kanak perempuan dibasuh, dan kencing kanak-kanak laki-laki diperciki.” (RIWAYAT TIRM1DI)

3. Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain daripada kedua macam yang tersebut di atas. Najis pertengahan ini terbagi atas dua bagian:
  • Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa, dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang kena itu.
  • Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, dan baunya, kecuali warna átau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini cara mencuci najiis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.

Tabir Wanita