Ketika Nabi masih bersama Abu Thalib, orang-orang Quraisy tidak berani menyakitinya. Akan tetapi, perlindungan yang kuat itu, kini tidak ada lagi dan musuh semakin meningkatkan perlawanan mereka terhadap Nabi saw.
Sebenarnya, beliau belum bermaksud meninggalkan tanah kelahirannya, walau sebentar. Beliau merasa yakin bahwa pada suatu saat nanti, semenanjung Arab akan menerima kebenaran Islam. Keyakinan bahwa musuh-musuh besarnya itu pada suatu waktu akan menjadi sahabat setianya selalu tertanam dalam hatinya. Namun demikian, karena permusuhan yang semakin menghebat dari orang-orang Quraisy, memaksa beliau untuk pindah ke Tha’if dengan harapan agar penduduk di sana mendengarkan seruannya. Akan tetapi, harapan tinggallah harapan. Di Tha’if, beliau juga tidak mendapatkan sambutan baik dari penduduknya. Bahkan, Nabi dan pengikutnya dihalau dan diusir dengan kekerasan. Juga dipukuli dan dilempari dengan batu-batu dan kayu-kayu, sehingga Nabi dan pengikutnya terluka.
Dengan terpaksa Nabi melarikan diri, berlindung di sebuah kebun. Ketika itu, keluarga Rabi’ah sempat memperhatikan dan melihat kemalangan yang diderita oleh Nabi beserta para pengikutnya. Meskipun demikian, Nabi beserta pengikutnya menerima ujian ini dengan tabah dan penuh kesabaran. Beliau tidak mengeluarkan kutukan terhadap mereka. Beliau hanya berdoa kepada Allah swt.
Adapun doa yang dibaca Nabi ketika itu adalah, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu akan kelemahanku dan kerendahanku di hadapan manusia. Ya Allah yang Maha Pengasih, Tuhan yang Melindungi orang-orang yang lemah, kepada siapa pun Engkau serahkan aku: kepada kawan yang senantiasa berdiri di sampingku atau kepada musuh yang selamanya akan memperlihatkan amarahnya, selama Engkau tidak murka kepadaku, ya Allah, senanglah hatiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang berkuasa mengusir kegelapan dan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga kemurkaan-Mu tidak mengenai diriku. Tidak ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah.”
Sampai beliau selesai berdoa, keluarga Rabi’ah masih terus memperhatikan keadaan tersebut.
Akhirnya, hati kedua orang anak (keluarga Rabi’ah) itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialami Nabi beserta pengikutnya itu. Budak mereka yang. beragama Nasrani bernama. ‘Addas diutus untuk membawakan buah anggur dari kebun itu kepada mereka2.
Ketika hendak memakan buah anggur itu, Nabi membaca, “Bismillah.” Mendengar bacaan itu, budak tersebut bertanya kepada Nabi, “Apa yang engkau baca itu?”
Tatkala Nabi menerangkan bahwa itu adalah ajaran agama Islam yang suci, tertariklah hati budak itu dan di kebun itu juga ia masuk Islam. Berarti hanya satu orang inilah, Nabi memperoleh tambahan pengikut dari perjalanan yang sangat mengerikan itu.
Setelah kembali ke Mekah, orang-orang Quraisy semakin bertambah kejam, bahkan mereka berani menganiaya orang-orang Islam. Nabi bersedih hati memikirkan nasib umatnya yang terus-menerus mendapat gangguan yang berupa ancaman dan penganiayaan. Tetapi, hal tersebut tidak mengurangi kemauan Nabi untuk menyampaikan dakwah Islam.
Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim haji, beliau memperkenalkan diri mengajak mereka mengenal arti kebenaran. Diberitahukannya kepada mereka bahwa beliau adalah Nabi yang diutus dan beliau mengajak mereka untuk beriman. Tetapi, Abu Lahab tidak ketinggalan pula mendampingi beliau ke mana pun beliau pergi. Ia menghasud orang-orang itu agar jangan mau mengikuti ajaran Muhammad.
Di antara kabilah-kabilah itu ada yang menolak secara mentah-mentah ajaran yang dibawa Muhammad; ada juga yang menyetujuinya namun mereka tidak dapat meninggalkan agama nenek moyang mereka; dan ada pula yang menyatakan kesanggupannya untuk membantu, tetapi dengan syarat apabila Muhammad mendapat kemenangan, sebagai balasannya, segala persoalan harus berada di tangan mereka.
Selanjutnya, kepada kabilah yang menyatakan kesanggupannya dengan syarat itu, Muhammad menjelaskan bahwa persoalan ini berada di tangan Allah. Akhirnya mereka pun membuang muka dan menolaknya sebagaimana kabilah-kabilah yang lain.