Monday, 19 September 2016

Pemboikotan Suku Quraisy Terhadap Bani Hasyim

pemboikoan bani hasyim
Posisi kaum muslimin semakin kuat dengan keislaman Hamzah dan Umar. Sementara itu, pihak Quraisy merasa semakin lemah. Umar bin Khaththab masuk Islam secara terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi. Bahkan, justru diumumkan di hadapan banyak orang. Keadaan seperti itu menimbulkan reaksi yang begitu keras dari kaum musyrikin Quraisy. 

Kini, kaum Quraisy sadar bahwa kekuatan Muhammad bersumber pada keluarganya, yaitu Bani Hasyim. Bani Hasyim inilah yang selalu melindungi dan membelanya, baik mereka yang sudah masuk Islam maupun yang masih menganut kepercayaan nenek moyangnya. Oleh karena itu, kaum Quraisy bermaksud hendak memusuhi seluruh Bani Hasyim. Mereka bersepakat akan memboikotnya. Mereka memutuskan segala hubungan dengan suku ini. Tak seorang pun di antara penduduk Mekah boleh menjual atau membeli sesuatu kepada atau dari Bani Hasyim. Kesepatan ini mereka tanda tangani bersama, lalu digantung di dinding Ka’bah. 

Dengan adanya ultimatum yang dilaksanakan oleh kaum Quraisy itu, Abu Thalib segera mengajak Bani Hasyim untuk bermusyawarah : apa yang harus dilakukan? Belum seluruh masyarakat Bani Hasyim beragama Islam, tetapi seluruhnya sepakat akan melindungi Nabi secara mati-matian. Perangai Nabi yang baik dan hidupnya yang suci menjadikan ia dicintai olah kaumnya, Bani Hasyim. Sekalipun. Muhammad beragama Islam, mereka tidak akan membiarkan 

Muhammad diserahkan ke tangan musuh. Menurut mereka, lebih baik bersama-sama menahan kesengsaraan daripada harus berpisah dengan Muhammad. 

Begitulah keadaan Bani Hasyim yang kemudian harus memisahkan diri mereka dari orang-orang Mekah yang dinamakan Syi’ib. Tiga tahun lamanya pemboikotan ini diterima oleh Bani Hasyim dengan penuh kesabaran karena cintanya kepada Nabi. Sementara itu, Nabi sendiri semakin teguh berpegang kepada tuntunan Allah. Mereka yang sudah beriman pun makin gigih mempertahankan keimanannya dan mempertahankan agama Allah. 

Akhirnya, setelah menderita kesulitan dalam pengasingan, beberapa orang dari kaum Quraisy mengakui akan kejamnya pengasingan itu. Mereka pergi ke tempat pengasingan Bani Hasyim dan mencabut pemboikotan itu yang selanjutnya diikuti oleh beberapa orang lainnya atas pengakuan pencabutan pemboikotan tersebut.

Sunday, 18 September 2016

Bagaimana Pelaksanaan Dan Pendistribusian Daging Dam Menurut Fikih Islam ?

pengertian dam, jenis hewan dam, cara membayar dam, bilik islam
Tanya : (A) Saya naik haji pada tahun 1995. Guna melakukan penghematan, saya dan teman-teman membeli kambing dam sendiri di sebuah pasar di Makkah (atau Mina, saya agak lupa). Kambing-kambing dam kami dipotong oleh pedagangnya sendiri dipasar tersebut. Setelah itu, kambing itu kami serahkan kepada sang pedagang kambing. Sahkah dam kami. Pak Kiai ? Bagaimana pelaksanaan dam yang afdhal. 

(B) Sekarang para jamaah bisa membayar damnya melalul bank Ar-Rajihi. Saya dengar, daging dam dikirim kepada orang-orang Islam di daerah-daerah kritis (Afrika, Bosnia dan lain- lain) seusai musim haji. Alasannya, karena di Saudi sudah tidak ada orang yang berhak menerima daging dam. Kalau memang diperbolehkan, bolehkah kita membeli kambing dam di tanah air dipotong dan dibagikan di sinipula? Apakah syarat-syarat pelaksanaan dam itu? (Naglu Ahmad)

Jawab : Pekerjaan ibadah haji dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), rukun, kewajiban dan sunah. Rukun haji adalah sesuatu yang asasi, jika ditinggalkan hajinya tidak sah. Kewajiban haji juga harus dikerjakan, tetapi jika tidak dipenuhi hajinya tetap sah. Cuma harus membayar fidyah. Sedangkan sunah sebaiknya dikerjakan. Di samping itu, ada perkara yang harus ditinggalkan ketika sedang ihram (muharramat al-ihram).

Barangsiapa meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau melanggar larangan-larangan akan dikenai sanksi (dam atau fidyah), berupa menyembelih kambing (kerbau/sapi/onta), bersedekah, dan puasa. Dam juga berlaku bagi pelaku haji tamattu’dan qiran. Kapan sanksi berupa menyembelih kambing, bersedekah dan berpuasa, memerlukan perincian tersendiri. Sesuai dengan pertanyaan, pembahasan kita terbatas pada tata cara membayar dam dengan menyembelih kambing atau onta.

Hewan yang disembelih sebagai dam, harus memenuhi persyaratan hewan kurban. Artinya, tidak sakit, buta, pincang, dan sangat kurus. Kambing dan kerbau/sapi telah berumur dua tahun, dan onta berumur lima tahun.

Waktu penyembelihan dam akibat melanggar larangan atau meninggalkan kewajiban tidak ditentukan. Adapun tempatnya adalah di tanah haram. Di manapun kita menyembelih, asal masih termasuk kawasan tanah haram sudah cukup. Yang afdhal bagi pelaku haji menyembelih di Mina, dan umrah di Makkah tepatnya di Marwah.

Jamaah haji sebaiknya menyembelih hewan damnya sendiri. Dapat pula diwakilkan kepada orang lain. Kalau diwakilkan, pembayar dam dianjurkan ikut menyaksikan proses penyembelihan. Seperti halnya penyembelihan, pembagian daging dam lebih afdhal dikerjakan sendiri. 

Daging dam menurut Madzhab Syafi’i khusus diberikan kepada fuqara tanah haram, baik penduduk asli atau pendatang (al-mustauthinin atau ath-thari’in). Lebih utama diberikan kepada penduduk asli. Ketentuan ini merujuk pada Al-Quran surat A1-Hajj ayat 33 sebagai berikut :
Artinya: “Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itU ada beberapa manfaat, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah).” (QS. AI-Hajj: 33).

Demikian pula dalam surat A1-Ma’idah, 99. Allah berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,  janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya adalah menggan ti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhna, menurut putusan dua orang yang adil diantara  kamu sebagai hadnya yang dibawa sampai ke Ka‘bah, atau (dendanya,) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya niscaya Allah akan menyiksanya. Alah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” (QS. A1-Maidah 95) (Kifayah Al-Akhyar.  I, 238, Qalyubi. II, 145-146). 

Lain halnya dengan Madzhab Hanafi. Meskipun penyembelihan harus di tanah haram, daging dam dapat diberikan kepada selain fuqara tanah haram. (Al Fiqh Al-Islami. III, 2371). 

Oleh sebab itu, penyembelihan dam oleh pedagang hukumnya boleh-boleh saja, tapi kurang afdhal, pula pembayaran dam lewat bank, asal disembelih di tanah haram, dan dagingnya diberikan kepada fuqara tanah haram pula. Apabila dagingnya diberikan kepada fuqara selain tanah haram, menurut Madzhab Syafi’i tidak boleh. Hal itu dimungkinkan bila mengikuti Madzhah Hanafi.

Apa Hukum Mandi Ihram, Membaca Talbiyah Dan Haji Tamattu’ ?

hukum mandi ihram, hukum membaca talbiyah, hukum haji tamattu
Tanya : 1. Apa hukumnya mandi ketika akan ihram? 2). Ada pandapat bahwa talbiyah itu hanya boleh dibaca sampai pada saat jumrah al-aqabah, benarkah itu apa dasarnya ? 3. Ada Haji Tamattu’ yang tidak dikenal dam ? Bagaimana caranya ? Mohon penjelasan. (M. Syamsul Arifin, Kalianyar-Bangil) 

Jawab : Beruntunglah mereka yang mendapatkan anugerah menjadi tamu-tamu Allah di Baitullah. Beberapa pekan lagi mereka akan menjalankan rukun Islam yang kelima, berkumpul di tempat yang sama, menjalankan ibadah yang sama, yakni ibadah haji, menghadap Allah dengan pakaian ihram yang putih bersih. 

Ihram merupakan permulaan dari semua amaliyah ibadah haji (fatihah al-‘amal al-hajj) sama halnya dengan takbirah al ihram dalam shalat. Sebelum melakukan ihram para jamaah haji disunatkan menjalankan beberapa amaliyah, sebagian di antaranya, Pertama, Mandi. Oleh imam empat, mandi sebelum ihram ini dihukumi sebagai sunah muakkadah karena di samping untuk kebersihan pribadi juga untuk kebersthan bersama mengingat dalam ibadah haji berkumpul banyak sekah manusia. Kedua, memakai wangi-wangian pada badan (tidak pada pakaian) sebagaimana yang dilakukan sayyidah Aisyah terhadap Nabi dalam sebuah hadis muttafaq alaih :
Artinya: “Saya memakaikan wagi-wangian pada Rasulullah karena maksud ihram-nya sebelum beliau menjalankan ihram.” (Muttafaq ‘alaih) 

Adapun memakai wangi-wangian pada pakaian sebelum ihram hukumnya jaiz atau boleh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Bau yang tersisa dan terbawa dalam menjalankan ihram tidak menjadi masalah, hanya saja apabila pakaian itu lepas atau dilepas maka tidak diperbolehkan untuk kembali memakainya. Jika masih terdapat bau wangi-wangian yang dipakai sebelum ihram tadi kecuali bau itu dihilangkan terlebih dahulu. Ketiga, shalat dua rakaat sebagaimana hadis riwayat Imam Muslim dan Ibn Umar bahwa Rasulullah shalat dua rakaat sebelum ihram di Dzil Hulaifah yang merupakan salah satu miqat makani (Al-Hajju wa Al-Umrah fi Al-Fiqhi Al-Islami 50-53). 

Kesunatan ihram yang lain adalah membaca talbiyah sejak memulai ihram sampai pada saat melempar jumrah al-aqabah shubuh yaum an-nahr tanggal 10 Dzulhijjah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Nabi. (HR. Syaikhani dari hadisnya Fadhi bin Abbas). Disunatkan lagi bagi kaum laiki-laiki untuk mengeraskan suaranya dalam membaca talbiah dan sebaliknya bagi kaum perempuan untuk menjaga volume suaranya sekiranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. (Al-Fiqh Al-Manhajy. I, 402). 

Dalam menjalankan ibadah haji dan umrah ada 3 (tiga) macam cara yang bisa dilakukan oleh para jamaah, di antara mereka ada yang ifrad, yaitu mendahulukan ihram haji kemudian baru ihram, umrah, ada ada yang qiran, menjalankan haji dan umrah dalam satu ihram sekaligus dan ada yang memakai cara tamattu menjalankan umrah secara sempurna sampai tahallul terlebih dahulu kemudian baru niat ihram haji di Makkah atau dari miqat ketika dia ihram. 

Pelaksanaan haji dengan cara tamattu ‘dikenai dam, apabila dikerjakan oleh selain ahli Makkah pada bulan Dzuthijjah. Apa yang Anda tanyakan memang benar bahwa ada cara tamattu’ yang tidak dikenai dam yaitu, pertama, Ahli Makkah atau seseorang yang tempat tinggalnya tidak melebihi masafah al qasr dari Makkah. Bagi mereka tidak ada tamattu’ sebagaimana ketentuan yang didasarkan pada firman Allah dalam Al-Quran sebagai berikut :
Artinya: “Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganva tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah)” (QS. A1-Baqarah. 196) 

Kedua waktu Pelaksanaan umrah tidak pada asyhur al-hajj (Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah) atau dengan kata lain sebelum bulan Syawal, baru kemudian mereka melaksanakan Ihram hajj pada asyhur al-hajj, dan yang ketiga tidak kembali untuk Ihram haji pada miqat di mana ia melakukan ihram, umrah. (Al-Hajju wa Al-Umrah fi Al-Fiqhi Al-Islami. 185-I86).

Apa Hukum Bersentuhan Kulit Laki-Laki Dan Perempuan Ketika Thawaf ?

hukum bersentuhan kulit ketika haji, bilik islam
Tanya : Untuk melaksanakan thawaf saat ibadah haji, sulit kiranya bila tidak bersentuhan dengan perempuan, bagaimana menghadapi situasi thawaf seperti ini, apakah ada madzhab yang memperbolehkan bersentuhan dengan perempuan, dalam arti tidak membataikan wudhu? 

Jawab : Setiap muslim tentu pernah mendengar ibadah yang disebut thawaf. Meski, hanya sebagian saja yang pernah menjalaninya, karena tempatnya terbatas di Bait Al-Haram, dengan jalan mengitari Ka’bah dan cara-cara tertentu. Ibadah ini tak dapat dilepaskan dari rangkaian pelaksanaan rukun Islam kelima, yaitu haji. 

Ada bermacam-macam thawaf. Pertama, thawaf Qudum, yang juga sering disebut thawaf At-Tahiyyah. Thawaf ini merupakan wujud penghormatan terhadap Ka’bah (tahiyyah al-Ka’bah). Dan dikerjakan begitu saja oleh seseorang yang tiba di Makkah. Secara fungsional, thawaf Qudum memiliki persamaan dengan shalat tahiyyah al-masjid. 

Kedua, thawaf Wada kebalikan dan yang pertama dan dilakukan ketika seseorang akan meninggalkan Makkah. Jadi, semacam untuk perpisahan. Al-Wada’itu dari bahasa arab, artinya berpisah. 

Ketiga, thawaf ifadhah, yang juga populer dengan sebutan thawaf rukun, karena termasuk rukun haji yang jumlahnya enam, di samping ihram, wukuf, sa’I, mencukur rambut dan tertib (melakukan semua rukun dengan urutan masing-masing).

Kewajiban thawaf ifadhah telah disepakati seluruh ulama dan termasuk masalah yang mujam’ ‘alaih. Lain halnya dngan kedua thawaf terdahulu, sebagian ulama mengatakan wajib, sebagian lain mengatakan sunah.

Keempat, thawaf at-tathawwu’ atau sunah. Thawaf  ini dapat dilakukan kapan saja, waktunya tidak terbatas. Dan, hukumnya sunah. Kedudukannya seperti salat sunah atau puasa sunah.

Yang melakukan thawaf, apapun jenisnya, diharuskan menyucikan dirinya dari hadas dan najis. Thawaf tidak sah jika dilakukan oleh orang yang menyandang hadas besar atau kecil di badan dan pakaian serta tempatnya terdapat najis. Ketentuan tersebut menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, dan mayoritas ulama (al-jumhur).

Persyaratan tersebut didasarkan atas beberapa hadis, satu di antaranya diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda : “Thawaf di al-Bait itu seperti salat, cuma kalian semua (diperkenankan) berbicara”. Hadis lain dikeluarkan oleh dua ulama hadis terkemuka, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Diterangkan bahwa Aisyah ra. Berkata : “Sesungguhnya kali pertama dilakukan Rasulullah Saw. ketika memasuki Makkah, adalah berwudhu kemudian thawaf di al-Bait”.

Pada hadis pertama, Rasulullah menyamakan thawaf dengan salat. Perbedaan keduanya hanya terletak pada diperbolehkannya berbicara di tengah-tengah thawaf. Padahal seperti kita maklumi, pelaksanaan shalat menuntut pelakunya bersih dan bebas dari hadas maupun najis. 

Dengan demikian, dapat diambil saru konklusi atau natijah persyaratan yang sama, yakni suci dari hadas dan najis berlaku untuk thawaf. Kesimpulan tersebut selanjutnya dipertegas oleh hadis kedua, yakni Rasulullah SAW. sebelum berthawaf mengambil air wudhu terlebih dahulu. 

Permasalahan akan timbul ketika persyaratan tersebut dihadapkan pada kenyataan pelaksanaan thawaf di lapangan. Dan sekian ratus ribu, bahkan jutaan jamaah haji dari seluruh dunia, secara bersamaan mereka melaksanakan thawaf mengitari Kabah, tanpa adanya pambatasan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, sangat dimungkinkan akan terjadi gesekan dan persentuhan kulit dengan lain jenis. 

Persentuhan kulit menjadi problem, karena berhubungan lansung dengan keabsahan wudhu seseorang. Dalam madzhah Syafi’i persentuhan kulit secara langsung (Jawa : tanpa aling-aling) antara dua orang yang berlainan jenis yang sudah sama-sama dewasa dan tidak memiliki hubungan mahram, secara mutlak dapat membatalkan wudhu, letak kemutlakannya, baik bersentuhan tadi disengaja atau hanya kebetulan belaka, disertai syahwat (terangsang) atau tidak. 

Terhadap pihak yang menyentuh (al-lamis), semua ulama madzhab Syafi’i bersepakat, wudhunya batal. Sedangkan terhadap pihak yang disentuh (malmus) ada dua pendapat antara yang membatalkan dan tidak. Keterangan secara panjang lebar dengan herbagai metode isthimbath-nya dapat diteruskan pada kitab Syarh Al-Muhadzdzab pada pembahasan nawaqidh al-wudhu (perkara-perkara yang membatalkan wudhu).

Menghadapi problem di atas, ada beberapa cara yang bisa diatasi/ditempuh sebagai alternatif pemecahannya. Yang paling sederhana, sudah barang tentu berhati-hati, sedapat mungkin berkumpul dengan jamaah yang sejenis. Jika memungkinkan hendaknya berthawaf pada waktu yang agak sepi.

Dengan demikian, terjadinya persentuhan lebih mudah dihindari. Dan jika kebetulan Anda jadi pihak yang disentuh, bisa mengikuti pendapat yang tidak membatalkan. Seandainya Semua itu sulit diterapkan, langkah terakhir adalah berpindah madzhah yang tidak menganggap persentuhan kulit termasuk perkara yang membatalkan. 

Dalam hal tersebut, adalah madzhab Hanafi. Namun, konsekuensinya cukup memberatkan, kita harus mengikuti cara-cara berwudhu madzhab Hanafi secara utuh, mulai dari Persyaratan-persyaratannya .

Apa Hukum Haji Selalu Berhadas Dan Bagaimana Solusinya ?

hukum hadas haji, bilik islam
Tanya : Pak Kiai, saya mohon penjelasan. Salah seorang teman saya merasa pesimis hajinya tahun ini diterima oleh Allah. Karena Ia menderita penyakit hernia. Ia selalu kentut. Kadang satu kali salat berwudhu dua sampai tiga kali. Kalau di rumah tidak masalah. Jika di Masjzdil Haram tentu sangat susah. Apakah ada rukhshah (keringanan). Teman-teman menyuruhnya tetap berangkat, dengan mengutip hadis Qudsi “ana ‘indza dhanni a’bdi bi, wa anaa ma’ah idza dzakaranii.” Nah bagaimana pendapat Kiai ? (M. Badiuz Zaman, Kraton Pasuruan)

Jawab : Salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sebatas kemampuannya. Allah tidak menjadikan kesulitan dalam menjalankan agama-Nya.

Oleh karena itu, dalam fikih dikenal adanya rukhshah (dispensasi) dalam kondisi dan situasi tertentu. Akibat dispensasi ini, sesuatu yang semula wajib atau haram menjadi tidak lagi. 

Dari sekian rukun ibadah haji dan imrah, hanya thawaf mengelilingi Ka’bah 7(tujuh) kali mulai dari Hajar Aswad, yang pelaksanaannya menuntut kesucian dari hadas dan najis. Kesucian tidak menjadi syarat keabsahan sa’I, wuquf dan lain-lain. 

Kewajiban bersuci tatkala berthawaf didasarkan pada sebuah hadis yang menyamakan thawaf dengan shalat. Hadis itu bersumber dari riwayat Ibn Abbas. Rasulullah bersabda, yang artinya : “Thawaf di Baitullah itu shalat. Tetapi Allah menghalalkan berbicara ketika berthawaf. Maka barangsiapa berbicara, janganlah berbicara kecuali perkara yang baik “. (HR. Thabrani Hakim, Baihaqi) 

Kesucian menjadi salah satu syarat keabsahan shalat, Karena dianggap sama dengan shalat, thawaf harus dikerjakan dalam keadaaan suci pula. (Al-Fiqh Al Islami. I, 449). 

Dalam kondisi normal, kesucian mudah dipenuhi. Tetapi bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tidak normal, seperti orang yang selalu mengeluarkan urine atau buang air besar secara terus-menerus dalam rentang waktu relatif lama, persyaratan kesucian sulit dipenuhi. Begitu juga orang yang selalu kentut dan penderita istihadhah. Orang-orang demikian, dalam literatur fikih disebut daim al-hadats, artinya orang yang selalu berhadas.

Karena persyaratan kesucian bagi daim al-hadats sulit atau tidak bisa dipenuhi, maka dia diperbolehkan shalat dalam kondisi tidak suci. Lebih baik shalat meskipun tidak suci, daripada tidak melakukan sama sekali. Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya, “ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh” demikian kaidah fikih mengatakan.

Berdasarkan kaidah itu pula, para fuqaha mensyaratkan agar daim al-hadats membalut jalan depan dan atau belakang untuk memperkecil najis yang keluar. Pembalutan ini langsung diikuti dengan wudhu dan shalat secara berkesinambungan, tanpa dipisah dengan hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan shalat. Keluarnya sesuatu dari jalan depan atau belakang di tengah-tengah shalat tidak membatalkannya. 

Oleh karena thawaf sama dengan shalat, maka dispensasi tersebut juga berlaku untuknya. ini artinya, orang yang selalu kentut tidak perlu mengambil air wudhu setiap kentut. Cukup mengambil air wudhu langsung thawaf untuk 7 (tujuh) putaran. Demikian halnya, setiap melakukan shalat. Satu wudhu untuk satu shalat fardhu. Pembalutan tidak perlu dilakukan karena kentut tidak najis. Berbeda dengan urine, darah dan sejenisnya.

Jadi, teman penanya tidak perlu pesimis. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Dan memang kita harus selalu berbaik sangka kepada-Nya, sesuai hadis Qudsi yang penanya sampaikan.

Saturday, 17 September 2016

Ihram Yang Benar Menurut Fikih Islam (Kewajiban, Larangan Dan Yang Diharamkan)

larangan ihram, anjuran ihram, yang diharamkan saat ihram
Tanya : Alhamdulillah, musim haji tahun ini saya akan berangkat ke tanah suci memenuhi panggilan Allah Swt. Sudah barang tentu saya ingin ibadah haji itu sesuai dengan aturan dan ketentuan, supaya diterima Allah Swt. dan menjadi maqbul sekaligus mabrur. 

Karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin mendapat penjelasan dari Kiai seputar masalah haji, dalam hal pakaian. Apakah yang dilarang saat ihram? 

Jawab : Sekarang kita berada pada penghujung Syawal. Kurang lebih satu bulan lagi kita memasuki Dzulhijjah, saat umat Islam akan mengerjakan ibadah haji di tanah suci Makkah. Haji dan umrah diwajibkan atas setiap muslim maupun muslimat yang memenuhi kriteria istitha‘ah (mampu berhaji) minimal sekali seumur hidup. 

Bagi yang belum pernah mengerjakan ibadah itu, sangat dianjurkan mempelajari hal-ihwal yang berhubungan dengan rukun Islam kelima tersebut secukupnya. Yaitu meliputi rukun, kewajiban, dan larangan-larangan ketika ihram, dengan harapan akan memperoleh haji yang mabrur.

Akan sangat membantu jika setiap calon haji memiliki gambaran rute perjalanan yang akan dilewati, serta urutan amalan ibadah haji secara kronologis. Karena itu, mengikuti pelatihan manasik secara massal atau konsultasi dengan orang yang pernah haji dan mengetahui seluk-beluk masalah haji sangat penting. 

Di antara masalah-masalah yang perlu diperhatikan oleh setiap calon haji adalah pakaian, mengingat pakaian yang dikenakan berbeda dari yang kita pakai sehari-hari, terutama kaum lelaki. Ada aturan dan ketentuan yang tidak boleh dilanggar. Bahkan terdapat jenis pakaian tertentu yang diharamkan. 

Pakaian yang dikenakan ketika mengerjakan ibadah haji atasanya disebut pakaian ihram. 

Karena itu, kewajiban memakainya akibat melakukan ihram, yakni niat mengerjakan haji atau umrah, atau karena pakaian tersebut dikenakan ketika berstatus muhrim (berihram). 

Pakaian ihram untuk pria dan perempuan tidak sama. Untuk pria, memakai dua helai kain, yang satu disarungkan dan yang lain diselendangkan. Haram memakai pakaian yang berjahit atau bertangkup, seperti baju dan celana (panjang maupun pendek, luar ataupun dalam). Tidak diperkenankan memakai kaus kaki, kaus tangan dan sepatu. Sandal yang tidak menutupi jari kaki, tidak apa-apa. Dilarang menutup kepala dengan topi, kopiah, kain, kertas dan lain-lain. Tapi diperbolehkan bernaung di bawah payung, tumbuh-tumbuhan, atap dan tenda, karena tidak dianggap menutupi kepala. Dengan alasan yang sama, tidak dilarang meletakkan tangan di atas kepala. 

Bagi perempuan, memakai pakaian yang menutupi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan seperti ketika shalat. Karena itu, larangan mengenakan pakaian berjahit dan bertangkup tidak berlaku untuknya. Seperti halnya lelaki, perempuan dilarang berkaus tangan. Jika lelaki dilarang menutup kepalanya, perempuan dilarang menutup mukanya. Pakaian ihram disunahkan yang berwarna putih. 

Selain hal itu, pria dan perempuan selama ihram dilarang melakukan beberapa tindakan, yakni memakai wangi-wangian, memotong kuku, dan mencukur atau mencabut rambut. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat-Nya :
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjid Al-Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya. “ (QS. A1-Baqarah: 196) 

Yang juga dilarang adalah berburu atau menganiaya binatang di tanah Haram, kawin maupun mengawinkan, dan bersetubuh. Larangan ini sebagaimana dalam lanjutan ayat di atas sebagai berikut :
Artinya : “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji maka tidak holeh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. “ (QS. Al-Baqarah: 197) 

Selanjutnya juga haram adalah bercumbu, memotong pepohonan di tanah haram. (Sabil Al-Muthadin, Al-Fiqh Al Manhaji. I, 389, Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami. III, 281). 

Larangan-larangan tersebut yang di dalam kitab-kitab fikih disebut muharramatal-ihram, tidak berlaku ketika jamaah telah melakukan tahalul. 

Setelah wukuf di Arafah, menginap di Muzdalifah dan berangkat ke Mina, di hadapan jamaah terdapat tiga amalan lagi yang penting yakni melempar jumrah aqabah, mencukur atau memotong rambut (al-halq), dan thawaf.

Barangsiapa telah melakukan dua dari tiga amalan itu berarti telah bertahallul atau tahallul asghar. Selesai tahallul awal, semua muharramatal-ihram diperbolehkan kecuali bersetubuh, bercumbu, dan kawin. Diperkenankan memakai wangi-wangian, baju berbulu dan lain-lain. 

Bersetubuh, bercumbu, dan menikah baru diperbolehkan setelah ber tahallul tsani atau tahallul akbar, yaitu setelah ketiga amalan tersebut dikerjakan secara keseluruhan. 

Semua itu dimaksudkan supaya setiap calon haji terlepas dari kebiasaan hidupnya sehari-hari. Pakaian putih dan tidak berjahit mengingatkan mereka pada sosok jenazah yang telah dikafani. 

Berkumpulnya jutaan manusia di Arafah, membawa imajinasi kita kepada situasi Padang Mahsyar, pada hari kiamat kelak yaitu tempat semua manusia dikumpuikan untuk dihisab amalnya. 

Dengan kata lain, jamaah haji diperlakulan septi orang yang telah meninggal dunia dan berada di akhirat. meskipun dalam kenyataan masih hidup dan berada di dunia ini. 

Segala simbol kemewahan dan kesenangan hidup, ketika ihram disingkirkan. Semua tampak sama. Tiada perbedaan antara kaya dan miskin, pejabat dan rakyat jelata. Dengan begitu, ibadah haji diharapkan mampu membentuk pribadi yang bertakwa dan mengembangkan kehidupan di dunia dan akhirat.

Syarat Miqat Dan Cara Haji Dari Indonesia Yang Benar Menurut Fikih Islam

cara miqat haji dari indonesia, cara haji dari indonesia
Tanya : Saya tahun lalu menunaikan ibadah haji, waktu itu ada kiyai yang menyarankan saya agar mengenakan pakaian ihram sejak di Juanda (Surabaya,). Tujuannya supaya nanti menjelang tiba di Jeddah, kira-kira kalau sudah sampai diatas Yalamlam, saya bisa berniat ihram. Sebab katanya miqat dari Indonesia itu Yalamlam. Jadi tidak sah dari Jeddah. Tetapi ketika akan niat ihram dari Yalamlam, saya dicegah oleh seseorang. Katanya, Jeddah memenuhi syarat sebagai miqat. Sebenarnya, mana yang benar Kiyai? Apa sebenarnva syarat-syarat miqat itu ? (HS. Suwanto, Malang)

Jawab : Seperti kita maklumi bersama, salah satu rukun haji adalali ihram, yakni niat haji dan umrah. Ihram wajib dikerjakan sebelum melewati miqat makani. Kalau ketentuan ihram dan miqat dilanggar, konsekuensinya harus memhayar dam. Dam akibat meninggalkan kewajiban, berupa menyembelih kambing yang bisa dijadikan qurban atau sepertujuh kerbau atau onta. 

Oleh karena itu, setiap jamaah perlu mengetahui miqat makani masing-masing. Supaya tidak melewatinya tanpa ihram. Miqat makani adalah tempat-tempat tertentu yang mengitari Makkah, yang telah ditetapkan oleh Rasulullah sendiri untk melakukan ihram. Berdasarkan sebuah hadis Shahih, riwavat dari Ibn Abbas, Rasulullah telah rnenetapkan DzuI Hulailah untuk penduduk Madinah, Juhfah untuk penduduk Syam (Suriah) Qarn a1-Manazil untuk penduduk Najed, dan Yalamlam untuk penduduk Yaman. Tempat-tempat itu, di samping menjadi miqat penduduk setempat, juga menjadi miqat orang yang melaluinya menuju Makkah.
 
Lalu apakah miqaf jamaah haji Indonesia? Apakah boleh ihram dari Jeddah? 

Nahdlatul Ulama pernah membahas masalah tersebut dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, di Kaliurang, Yogakarta pada tanggal 30 Agustus 1981 M. Pada saat itu, diputuskan bahwa lapangan terbang Jeddah tidak memenuhi ketentuan sebagai miqat. Oleh sebab itu, para jamaah haji hendaknya melakukan niat ihram pada waktu pesawat terbang memasuki daerah Qarn Al-Manazil, Yalamlam atau miqat-miqat yang lain yang dilalui setelah mendapat penjelasan dari petugas pesawat yang bersangkutan. Untuk memudahkan pelaksanaannya, para jamaah haji dianjurkan sudah memakai baju ihram sejak dari bandara di Indonesia tanpa niat ihram. Niat ihram baru dilakukan ketika memasuki daerah Qarn A1-Manazil atau Yalamlam. Meskipun begitu, boleh-boleh saja niat ihram sejak berangkat dari Indonesia. Kalau alternatif terakhir yang dipilih, sejak niat ihram, hal-hal yang dilarang ketika ihram, telah berlaku. Keputusan Musyawarah Nasional ini berdasarkan keterangan dari kitab Al-Muhadzdzab I, 303 dan A1-Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, VII, 178). 

Miqat adalah tempat di mana orang yang hendak melakukan ibadah haji, tidak boleh melewatinya kecuali dalam keadaan sudah niat ihram. Miqat sudah ditetapkan Rasulullah. Jadi, tidak ada syarat miqaf yang khusus, kecuali bahwa ia harus sesuai dengan ketetapan Rasulullah.

Rukun Haji Dan Wajib Haji Yang Benar Menurut Fikih Islam

apa itu rukun hai, apa itu wajib haji
Tanya : Dalam satu kesempatan latihan manasik, pembimbing menjelaskan pekerjaan haji ada yang bernama rukun dan kewajiban. Pertanyaan saya apakah perbedaan antara keduanya? Ataukah keduanya sama? 

Jawab : Pertanyaan saudara penanya meskipun sederhana, tetapi sangat penting dan mendasar sekali, sebab berkaitan secara langsung dengan keabsahan ibadah haji yang hendak dikerjakan. Pembekalan diri calon jamaah haji mengenai tata cara pelaksanaan haji secara memadai, jauh lebih penting daripada persiapan material. Meskipun yang terakhir ini tidak bisa dianggap remeh. 

Tetapi karena niat pergi ke tanah suci Makkah adalah untuk beribadah, maka dengan semestinya hal-hal yang bersangkutan dengannya mendapatkan perhatian tersendiri. Jangan sampai ibadah haji yang memakan banyak tenaga dan biaya tersebut tidak diterima Allah Swt., hanya karena kita kurang memahami aturan dan tata cara pelaksanaannya.

Berkaitan dengan itu, salah satu masalah yang perlu diketahui adalah perbedaan antara kewajiban dan rukun haji. dalam kitab-kitab fikih, yang pertama disebut wajibat al-hajj. dan yang kedua dinamakan arkan al-hajj.

Sebelum menjelaskan perbedaan keduanya, ada baiknya disinggung sekilas tentang rukun dan kewajiban haji tersebut. Supaya uraian ini lebih mudah dipahami, sekaligus untuk menyegarkan kembali ingatan para calon jamaah haji akan hal itu. 

Rukun haji (arkan al-hajj)) ada 5 (lima) : niat haji, wuquf di Arafah, thawaf ifadah, sa’i dan mencukur  rambut (al-halq). Kelima rukun ini harus dikerjakan secara berurutan. Yaitu, pertama kali ihram, lalu Wukuf, thawaf dan Sa’i.  Mencukur rambut dapat dikerjakan setelah atau sebelum thawaf. Urutan ini oleh sebagian ulama dimasukkan ke dalam rukun haji. Sehingga rukun haji jumlahnya 6 (enam). 

Sebagian ulama yang lain menganggapnya syarat mengerjakan rukun haji. Baik sebagai rukun maupun syarat, urutan tersebut harus dilaksanakan. Tidak boleh misalnya, mendahulukan wuquf atas ihram. (Nihiyah Az-Zain, 203-206). 

Sedangkan kewajiban-kewajiban haji (wajib al-haji) terdiri dari 5 (lima) hal juga
. Yakni, ihram dan miqat (makani atau zamani), mabit (bermalam atau menginap) di Muzdalifah, melempar jumrah, mabit di Mina, dan thawaf wada ‘ (Nihayah Az-Zain, 208-211). 

Di samping memiliki perbedaan, rukun dan kewajiban haji juga memiliki persamaan. Persamaannya, keduanya wajib dikerjakan. Oleh karena itu, meninggalkannya merupakan perbuatan dosa. 

Adapun segi perbedaannya, rukun haji bila ditinggalkan berakibat pada tidak sahnya haji. Dengan kata lain, ibadah hajinya batal dan tidak dapat diganti dengan membayar denda. Jadi, kalau ada rukun yang ditinggalkan, supaya hajinya sah, mau tidak mau harus melakukan rukun tersebut. Misalnya, kalau seseorang belum thawaf ifadhah, maka wajib mengerjakannya. Begitu juga sa’i, mencukur rambut dan seterusnya.

Yang menjadi masalah, apabila rukun yang ditinggalkan adalah wuquf, Kalau waktunya sudah lewat, yakni mulai masuknya shalat Zhuhur tanggal 9 Dzulhijjah sampai fajar malam hari raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah, maka harus mengqadha’atau mengulangi lagi pada tahun berikutnya.Sebab dengan habisnya waktu, wuquf tidak mungkin lagi dikerjakan. (A1-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i.  I, 418). 

Ketentuan tersebut tidak herlaku untuk hal-hal yang termasuk kategori kewajiban haji (wajibat al-hajj) seperti mabit di Mina dan Muzdalifah. Orang yang meninggalkan salah satunya dapat menggantinya dengan menyembelih kambing, wajb berpuasa 10 (sepuluh) hari, dengan ketentuan 3 (tiga) hari di tempat haji, dan 7 (tujuh) hari setelah pulang. Hal ini seperti firman Allah : 
Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum qurban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu Ia bercukur) maka wajiblah atasnya berfidyah, vaitu berpuasa atau bersedekah atau berqurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, makabagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah Ia menyembelih) qurban rang mudah didapat tetapi jika Ia tidak menemukan (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjid Al-Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. A1-Baqarah: 196) (Al-Iqna’ fi Al-Fazh Abi Syuja’, I, 227). 

Selain rukun dan kewajiban haji, calon jamaah haji juga harus mengetahui apa saja yang diharamkan di tengah-tengah menunaikan ibadah itu, yang disebut muharramat al-ihram, yakni hal-hal yang diharamkan ketika seseorang berstatus muhrim. Dan seyogyanya demi kesempurnaan ibadah haji, diperhatikan pula perkara-perkara yang disunahkan atau sunah al-hajj. Waktu yang masih tersisa, saya kira sangat baik untuk mempelajari hal-hal tersebut di atas. Semoga mendapat haji yang mabrur.

Tabir Wanita