Wednesday, 7 September 2016

Perbedaan Darah Nifas, Istihadah Dan Haid Kaitannya Dengan Mengqadha Puasa Dan Shalat

apa itu darah nifas ? apa itu darah haid ? apa itu darah istihadhah ?
Tanya : Jika seorang perempuan mulai haid pada 1 Ramadhan, kemudian pada 6-10 Ramadan dia suci dan pada 11-15 dia haid kembali. Pertanyaan saya bagaimana dia mengqadha’ puasa, apakah hanya sepuluh hari atau lima belas hari penuh? Padahal saat suci dia berpuasa. Bagaimana dia mengqadha’ shalat? (Imamudin, Tiogosari Semarang)

Jawab : Ada tiga macam jenis darah yang keluar dari farji (kemaluan depan) seorang perempuan, pertama darah nifas, kedua darah istihadhah, dan ketiga darah haid.

Darah nifas adalah darah yang keluarnya mengiringi kelahiran. Orang yang sedang mengeluarkan darah jenis ini, hukumnya sama dengan orang yang sedang haid, artinya dia tidak boleh melakukan segala aktivitas yang dilarang ketika seseorang sedang haid, dia juga wajib mandi apabila darah nifasnya telah berhenti (suci).

Kemudian darah istihadhah adalah darah penyakit yang keluar dari ujung urat di bawah rahim, pada saat seseorang tidak sedang haid atau nifas. Berbeda dengan yang telah saya katakan, orang yang mengeluarkan darah nifas atau darah haid wajib mandi apabila sudah suci, namun orang istihadhah tidak diwajibkan mandi setelah darahnya berhenti. 

Mengapa ? Karena darah istihadhah hanya membatalkan wudhu saja, karena itu apabila segala sesuatu yang dilarang ketika orang sedang haid dan nifas seperti shalat, puasa dan lain-lain tetapi wajib dilakukan oleh mustahadhah (orang yang sedang istihadhah).

(Lebih jelas tentang darah Istihadhah silahkan baca : Pengertian Darah Istihadhah)

Sedangkan darah haid yaitu darah yang dikeluarkan perempuan dalam keadaan sehat, tidak luka dan telah mencapai umur genap sembilan tahun. 

Rasulullah bersabda :
Artinya : “Hal itu memang sesuatu yang sudah digariskan Allah atas anak-anak perempuan Adam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Minimal bisa dikatakan darah haid, apabila darah keluar sehari semalam (24 jam) secara terus menerus, jika kurang dari ukuran ini darah yang keluar itu tidak dinamakan darah haid tetapi darah istihadhah. 

Atau bisa juga lebih dan sehari semalam (selama tidak melebihi batas maksimal haid atau aktsaru al-haidhi), dan keluarnya dengan terputus-putus pada jam-jam tertentu. 

Tetapi apabila jam-jam saat haid tadi, dikumpulkan waktunya bisa mencapai genap sehari semalam, darah itu juga disebut sebagai darah haid. 

Sebaliknya, seorang perempuan mengeluarkan darah dalam waktu dua, tiga, lima atau tujuh hari dan seterusnya sampai batas maksimal haid, tetapi apabila jam-jam saat keluar darah dikumpulkan dan tidak mencapai 24 jam, darah itu bukan dinamakan darah haid melainkan darah istihadhah.

Batas waktu maksimal haid adalah 15 hari (di atas batas ini bukan dinamakan darah haid melainkan istihadhah), pada umumnya waktu haid yang paling banyak dialami oleh para perempuan antara enam dan tujuh hari. 

Dari pertanyaan Anda di atas, ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, mulai tanggal 1-5 mengeluarkan darah dengan terputus-putus, jika jam-jam saat keluarnya darah tersebut dikumpulkan dan mencapai waktu sehari semalam, serta hal itu sesuai tradisi (biasanya dia haid selama 5 hari) darah itu dinamakan darah haid.

Sedangkan darah yang keluar mulai tanggal 11-15 berarti bukan darah haid melainkan darah istihadhah, karena masa suci atau tenggang antara dua haid minimal lima belas hari. 

Kedua, jika ketika mengeluarkan darah tanggal 1-15, lalu dikumpulkan jam-jam keluarnya telah mencapai sehari semalam. Penjelasannya lima hari pertama mengeluarkan darah, namun setelah jam-jam keluarnya dikumpulkan belum mencapai 24 jam.

Selanjutnya baru mencapai 24 jam jika digabungkan dengan tanggal 11-15 dan hal itu sesuai dengan kebiasaannya, maka darah yang mulai keluar tanggal 1-15 itu dinamakan darah haid 

Ketiga, dalam kebiasaannya seorang perempuan mengeluarkan haid hanya beberapa hari (tidak sampai 15 hari), dan ketika mengeluarkan darah mulai tanggal 1-5 apabila dikumpulkan jam-jam keluar darahnya tidak mencapai 24 jam, sedangkan ketika mulai mengeluarkan darah mulai tanggal 11-15 apabila dikumpulkan jam-jam haidnya bisa mencapai 24 jam, darah yang keluar mulai tanggal 1-5 bukan darah haid (darah istihadhah) melainkan darah yang keluar mulai tanggal 11-15 dinamakan darah haid.

Keempat, jika mengeluarkan darah dari tanggal 1-15 apabila dikumpulkan jam-jam waktu keluar darahnya tidak mencapai batas minimal haid, darah itu bukan darah haid melainkan darah istihadhah. 

Jadi untuk kasus pertama, orang wajib mengqadha’ puasanya mulai tanggal 1-5, sedangkan mulai tanggal 6 sampai seterusnya dia wajib melakukan puasa dan shalat karena sudah dalam keadaan suci.

Dan untuk kasus yang kedua, seseorang wajib meng-qadha’ puasanya selama 15 hari penuh, jika terlanjur puasa atau shalat saat haid berhenti tetapi masih dalam masa haid (dalam kasus ini mulai tanggal 6-10), maka puasa dan shalatnya dianggap tidak sah, bahkan haram melakukan puasa atau shalat pada waktu seseorang tahu bahwa dia dalam keadaan sedang haid. 

Sedangkan untuk kasus yang ketiga, seseorang wajib mengqadha’ puasa hanya mulai tanggal 11-15, sedangkan mulai tanggai 1-10 dia tetap wajib melakukan puasa dan shalat karena dia masih suci.

Kemudian untuk kasus yang terakhir, seseorang wajib melakukan puasa dan shalat mulai tangal 1 sampai seterusnya. 

Berdasarkan uraian di atas, untuk menentukan apakah darah yang keluar itu darah haid atau bukan penting sekali seorang perempuan melihat bagaimana kebiasaan waktu perempuan tersebut dalam mengeluarkan haid. 

Apakah biasanya di awal bulan, tengah bulan, atau akhir bulan? Atau apakah biasanya dia mengeluarkan haid hanya selama satu hari, enam hari, tujuh hari ataukah lima belas hari penuh, karena seperti kaidah yang terdapat dalam fikih “al ‘adah muhakkamah “ kebiasaan bisa dijadikan hukum. 

Adapun untuk masalah shalat yang ditinggalkan selama berlangsungnya masa haid hal itu tidak perlu diqadha karena merupakan bagian dari rukhshah bagi haid (orang yang haid).

Malaikat Tidak Makan, Tidak Minum, Tidak Bosan Dan Tidak Letih (Iman Kepada Malaikat)

rukun iman, bilik islam
Malaikat Tidak Makan dan Tidak Minum
Sebelumnya, telah diulas pada postingan sebelumnya bahwa para Malaikat tidak disifati dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan,demikian pula mereka tidak butuh kepada makanan manusia serta minuman mereka. 

Allah SWT telah mengabarkan kepada kita tentang Malaikat yang mendatangi Nabi Ibrahim RA dalam rupa manusia, maka Nabi Ibrahim AS menyuguhkan makanan kepada mereka akan tetapi tangan mereka tidak menyentuh makanan tersebut sedikit pun. Maka Nabi Ibrahin pun merasa takut kepada mereka, hingga ditampakkanlah hakikat (bahwa) mereka (adalah Malaikat, dan hilanglah rasa takut Nabi Ibrahim RA kemudian beliau pun beristhigfar kepada Allah. 

Allah SWT berfirman :
Artinya: “Sudahkah sampai kepadamu (wahai Muhammad) cerita para tamu Ibrahim (yaitu para Malaikat) yang dimuliakan ? (lngatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalau mengucapkan, “Salaam” Ibrahim pun menjawab, ‘Salaam ‘(Mereka itu) orang-orang yang belum dikenainya. Maka diam-diam Ia (Ibrahim) pergi menemul keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim, berkata, “Mengapa tidak kamu makan?” Maka Ia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut“ dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (ishaq).” (QS. Adz-Dzaariyaat:24.28)
 
Dalam ayat yang lain, Allah SWT befirman : 
Artinya : “Maka, ketika (Nabi Ibrahim) melihat tangan mereka takut ketika tidak menjamah (hidangan tersebut), Ibrahim pun mencurigai mereka dan merasa takut kepada mereka. Mereka (para Malaikat) berkata, ‘Jangan takut Seseungguhnya kami adalah (Malaikat-Malaikat) yang diutus kepada kaum Luth.” (QS. Huud: 70) 

Para Malaikat Tidak Merasakan Bosan dan Tidak Letih
Para Malaikat senantiasa beribadah kepadah Allah SWT,taat kepada-Nya serta melaksanakan perintah-perintah-Nya tanpa rasa letih dan bosan. Tidaklah mereka merasakan apa yang umumnya dirasakan oleh manusia dan perkara tersebut. 

Allah Ta’ala berfirman tentang sifat para Malaikat :
Artinya : “Mereka (Malaikat-malaikat) itu bertasbih malam dan siang, tidak ada henti-hentinya.” (QS.Al-Anbiyaa’:20) 

Makna (Laa Yafturun) dalam surat Al- Anbiya ayat 20 adalah tidak merasa lemah.
 
Dalam ayat lain, Allah SWT Berfirman :
Artinya : “Jika orang-orang itu menyombongkan diri,maka mereka (Malaikat) yang di sisi Rabb-Mu justru bertasbih kepada-Nya siang dan malam, dan mereka tidak pernah merasa jemu.” (QS. Fushshilat:38)

Jenis Kelamin Malaikat (Iman Kepada Malaikat)

sifat kelamin malaikat
Malaikat Tidak Disifati dengan Jenis Laki-laki maupun Perempuan
Diantara sebab sesatnya manusia ketika berbicara tentang alam ghaib bahwa sebagian mereka berusaha untuk menakar alam ghaib ini dengan ukuran manusia yang bersifat duniawi. Maka, pernah kami dapati salah seorang diantara mereka dalam makalahnya disebuah koran mereka merasa heran bahwa Jibril pernah datang kepada Rasullah SAW. 

Bagaimana mungkin Jibril mampu datang dalam kecepatan yang luar biasa ini, sementara cahaya saja membutuhkan berjuta-juta tahun cahaya untuk sampai dari satu bintang ke bintang yang lain dilangit ? 

Orang seperti ini tidak mengerti,bahwa perumpamaannya adalah seperti perumpamaan nyamuk yang berusaha untuk mengukur kecepatan pesawat terbang dengan suatu kadar ukuran tertentu.Andai saja orang tersebut memikirkan perkara tersebut, niscaya ia akan mengetahui bahwa alam Malaikat memiliki kadar-kadar ukuran yang sama sekali berbeda dengan ukuran-ukuran yang berlaku pada kita selaku manusia. 

Sungguh dalam perkara ini, orang-orang musyrik Arab yang menyangka bahwa Malaikat adalah berjenis perempuan telah sesat. Perkataan mereka yang jauh dari kenyataan ini bercampur dengan khurafat yang lebih besar, dimana mereka menyangka bahwa para Malaikat adalah anak-anak perempuan Allah SWT. 

Al-Qur’an mengajak mereka berdialog mengenai dua perkara ini. Al Qur’an telah menjelaskan bahwa (keyakinan) mereka tidak bersandar kepada dalil yang Shahih dalam perkara yang menjadi pendapat mereka,dan ucapan mereka adalah ucapan yang serampangan.Yang mengherankan juga adalah bahwasanya mereka menisbatkan anak-anak perempuan bagi Allah SWT. Padahal mereka tidak suka dengan anak-anak perempuan. Tatkala salah seorang diantara mereka diberi kabar gembira dengan dikaruniai rizqi berupa anak perempuan, maka merah padamlah wajahnya disertai kemarahan yang sangat. Terkadang ia bersembunyi dari khalayak karena malu yang disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Adakalanya, ia bersikap melampaui batas sampai-sampai ia tega menguburkan anak perempuan tersebut kedalam tanah hidup-hidup. 

Bersamaan dengan itu semua, mereka justru menisbatkan anak kepada Allah SWT,dan menyangka bahwa anak-anak tersebut adalah perempuan. Demikianlah khurafat tersebut tumbuh dan menyebar diakal orang-orang yang tidak disinari hidayah (petunjuk dari Allah SWT). Simaklah ayat berikut yang menceritakan khurfat ini disertai dialog bersama para pelaku khurafat tersebut. 

Allah SWT berfirman :
Artinya : “Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (Orang-orang kafir Mekah), “Apa anak perempuan itu untuk Rabb mu sedangkan untuk mereka anak laki-laki ? Atau apakah kami menciptakan Malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan (nya)? Ingatlah Sesungguhnya diantara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan, Allah mempunyai anak dan sungguh, mereka benar-benar pendusta Apakah Dia (Allah) memliki anak-anak perempuan dari pada anak-anak laki-laki ? Mengapa kamu tau ? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka mengapa kamu tidak memikirkan ? Ataukah kamu mempunyai bukti yang jelas.” (QS.Ash-Shafaat: 149-156).

Allah SWT telah menjadikan ucapan mereka ini sebagai persaksian yang dengannya mereka nanti akan dihisab. Padahal diantara dosa yang paling besar adalah berbicara atas Nama Allah tanpa dasar ilmu. Allah SWT berfirman : 

Artinya : “Dan mereka menjadikan para Malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apa mereka menyaksikan penciptaan (Malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungn (QS.Az-Zukhruf : 19).

Kedudukan Para Malaikat Di Sisi Allah (Iman Kepada Malaikat)

Sebaik-baik sifat yang diberikan kepada Malaikat adalah bahwa mereka hamba-hamba Allah, akan tetapi mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Telah kami sebutkan pengakuan orang-orang musyrik bahwa para Malaikat adalah anak-anak perempuan Allah merupakan pengakuan yang bathil tidak ada kebenarannya sama sekali. 

Allah Azza Wajalla telah mendustakan orang-orang yang berkata demikian dengan ucapan ini (yaitu bahwa para Malaikat adalah hamba-hamba Allah), dan Allah telah menjelaskan tentang hakikat Malaikat serta kedudukan mereka di banyak tempat pembahasan. Allah Ta’ala berfirman :
 
Artinya : “Dan mereka berkata, “ Rabb Yang Maha Pengasih telah menjadikan (Malaikat) sebagai anak.” Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para Malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (Malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafa‘at melainkan kepada orang-orang yang di Ridhai (Allah), dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Maka Ia akan kami beri balasan dengan Jahannam. Demikianlah kami memberikan balasan kepada siapa saja yang berbuat zhalim”. (QS. Al- Anbiyaa’: 26-29)

Malaikat adalah hamba yang disifati dengan seluruh sifat ‘Ubudiyah (penghambaan), mereka melakukan pelayanan, dan melaksanakan berbagai perkara yang diberitahukan. Ilmu Allah meliputi mereka. Mereka tidak mampu untuk melampaui perintah dan melanggar berbagai perkara yang diberitahukan mereka. Dan mereka senantiasa merasa takut kepada Allah. Seandainya dimungkinkan sebagian mereka melakukan tindakan melampaui batas, maka sungguh Allah akan meng-adzab mereka sebagai balasan atas pembangkangannya.

Diantara kesempurnaan penghambaan Malaikat adalah mereka tidak mendahului Allah dengan memberikan usulan dan mereka pun tidak menyanggah satu perintah pun dari sekian banyak perintah, melainkan mereka senantiasa menunaikan perintah-penintah-Nya dan bersegera memenuhi seruannya. Allah berfirman :

Artinya : “Mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.”(QS. Al- Anbiyaa’: 27) 

Dan mereka, para Malaikat, tidak mengerjakan sesuatu pun selain yang di perintahkan Allah SWT kepada mereka. Perintah Allah lah yang menggerakkan mereka dan perintah Allah pula yang menghentikan mereka pula.

Inti Kandungan Iman Terhadap Malaikat

iman kepada malaikat, keutamaan iman kepada malaikat.
Iman pada Malaikat Allah SWT Mengandung Empat Perkara
1. Iman dengan keberadaan mereka para malaikat.

2. Iman kepada siapa yang telah kita ketahui namanya diantara mereka dengan namanya itu sendiri, seperti Jibril, sedangkan siapa yang belum kita ketahui namanya, maka kita beriman kepadanya secara global (masuk dalam iman pada keseluruhan Malaikat). 

3. Iman pada apa yang kita ketahui tentang keadaan mereka, seperti sifat Jibril yang Nabi telah mengabarkan bahwa beliau melihatnya, dengan bentuk asli penciptaanya dengan 600 sayap yang telah menutup ufuk. Kadang Malaikat berubah bentuk ke bentuk laki-laki sebagaimana yang terjadi pada Jibril. dalam hadits tentang pertanyaannya masalah iman dan islam yang telah diulas sebelumnya. 

4. Iman pada apa yang telah kita ketahui tentang amal perbuatan mereka dalam merealisasikan perintah-perintah Allah seperli bertasbih dan beribadah kepada Allah siang dan malam, karena sesungguhnya Malaikat tercipta dengan tabi’at-tabi’at menaati Allah SWT. Dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk bermaksiat. 

Allah berfirman :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakamya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan..” (QS. At-Tahrim: 6) 

Jadi, perbuatan mereka meninggalkan kemaksiatan dan melaksanakan ketaatan merupakan tabi’at penciptaan, Allah tidak membebani mereka sedikitpun mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) sebab mereka tidak mempunyai syahwat.

Ibadah-Ibadah Para Malaikat (Iman Kepada Malaikat)

mengenal malaikat allah
Para Malaikat adalah hamba-hamba Allah (yang selalu beribadah kepada-Nya), mereka di bebani untuk selalu taat kepada-Nya. Mereka mengerjakan ibadah dan beragam urusan lainnya, dengan mudah dan ringan. Dan akan kami sebutkan di sini sebagian ibadahnya para Malaikat yang telah disebutkan oleh Allah atau yang dikabarkan oleh Rasul-Nya.

1. Malaikat Bertasbih
Para Malaikat senantiasa berdzikir kepada Allah Ta’ala, dan seagung-agung dzikir selalu bertasbih kepada Allah. 

Allah berfirman, yang artinya : “(Malaikat-Malaikat) yang memikul ‘Arsy dan (Malaikat) yang berada di sekeliling ‘Arsy bertasbih dengan memuji Rabb-Nya dan mereka beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan bagi orang-orang yang beriman (seraya berkata), “Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan (agama)-Mu dan peliharalah mereka dari adzab Neraka.”(QS. Ghaa fir: 7)

Sebagaimana bertasbihnya para Malaikat, yang mereka secara umum juga bertasbih kepada Allah. Allah berfirman :
Artinya : “Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Allah) dan Malaikat-Malaikat bertasbih memuji Rabb-Nya dan mereka memohonkan ampunan bagi orang-orang yang ada di bumi. lngatlah, sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy- Syuraa’: 5)

Tasbihnya mereka kepada Allah berlangsung secara terus menerus, siang maupun malam. Allah berfirman :
Artinya : “Mereka (Malaikat-Malaikat) bertasbih tidak henti-hentinya malam dan siang.” (QS. Al-Anbiyaa’: 20) 
 
Dan karena banyaknya tasbih mereka, maka sesungguhnya mereka para Malaikat adalah makhluk yang bertasbih dengan sebenar-benarnya, dan layak bagi mereka untuk berbangga dengan hal itu. Firman Allah :
Artinya : “Dan sesungguhnya kami selalu teratur dalam barisan (dalam melaksanakan perintah Allah). Dan sungguh, kami benar-benar terus bertasbih (kepada Allah).” (QS. Ash-Shaffaat: 165-166) 

Dan tidaklah mereka, para Malaikat, memperbanyak tasbih melainkan karena tasbih adalah dzikir yang paling utama. Sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, dan Abu Dzaar ra. Ia berkata “Rasulullah ditanya, “Apakah dzikir yang paling utama..? “Beliau menjawab, “Apa yang Allah pilihkan bagi para Malaikat-Nya atau bagi para hamba-Nya, yaitu; Subhaanallaahi wa bihamdih (Mahasuci Allah dan bagi-Nya Segala puji).

2. Majaikat Bersholat
Nabi Muhammad SAW menekankan kepada para sahabat beliau agar supaya meneladani para Malaikat dalam hal berbaris untuk mengerjakan shalat.
Beliau bersabda “Tidakkah kalian berbaris seperti berbarisnya para Malaikat di hadapan Rabb-Nya...” Dan ketika beliau di tanya bagaimana berbarisnya para Malaikat, maka beliau menjawab “Mereka menyempurnakan (dahulu) barisan pertama, kemudian barulah yang setelahnya. Dan mereka (para Malaikat) saling merapat dalam shaf (barisan).” (HR. Al- Jama’ah Bighairi Bukhori). 

Juga dalam ayat Al-Qur’an yang mengabarkan tentang Malaikat :
Artinya : “Dan sesungguhnya Kami selalu teratur dalam barisan (dalam melaksanakan perintah Allah).” (QS. Ash-Shaaffaat: 165) 

Mereka para Malaikat berdiri, ruku’, dan sujud (dalam rangka beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla). Disebutkan dalam Kitab Musykiilul Aatsaarkaiya Ath-Thahawi juga oleh Ath-Thabrani, Ketika Rasulullah sedang bersama para sahabatnya, beliau bertanya kepda mereka, "Apakah kalian mendengar apa nyang telah aku dengar..? 

Mereka menjawab, Kami tidak mendengar apapun.” 

Lantas beliau bersabda :
“Sesungguhnya aku mendengar rintih kelelahan langit. Dan tidaklah tercela langit tersebut merintih kelelahan, karena tidak ada tempat sejengkal pun melainkan disana terdapat malaikat yang sedang bersujud atau berdiri.”

3. Malaikat Berhaji
Para Malaikat memiliki Ka’bah tersendiri di langut ke tujuh, dimana mereka menunaikan Haji padanya. Ka’bah inilah yang disebutkan oleh Allah SWT dengan nama Baitul Makmur. Allah Ta’ala bersumpah dengannya di Surat At- Thuur : ayat 4 : “Demi Baitul Makmur (Ka’bah)”. 

Rasulullah SAW bersabda di dalam hadist tentang Isra’, yaitu setelah beliau melewati langit yang ketujuh :
Artinya : "Kemudian aku pun di bawa naik ke Baitul Ma’mur. Ternyata setiap hari Ia dimasuki oleh 70 ribu Malaikat, dan mereka tidak kembali kepadanya di akhir kewajiban mereka.” (HR. Muslim) 

Terdapat 70.000 Malaikat yang melakukan ibadah shalat setiap hari kepada Allah dan mengerjakan Thawaf sebagaimana penduduk bumi berthawaf di Ka’bah mereka. Baitul Makmur adalah Ka’bah bagi penduduk langit yang ketujuh. Dan pada suatu ketika Rasulullah mendapati Nabi Ibrahim AS, menyandarkan punggungnya ke Baitul Makmur karena beliaulah yang membangun Ka’bah yang ada di bumi.

Al-Hadz lbnu Katsir ra, juga menyebutkan bahwasanya Baitul Makmur berada tepat di atas Ka’bah, seandainya Baitul Makmur jatuh, maka akan tepat menjatuhi Ka’bah di Kota Mekkah. Disebutkan juga bahwa pada setiap langit terdapat rumah yang digunakan untuk beribadah bagi penghuni langit tersebut, dan mereka mengerjakan shalat di dalamnya. Adapun rumah ibadah yang paling bawah dinamakan Baitul ‘lzzah.
 
4. Takutnya Malaikat Kepada Allah SWT. 
Tatkala pengetahuan para Malaikat tentang Rabb mereka sangatlah besar, maka pengagungan dan rasa takut mereka pun kepada Allah sangatlah besar. Besarnya rasa takut pada Malaikat kepada Rabb mereka dapat tergambar melalui hadist yang diriwayatkan oleh An-Nawwaas bin Sam’an, ia berkata, Rasulullah bersabda :
“Apabila Allah hendak memberikan perintah, maka Allah berbicara dengan wahyu, sehingga seluruh langit-langit pun bergetar karenanya, karena sangat takutnya kepada Allah. Dan apabila hal itu terdengar oleh penduduk langit, maka mereka tersungkur sujud kepada Allah, dan (Malaikat) Yang pertama kali mengangkat Kepalanya adalah Jibril, maka Allah Ta‘ala pun menyampaikan wahyu yang ia inginkan kepada Jibril (HR. Ibnu Janir, lbnu Khuzaimah, Ath-Thabrani, dan Ibnu Abi Khatim dengan lafadz darinya). 

Adapun dalam Kitab Al-Mu’jamu Ausaathkary’a Imam Ath- Thabrani dengan Sanad yang Hasan dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda :
“Aku melintasi para Malaikat pada malam aku di Isra‘ kan, sementara Jibril bagaikan alas tikar yang basah karena takut pada Allah Ta’ala.” (Lihat Shahih Al-Jaami’:l//206).

Tuesday, 6 September 2016

Hukum Wanita Muslim Berzakat (Dialog Wanita dan Islam)

Hukum Wanita Muslim Berzakat (Dialog Wanita dan Islam)

Wanita bertanya : Apakah kewajiban zakat itu juga berlaku bagi kaum wanita?

Islam menjawab : Sebagaimana dijelaskan didalam suatu riwayat yang bersanad dari Abu Bakar ra,yang berbunyi :” inilah kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw, atas kaum muslimin”(Riwayat Bukhori). Sedangkan yang dimaksud kaum muslimin diatas adalah mencakup lapisan orang islam, baik itu laki-laki ataupun wanita,dewasa atau anak-anak. Jadi kaum wanita itu juga mempunyai kewajiban untuk berzakat ,bila mereka mempunyai kekayaan yang telah mencapai nisab.

Perbandingan Zakat Petani Dan Pedagang Menurut Fikih Islam

bab zakat, zakat islam, hukum zakat, rincian zakat, tata cara zakat
Tanya : Begini Kiyai menurut saya antara nishab zakat padi (700 kg/ketika panen) dan nishab perdagangan atau yang sejenis (seharga 94 grarn/tahun) kurang memberikan rasa keadilan. Hal itu mengingat antara petani dan pedagang terdapat perbedaan dalam arti pedesaan dan perkotaan. Apalagi tingkat perekonomian yang berbeda jauh, belum lagi tingkat persaingan harga si petani padi yang jauh lebih rendah. Mengapa kewajiban. zakat si petani mencapal 5% atau 10% sekali panen sedangakan pedagang hanya 2,5% dalam setahun. Di manakah tingkat perbedaannya dan apakah ketentuan tersebut bisa ditafsirkan kembali yang lebih adil? (Ahmad Zulfa, Semarang) 

Jawab : Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah fardhu‘ain dan merupakan kewajiban ta‘abudi. Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan rukun. Dalam Al Quran perintah zakat sama pentingnya dengan perintah shalat. Namun demikian, kenyataannya rukun Islam yang ketiga tersebut belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 

Pengelolaan dan distribusi zakat di masyarakat masih memerlukan bimbingan baik dari segi syariah maupun perkembangan zaman. Seperti zakat hasil bumi, profesi dan lain-lain yang masih menjadi kontroversi. 

Ketika kita menyebut petani atau pertanian, maka yang tergambar dalam benak kita adalah hasil bumi. Hasil bumi di negeri kita ini sangat beragam, karenanya berkaitan dengan zakat terlebih dahulu saya sampaikan hasil bumi macam apa yang di kenai wajib zakat. Dalam hal ini ada perbedaan madzhab empat, sebagai berikut :
  1. Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi, kecuali kayu, rumput dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbuah, wajib dizakati.
  2. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati kecuali buah-buahan yang berbiji seperti buah jambu pir dan lain-lain.
  3. Menurut Imam Syafi’i, setiap tumbuh-tumbuhan makanan yang menguatkan, tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib di zakati.
  4. Menurut Imam Ahmad bin Hambal, biji-bijian, buah-buahan, dan rumput yang ditanam wajib di zakati. Begitu pula tanaman-tanaman lain yang mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, buah tin dan mengkudu wajib pula untuk dizakati. 

Sedangkan untuk hasil bumi yang lain seperti tembakau dan cengkih wajib dizakati apabila diperdagangkan. Dengan demikian, ketentuannya sama dengan zakat tijarah (perdagangan) bukan zakat ziraah (hasil bumi).

Dalam kitab-kitab kuning, nishab padi adalah 5 (lima) wasak. Sedangkan nishab harta dagangan adalah sama dengan nishab emas murni (24 karat) yaitu 20 (dua puluh) dinar. Berdasarkan ukuran. yang telah dikonversikan dalam ukuran yang biasa kita pakai, nishab padi adalah sekitar 1323,132 kg (bukannya 700 kg) dengan zakat 5% atau 1/20 setiap kali panen. Jadi, kira-kira 66,156 kg setiap 1323,132 kg. Sementara nishab emas atau barang dagangan adalah 77,58 gr dengan zakat 2,5% atau 1/40. Artinya, 1,9395 gr setiap barang dagangan senilai 77,58 yang telah mencapai haul (satu tahun). Kalau ada yang mengatakan 94 gr (tepatnya 93,096), maka itu adalah standar emas 20 (dua puluh) karat. (lihat dalam kitab-kitab atau buku konversi Indonesia). 

Melihat aturan itu dengan kondisi ekonomi domestik semacam ini, rasanya memang patut untuk mengatakan kurang adil karena di satu sisi petani yang mendapatkan rezekinya dengan usaha sangat susah-payah dan biaya mahal ternyata dikenai zakat yang relatif tinggi. Sementara para pedagang yang mendapatkan rezekinya lebih mudah ternyata dikenai zakat lebih rendah dan petani. 

Kalau kita runut secara historis, ada beberapa alasan sampai ditentukan prosentase sedemikian rupa. Pertama, tingkat kepayahan pedagang saat itu sangatlah jauh dibandingkan dengan para petani. Kalau petani hanya menanam, merawat (kalau perlu) kemudian menunggu hasilnya, maka pedagang saat itu haruslah berjalan ratusan kilometer bahkan sampai menyebarang ke negara lain dan perlu waktu berbulan-bulan atau tahun untuk menjajakan dagangannya. Kedua, risiko yang ditanggung para pedagang lebih tinggi dibandingkan dengan para petani. Kalau peani kemungkinannya hanya rugi modal (itu pun kemungkinannya sangat kecil), maka pedagang bisa lebih dari itu. Ia bisa mengalami kebangkrutan karena adanya fluktuasi harga dagangannya, belum lagi keamanan jiwa dan harta dagangannya di perjalanan. Ketiga, komoditas pertanian biasanya berupa kebutuhan kebutuhan pokok sehingga harganya akan konstan dan pasti dibutuhkan. Sementara dalam perdagangan, tidak demikian. 

Terlapas dan kondisi di atas, masalahnya adalah bagaimana ketika kita melihat praktik perdagangan dan pertanian dalam konteks zakat di Indonesia yang dari aspek sosial ekonomi maupun aspek syariat terasa kurang relevan dan membuat tanda tanya besar?

Secara teologi, kita yakin bahwa Islam adalah agama yang universal untuk seluruh umat di semua belahan dunia. Pernahkah kita membayangkan kondisi pertanian di luar Indonesia, negara negara maju misalnya? Dan pernahkah kita membayangkan sistem perekonomian selain Indonesia? Di negara-negara agraris dan negara maju, petani adalah warga negara yang makmur (kaya dan bekecukupan), karena komoditas pertanian tidak memiliki keterpautan harga terlalu jauh dengan barang yang bukan kebutuhan pokok. Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia yang terpaut sangat jauh. Gambarannya kalau di negara lain nilai 1 (satu) ton padi sama dengan sepeda motor baru, maka di Indonesia perlu berpuluh-puluh ton untuk itu. Kalau secara obyektif, dibandingkan dengan negara-negara lain patut dikatakan kebijakan ekonomi kita yang kurang berpihak pada dunia pertanian bahkan sepertinya petani-petani itulah yang memberikan subsidi kepada pemerintah dan seluruh rakyat berupa harga beras yang sangat murah jika di bandingkan dengan biaya produksinya. Bagaimana mungkin 1 (satu) kg beras hanya bernilai seperempat bahkan seperlima dolar? Pernahkah kita membayangakan kehidupan petani jika harga beras setengah dolar saja? 

Waihasil, terlepas dari zakat itu ibadah ta‘abbudi, hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang berlaku universal untuk seluruh dunia semacam zakat harus juga ditinjau secara universal. Jangan sampai terjebak dan terkooptasi kondisi lokal. Sebab apabila tinjauan itu berangkat dari kondisi lokal, bukan tidak mungkin di belahan bumi yang lebth luas timbul negasi dan pertanyaan Anda.

Tabir Wanita