Wednesday, 23 September 2015

Persoalan Seputar Qurban

Tanya : Hewan apa sajakah yang dapat digunakan untuk berqurban dan bolehkan orang yang berqurban memakan dagingnya? Sekarang ini saya melihat bahwa banyak orang-orang yang menjual anggota tertentu dari hewan qurban semisal kulit, boleh apa tidak Kiai? (Nursalaim A’la, Wonokromo)

Jawab : Qurban dalam terminologi fikih sering disebut dengan udhhiyyah, yaitu menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. mulai terbitnya matahari pada hari raya Idul Adha (yaum an-nahr) sampai tenggelamnya matahari di akhir hari tasyrik yaitu hari tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Berqurban sangat dianjurkan bagi orang orang yang mampu karena qurban memiliki status hukum sunnah muakkadah, kecuali kalau berqurban itu sudah dinadzarkan sebelumnya, maka status hukumnya menjadi wajib. Anjuran berqurban banyak disebutkan dalam hadis di antaranya yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa tidak ada amal anak manusia pada hari nahr yang lebih dicintai Allah melebihi mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sebelum anjuran itu dalam Al-Quran, Allah Swt. juga sudah menganjurkan hamba hamba-Nya untuk barqurban. Pesan ini termaktub dalam Al-Quran sebagai berikut: 

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.”(QS. Al-Kautsar: 2)

Berqurban merupakan ibadah yang muqayyadah, karena itu pelaksanaannya diatur dengan syarat dan rukunnya. Tidak semua hewan dapat digunakan dalam arti sah untuk berqurban. Hewan yang sah untuk berqurban hanya meliputi an‘am saja yaitu sapi, kerbau, onta, domba atau kambmg, dengan syarat bahwa hewan-hewan tersebut tidak menyandang cacat, gila, sakit, buta, buntung, kurus sampai tidak berdaging atau pincang. Cacat berupa kehilangan tanduk, tidak menjadikan masalah sepanjang tidak merusak pada daging.

Dalam praktiknya, berqurban dapat dilaksanakan secara pribadi atau orang perorang dan dapat pula secara berkelompok. Setiap 7 (tujuh) orang dengan seekor sapi atau kerbau atau onta. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadis dan shahabat Jabir sebagai berikut:

Artinya: “Nabi memerintahkan kepada kami berqurban satu unta atau satu sapi untuk setiap tujuh orang drin kami.” (Muttafaq‘alaih)

Adapun qurban kambing hanya dapat mencukupi untuk qurban bagi seorang saja. (Al-Iqna 277-278). (baca juga : hukum patungan membeli hewan qurban)

Berdasarkan perbedaan status hukumnya antara sunah dan wajib, distribusi daging qurban sedikit berbeda. Bagi mereka yang berqurban, boleh bahkan disunahkan untuk ikut memakan daging qurbannya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran sebagai berikut:

Artinya: “Dan makanlah sebagian daripadanya (an‘am) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orag yang sengsara lagi faqir. “ (QS. A1-Hajj: 28)

Begitu pula yang diceritakan dalam hadis bahwa Rasulullah memakan hati hewan qurbannya. Ketentuan diperbolehkan mengambil bgian dari hewan qurban adalah 1/3 dari hewan qurban. Adapun bagi mereka Yang berqurban karena wajib dalam hal ini nadzar, maka tidak boleh atau haram memakan dagingnya. Apabila dia memakannya maka wajib mengganti sesuatu yang telah dimakan dari qurbannya.

Lalu bagaimana kalau salah satu bagian hewan qurban itu dijual? Pada prinsipnya qurban adalah sedekah yang diperuntukkan bagi kaum dhu’afa, fakir miskin secara cuma-cuma. Karena itu, pemanfaatannya juga tidak boleh keluar dari batas-batas itu termasuk di dalamnya menjual anggota qurban. Dalam kitab Iqna’ disebutkan bahwa tidak diperkenankan menjual sesuatu dari hewan qurban berdasar pada sebuah hadis riwayat Hakim sebagaimana berikut ini:

Artinya: “Barangsiapa menjual kulit qurbannya, maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Hakim)

Ini berarti penyembelihan itu hanya menjadi sedekah biasa tanpa mendapatkan keutamaan besar dari qurban. Tapi boleh bagi yang berqurban untuk mengambil kulitnya untuk dimanfaatkan menjadi sandal, sepatu, tempat air dan sebagainya. Namun demikian tetap saja tidak boleh dijual bahkan dianjurkan menyedekahkannya karena lebih utama. Tidak diperkenankan pula membayar tukang menyembelih hewan dengan bagian dari hewan qurban sebagai upah, semisal membayar tukang jagal dengan kulit qurban, kepala dan kakinya. (baca juga : cara menyembelih dan memotong hewan)

Daging qurban disyaratkan untuk dibagikan kepada fakir miskin dalam keadaan masih mentah atau tidak berupa masakan. Ketentuan ini mengandung maksud agar fakir miskin dapat secara bebas mentasharufkannya, apakah itu untuk dimasak sendiri ataukah untuk dijual karena pada dasarnya daging itu adalah hak mereka.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tuesday, 22 September 2015

Rukun Iman

1. Iman kepada Allah SWT
Iman kepada Allah artinya kita nyakin dan percaya bahwa Allah itu ada, Allah yang menciptakan kita.

Yang dimaksud beriman kepada Allah adalah meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT adalah tuhan yang menciptakan manusia, bumi, bulan, bintang, dan seluruh alam semesta. Iman kepada Allah harus ada pengucapan persaksian atau pengakuan bahwa Allah itu ada dan tidak ada tuhan selain Allah. Menciptakan manusia dan makhluk lainnya serta yang menggerakan alam semesta.

2. Iman Kepada Malaikal-Malaikat Allah

Malaikat adalah makhluk gaib, tidak kelihatan oleh mata biasa, sebab malaikat diciptakan Allah dari cahaya (nur). Malaikat mencabut nyawa, menyampaikan wahyu, mencatat amal baik dan buruk, pemberi rezeki dan lain-lain.

3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah
Yang dimaksud dengan beriman kepada kitab-kitab Allah SWT adalah bahwa setiap kaum muslimin wajib percaya bahwa Allah menuurunkan kitab-kitabNya kepada Rasul-Nya. Kitab suci itulah yang dijadikan pedoman hidup bagi manusia.

4. Iman Kepada Rasul-Rasul Allah SWT
Yang dimaksud dengan beriman kepada Rasul Allah adalah meyakini dan percaya bahwa Allah memilih manusia pilihan untuk diangkat sebagai utusanNya, untuk menyampaikan ajaran tauhid kepada umat manusia. Para rasul ini menerima wahyu Allah dengan perantaran malaikat Jibril 

Jumlah Nabi sangat banyak. Namun umat Islan wajib mengetahui sebanyak 25 Nabi Rasul.

Nama 25 Nabi dan Rasul
1. Nabi Adam a.s
2. Nabi Idris a.s
3. Nabi Nuh a.s
4. Nabi Hud a.s
5. Nabi SaIIeh a.s
6. Nabi Ibrahim a.s
7. Nabi Luth a.s
8. Nabi Ismail a.s
9. Nabi Ishak a.s
10. Nabi Yakub a.s
11. Nabi Yussuf a.s
12. Nabi Ayyub a.s
13. Nabi Syuaib a.s
14. Nabi Musa a.s
15. Nabi Harun a.s
16. Nabi Zulkifli a.s
17. Nabi Daud a.s
18. Nabi Sulaiman a.s
19. Nabi Ilyas a.s
20. Nabi Ilyasa a.s
21. Nabi Yunus a.s
22. Nabi Zakaria a.s
23. Nabi Yahya 0.5
24, Nabi Isa a.s
25. Nabi Muhammad s.a.w

5. Iman Kepada Hari Akhir/Kiamat
Yang dimaksud dengan beriman kepada hari kiamat adalah menyakini bahwa alam seluruh isinya akan hancur. Atau Allah akan memusnakan dunia dan seluruh isinya kemudian diganti dengan kehidupan akherat. Umat islam wajib meyakini bahwa hari kiamat pasti akan datang. Tetapi kapan datangnya? hanya Allah SWT yang tahu, sebagian firman-nya dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 187
“Artinya Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu Amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba, mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di Sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui’(Q.S. Al-A’raf : 187)

“Artinya: aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersurnpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? bukan demikian, sebenarnya Kami Kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna. bahkan manusia itu hendak membuat maksiat terus menerus. Ia berkata: “Bilakah hari kiamat itu ?“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan apabila bulan telah hilang cahayanya, dan matahari dan bulan dikumpulkan, pada hari itu manusia berkata: “Kemana tempat berlari?” sekali-kali tidak! tidak ada tempat berlindung! hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali. pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri meskipun Dia mengemukakan alasan-alasannya. (Q.S Al-Qiyamah : 1-15)

6. Iman Kepada Qadha dan Qadar

Yang dimaksud dengan beriman kepada Qadha dan Qadar adalah yakin bahwa semua kejadian di dunia merupakan atas kehendak dan takdir Allah SWI Sebagai umat Islam harus percaya bahwa apa yang kita kerjakan hanya sebatas usaha, Allah yang menentukan hasil akhirnya. Kita harus berusaha, berikhtiar, dan kemudian bertawakal kepada Allah yang menentukan segala hal.

Qodha adalah ketetapan Allah dalam alam azali tentang akan terjadi peristiwa pada seluruh alam dan kehancurannya, termasuk juga tentang nasib manusia seperti kelahiran, jodoh, rizki, dan kematian, serta kebahagian atau celaka dalam hidupnya.

Qadar atau takdir adalah sesuatu yang telah terjadi bagi seluruh alam, dan juga yang terjadi pada diri manuasia yaitu berupa kelahiran, jodoh, rizki, dan kematian, serta hidup bahagia atau celaka di dunia.
Allah berfirman:
“Artinya: “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian reiki, yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Q.S Al Baqarah : 3).

(baca juga : Mengenal Rukun Iman Kepada Allah)

Mengenal Rukun Iman Kepada Allah

Rukun iman yang pertama adalah iman kepada Allah. Iman artinya percaya. Iman kepada Allah berarti yakin dan percaya bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Dialah Tuhan Yang Maha Esa, kepada-Nya semua bergantung dan memohon pertolongan. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tiada sesuatu pun yang setara dan dapat menyekutui-Nya.

Iman menurut etimologi berarti percaya, sedangkan menurut termlnologi, berarti membenarkan secara dengan hati, lalu diungkapkan dengan kata-kata, dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Iman kepada Allah SWT berarti meyakininya dengan hati lalu diucapkan dengan lisan, kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.  (baca juga : Rukun Iman)

Hal ini sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :
Artinya: “iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.”(HR Thabrani)

Dalam Al-Quran :
Artinya:
Katakanlah Dia Allah Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
Dan tidak ada searangpun yang setara dengan Dia.
(QS. Al lkhlas:1-4)


Menyakini dan mengimani Allah merupakan rukun iman yang pertama. Pengertian rukun iman adalah suatu perkara yang wajib dikerjakan. Rukun iman artinya wajib bagi setiap muslim untuk mengimani bahwa Allah sebagal rabbal’alamin. Keimanan dan keyakinan kita kepada kita rabbal’alamin tidak boleh goyah.

Hal ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah SWT merupakan hal yang paling pokok dan mendasar bagi keimanan dan seluruh ajaran Islam. Untuk mempertebal keimanan maka seseorang harus mengenal sifat-sifat Allah SWT beserta Asmanya (Asmaul Husna)

Sedangkan fungsi iman dalam kehidupan manusia adalah sebagai pegangan hidup. Orang yang beriman tidak mudah putus asa dan ia akan memiliki akhlak yang mulia karena berpegang kepada petunjuk Allah SWT yang selalu menyuruh berbuat baik.

Fungsi iman kepada Allah SWT akan melahirkan sikap dan kepribadian seperti berikut ini.

1. Menyadari kelebihan dirinya dihadapan Allah Yang Maha Besar sehingga ia tidak mau bersikap dan berlaku sombong atau takabur serta menghina orang lain 

2. Menyadari bahwa segala yang dinikmatinya berasal dari Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sikap ini menyebabkan ia akan menjadi orang yang senantiasa bersyukur kepada Allah SWT. Ia memanfaatkan segala nikmat Allah SWT sesuai dengan petunjuk dan kehendak Nya

3. Menyadari bahwa dirinya pasti akan mati dan dimintai pertanggungjawaban tentang segala amal perbuatan yang dilakukan. Hal ini menyebabkan ia senantiasa berhati-hati dalam menempuh liku-liku kehidupan di dunia yang fana ini.

4. Merasa bahwa segala tindakannya selalu dilihat oleh Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Ia akan berusaha meninggalkan perbuatan yang buruk karena dalam dirinya sudah tertanam rasa malu berbuat salah. Ia menyadari bahwa sekalipun tidak ada orang yang melihatnya namun Allah Maha Melihat.
Firman Allah SWT:
Artinya:” Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabNya, Rasul-raslNya dan hari kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS.An Nisa : 136).

Fungsi iman kepada Allah SWT akan menumbuhkan sikap akhlak mulia pada diri seseorang. Ia akan selalu berkata benar, jujur, tidak sombong dan merasa dirinya lemah dihadapan Allah SWT serta tidak berani melanggar larangannya karena ia mempunyai iman yang kokoh. Oleh karena itu, iman memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, yakni sebagai alat yang paling ampuh untuk membentengi diri dari segala pengaruh dan bujukan yang menyesatkan. Iman juga sebagai pendorong seseorang untuk melakukan segala amal shaleh.

Keesaan Allah

Tauhid atau pengesaan Allah memainkan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Tauhid menjadi pemancar kebaikan di dunia dan keselamatan diakhirat. Kadar keselamatan manusia di akhirat berbanding lurus dengan keyakinan dalam bertauhid. Begitu pula halnya dengan keridhoan Allah di dunia dan di akhirat. Dunia adalah tempat pengujian dan akhirat adalah tempat pembalasan. (baca juga : Arti Dan Makna Tauhid)

Meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Maha Pencipta dan Tuhan Maha Pemelihara alam semesta.
Yang dimaksud beriman kepada Allah dengan meyakini sepenuh hati bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakan manusia,bumi, bulan, bintang, benda-benda langit, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan makhluk lainnya. Pendeknya, seluruh alam semesta dan seluruh isinya merupakan ciptaan Allah SWT.

Dalil Keesaan Allah
Makna tauhid yaitu pengakuan bahwa Allah itu Esa, Maha Satu, Maha Tunggal, dan kita tidak boleh menyekutukan Allah. Hanya kepada Allah kita menyembah dan bergantung. (baca juga : Iman Kepada Allah)
Sebagaimana firman Allah Surat Al-lkhlas ayat 1-4.
Artinya:
Katakanlah: “DiaIah Allah yang Maha Esa
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan,
dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”
(QS. Al lkhlas (112): 4)


Bukti Meyakini Keesaan Allah dalam  Kehidupan Sehari-hari Sikap perilaku dan berfikir positif mengembangkan sikap dan perilaku kemudian berfikir tentang sesuatu secara baik dan benar.

Sikap positif akan membentuk sesorang memiliki perilaku yang positif. Dan prilaku positif adalah cermin dan cara berfikir yang positif. Berfikir secara positif adalah terpancar dan kebesaran jiwa, kebersihan hati dan kepekaan nurani.

Kita sebagai ummat muslim meyakini dengan benar seluruh ciptaan Allah yang ada dimuka bumi dan segala alam isinya merupakan ciptaan Allah, diantaranya:
  1. Kita percaya bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah selain Allah dengan cara kita melaksanakan shalat lima waktu.
  2. Memelihara dan menjaga alam ciptaan Allah dengan cara kita tidak menebangi hutan sembarangan, atau memelihara tumbuhan disekitar halaman rumah kita.
  3. Juga selalu mengamalkan dan berdzikir kepada Allah dengan selalu menyebut namanya disetiap waktu, seperti shalat dan dzikir.
Rangkuman
1. Tauhid artinya, mengetahui atau mengenal bahwa Allah SWT itu tunggal tidak ada sekutunya
2. Bacaan Tauhid “Laa Ilaha Ila Allah”
3. Orang yang menyakini dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul disebut orang Islam (Muslim)
4. Tauhid ada 3 jenis: Tauhid Uluhiyyah, Rububiyah, Shifatiyah
5. Dalil tentang ke Esaan Allah adalah yang tercantum dalam QS. Al-Ikhlas.

Iman Kepada Allah

Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada.(baca juga : Arti Dan Makna Tauhid)

Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dan seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dan keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada din seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari kiamat, serta qadha dan qadarNya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan.

Iman menurut bahasa artinya percaya atau yakin terhadap sesuatu. Iman menurut istilah adalah pengakuan di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan. Hal ini sesuai Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

Artinya: “Iman adalah pengakuan dengan hati pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.”(HR Thabrani)

Iman kepada Allah merupakan suatu keyakinan yang sangat mendasar. Tanpa adanya iman kepada Allah SWT, seorang tidak akan beriman kepada yang lain, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul Allah dan han kiamat.(baca juga : Keesaan Allah)
Firman Allah SWT:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barang siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan han kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS.An-Nisa 136)

Iman kepada Allah sebagal rabbal’alamin adalah bentuk dan tauhid rububiyah. Allah robbul’alamin artinya adalah tuhan pengatur alam semesta. Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Penggantian siang dan malam dibawah kekuasaan Allah. Matahari terbit dari timur dan tenggelam disebelah barat adalah kekuasaan Allah.

Dialah Allah yang menghidupkan semua makhluk yang bernyawa dan Allah pulalah yang mematikannya.

Kepunyaan Allah, semua yang ada dilangit dan di bumi. Segala puji hanya milik Allah, Dialah tuhan pengatur atau pemelihara alam semesta.

Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Fatihah
Artinya:
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2. Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai hari pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.
6. Tunjukanlah kami jalan yang lurus.
7. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan jalan yang di murkai dan bukan pula mereka yang sesat.

Arti Dan Makna Tauhid

Tauhid artinya, mengetahui atau mengenal bahwa Allah SWT itu tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya. (baca juga : Keesaan Allah)

Tauhid merupakan inti dari ajaran Islam. Seseorang yang menyakini dan mengakui keesaan Allah disebut sebagai orang beriman (mukmin).

Bunyi dari kalimat tauhid itu adalah : (Laa ilaaha illallah) Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah.”

Sedangkan orang yang meyakini dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul disebut orang Islam (Muslim)

Keimanan seorang muslim secara lahir hanya dapat diketahui melalui kesaksiannya dengan mengucapkan kalimat tauhid.

Kalimat tuhid mempunyai makna, bahwa tidak ada tuhan yang patut untuk disembah kecuali Allah, dan tidak ada wujud apapun yang kekal kecuali Allah SWT. Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa, Yang Hidup Kekal dan Abadi.(baca juga : Iman Kepada Allah)

Contoh-contoh tentang Tauhid
Allah sebagai pemelihara seluruh alam dan seisinya. Dia yang memelihara bagaimana agar bumi, bulan, matahari, bintang, dan planet di jagat raya ini tidak saling bertabrakan. Matahari yang bersinar sepanjang hari, kemudian tenggelam, tibalah malam hari dengan diterangi bintang dan rembulan.

Demikian pula, Allah menurunkan hujan agar tanah yang tandus menjadi subur. Petani perlu air untuk mengairi sawahnya agar dapat menebar benih padi. Setelah benih tumbuh, kemudian ditanam, berkembang terus akhirnya berbuah smpai akhirnya mmatang dan dapat dipanen. Semua itu membutuhkan air. Dan Allah menurunkan hujan agar petani dapat bercocok tanam.

Inilah salah satu cara Allah dalam memelihara dan menjaga keseimbangan alam. Di belahan dunia tertentu seperti Eropa mengenal empat musim, yaitu gugur, semi, dingin, dan musim panas. Sebaliknya, di bagian bumi lain seperti Negara Indonesia dan Negara Asia lainnya mengenal dua musim yaitu, musim hujan dan musim kemarau.

Bukti tauhid yaitu mempercayai rukun iman
1. Iman kepada Allah SWT
2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah
3. Iman kepada Kitab-kitab Allah
4. man kepada Rasul-rasul Allah SWT
5. Iman kepada Han Akhin/Kiamat
6. Iman kepada Qadha dan Qadar

Nah itulah arti dan makna tauhid, dan untuk lebih dalam mengenal bukti ketauhidan silahkan baca juga penjelasan tentang Rukun Iman.

Monday, 21 September 2015

Apa Hukum Jika Suami Minta “Dilayani” Di Saat Puasa

Tanya : Pada saat saya sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan, suami minta “dilayani’ Sesuai dengan anjuran suami, sebelum melayaninya saya berbuka dulu. Pertanyaan saya, dengan berbuka itu apakah saya masih berkewajiban kafarat? Dan ketentuan membayar kafarat itu bagaimana?

Jawab : Terlepas dan permasalahan berbuka puasa dahulu atau tidak, secara umum kewajiban membayar kafarat berkenaan dengan kasus yang saudari tanyakan, sebenarnya hanya berlaku pada pihak suami, bukan pihak istri atau objek lain yang disetubuhi (al-maf’ul biha). (baca juga : hukum puasa dalam keadaan junub)

Selanjutnya, jika ada rekayasa seperti yang saudari gambarkan semestinya hal tersebut tidak berpengaruh pada istri lebih-lebih pada suami.

Dengan kata lain, suami masih tetap berkewajiban membayar kafarat, denda, meski istri sudah membatalkan puasa sebelum senggama dilakukan.

Namun demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku bila suami tidak berbuka puasa terlebih dahulu. Karena ketika suami melakukan tindakan sejenis yang dilakukan oleh istri (berbuka puasa), berarti secara syariat dia terlepas dan tuntutan pembayaran kafarat.

Hanya saja, terdapat satu kewajiban lain yang memang tidak bisa ditawar lagi, yaitu meng-qadha jumlah hitungan puasa yang batal tersebut.(baca juga : puasa bagi pengantin baru)

Sebenarnya cara itu bukanlah sebuah alternatif yang kemudian praktis terlepas dari semua tuntutan dan celaah syariat, karena secara esensial terhadap kasus sejenis itu, suami maupun istri telah melanggar perintah Allah, melakukan tindakan yang tidak mendapatkan tempat terhormat di sisi Sang Pencipta (durhaka atas perintah Allah).

Adapun mengenai kewajiban membayar kafarat sehubungan dengan permasalahan itu, dalam kitab Kasyifatu As-saja diterangkan lebih rinci dan mendetail, lengkap dengan berbagai ketentuan-ketentuannya.

Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, persetubuhan dilakukan dalam kondisi sadar dan memang atas kehendak sendiri, tidak terdapat unsur paksaan yang jika tidak dipenuhi paling tidak akan mengancam keselamatan fisik, dan atau apa saja yang menjadi hak dan tanggungjawabnya.

Selain itu persetubuhan tersebut merupakan bagian dari jenis-jenis yang membatalkan puasa bagi suami (tidak berstatus musafir atau pihak-pihak lain yang mendapatkan dispensasi). Selanjutnya bentuk persetubuhan yang menuntut adanya kewajiban membayar kafarat, juga dipersyaratkan tidak terdapat faktor lain, yaitu akibat terjadinya syubhat (ketidak jelasan) dalam hal waktunya.

Dalam arti, seseorang benar-benar yakin bahwa persetubuhan tersebut dilakukan di dalam waktu wajib imsak (waktu untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasa). Yakni, rentang waktu yang membentang antara terbit fajar hingga terbenam matahari.

Ketentuan tersebut juga melahirkan pengertian lain; ketika seseorang melakukan persetubuhan, sernentara ia merniliki dugaan kuat bahwa waktu tersebut belum melewati terbit fajar (batas awal melakukan puasa), atau berprasangka bahwa matahari telah terbenam (batas akhir puasa), maka kewajihan membayar kafarat menjadi gugur.

Ketentuan membayar kafarat tersebut secara global berlaku tidak mengenal diferensiasi ketika persetubuhan itu dilakukan melalui jalan yang wajar (lewat alat kelamin), terhadap jenis hewan atau dilakukan terhadap orang yang telah meninggal dunia sekalipun

Selanjutnya, bentuk kafarat yang dimaksudkan dalam kasus tersebut, sebagaimana statemen tertulis Zakariya Al-Anshari dalam kitab Matan Tahrir, secara sederhana dapat dilaksanakan berdasarkan tiga macam alternatif, yang masing-masing dapat menjadi pengganti kedudukan lainnya secara berututan jika memang alternatif yang ditetapkan sebelumnya tidak ditemukan.

Pertama, membebaskan budak wanita yang beragama Islam, dan terlepas dari segala bentuk cacat yang paling tidak dapat mengganggu aktivitas kerjanya. Kedua, berpuasa dua bulan secara beruntun. Dan yang terakhir, memberi makan terhadap 60 orang miskin, yang setiap orang, masing-masing diberi satu mud (kurang lebih 6 ons) dari makanan pokok yang herlaku pada daerah setempat.

Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Apa Hukum Istri Menyuruh Suami Ke Lokalisasi ?

Tanya : Seorang istri menolak melayani suaminya, bahkan menyuruh suaminya pergi ke lokalisasi guna menyalurkan kebutuhan biologisnya, seraya mengatakan dialah yang akan menanggung dosanya. Apakah tindakan itu dapat dibenarkan?

Jawab : Manusia selama hidupnya tidak bisa lepas dari hak dan kewajiban. Manusia memiliki hak dan kewajiban, karena dia mempunyai apa yang oleh ulama ushul fikth (metodologi fikih) disebut ahhyah, yang berarti terdiri atas ahliyah al-wujub dan ahliyah al-ada.

Adapun yang pertama, menjadikannya layak dan pantas mendapatkan hak dan terbebani hak. Kedua, memungkinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang darinya lahir hak-hak dan kewajiban baru, sekaligus menjadikan ibadah dan muamalahnya dianggap sah menurut ukuran syara serta dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Hak dan kewajiban senantiasa mengalami perkembangan dan perluasan, seiring dengan bertambahnya usia sebagai tolak ukur sederhana bagi perkembangan intelektualitas manusia dan perubahan status sosial yang disandangnya.

Hak dan kewajiban anak kecil tentu berbeda dari orang dewasa. Ukuran-ukuran kepatuhan dan standar moral keduanya pun tidak sama. Demikian pula jejaka dan gadis, hak dan kewajibannya ketika masih berstatus legan (belum kawin) akan mengalami perubahan dan perluasan, ketika keduanya mengikatkan diri dalam tali perkawinan, yang herarti pula menyandang status baru sebagai suamii-istri.

Dengan kata lain, perkawinan melahirkan hak dan kewajib yang semula tidak dimiliki keduanya. Hak dan kewajiban itu bagai dua sisi mata uang. Hak yang kita miliki adalah kewajiban orang lain. Sebaliknya, kewajiban yang dibebankan kepada kita, pada dasarnya adalah hak orang lain. 

Karena itu dengan melaksanakan kewajiban, secara tidak langsung kita telah memenuhi hak orang yang memilikinya. Begitu juga suami istri, hak yang satu adalah kewajiban yang lain, dan sebaliknya.

Mengingat kebahagiaan rumah tangga dan keluarga itu berkaitan erat dengan sejauh mana masing-masing memenuhi hak dan kewajiban secara seimbang, ikhlas, dan bertanggungjawab, maka pemahaman dan pengertian hak dan kewajiban tersebut adalah penting sebagai langkah awal ke arah pengalaman.

Salah satu hak istri yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan nafkah, yang meliputi aspek sandang, pangan, dan papan, yang kualitas dan kuantitasnya disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan yang berlaku.

Kelayakan dan kepatuhan dalam masalah nafkah, berpijak pada kriteria al-ma’ruf dan istishad atau i’tidal (baik atau bagus dan pertengahan).

Suami terbebani mencari nafkah, karena potensi fisiknya serta kelebihan-kelebihan lain yang membuatnya lebih mampu mengerjakan tugas tersebut. Kewajiban itu diimbangi dengan kewajiban taat pada istrinya atas masalah yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Manusia dibekali oleh Allah nafsu biologis dan organ-organ untuk berkembang biak. Karena itu Ibnu Al-Qayyim berpendapat, tujuan pernikahan adalah memperoleh keturunan, mengeluarkan cairan yang bila ditahan bisa berdampak negatif untuk badan, dan mendapatkan kenikmatan.

Seperti dimaklumi, ketiganya tidak lepas dari masalah istimta’ (pemenuhan kebutuhan biologis). Tersalurnya kebutuhan s*ksual lebih memungkinkan seseorang membebaskan diri dari perzinaan.


Jika memang demikian kenyataannya, pertanyaan yang layak dikedepankan adalah, bagaimana kedudukan istimta’ dalam hubungan suami istri itu?

Jawaban dan pertanyaan tersebut, akan mengantarkan kita pada permasalahan benar-tidaknya penolakan istri melayani suaminya.

Para ulama sepakat bahwa dengan adanya pernikahan, istri halal untuk suaminya, dan suaminya halal untuk istrinya. Mereka juga sepakat, istri berkewajiban menuruti ajakan suaminya sewaktu-waktu dia menghendaki, kecuali jika ada faktor berupa haid atau nifas, dan lain-lain, karena istimta’ menjadi hak suami.

Dalam hal itu mereka berangkat dari sebuah hadis sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: “Jika ada salah satu dari kalian mengajak istrinya bersetubuh lantas menolak, dan karenanya dia memarahinya malam itu, maka malaikat melaknati istrinya hingga fajar tiba.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

Pelayanan itu sebenarnya ketaatan yang diwajibkan atas istri kepada suaminya. Karenanya, penolakan istri atas ajakan suaminya tidak bisa dibenarkan. Apalagi menyuruh suami ke lokalisasi.

Istri yang ideal sebaiknya memotifasi dan membantu suami mencapai kesempurnaan iman dan takwa. Dengan dalih bahwa dia akan menanggung dosanya juga salah besar. Sebab, manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatan masing-masing. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, 286, Allah berfirman:
Artinya: “Baginya (pahala) kebajikan yang diusahakannya dan atasnya (dosa) kejahatan yang diperbuatnya.“(QS. Al-Baqarah: 286)

Kalau istimta‘ adalah hak suami, apakah itu juga merupakan kewajiban atasnya yang harus dipenuhi sebagai hak istrinya ?

Para ulama berpendapat, suami tidak wajib menyetubuhi istrinya. Sebagai hak, dia boleh melakukan dan meninggalkan. Toh demikian, seperti termaktub dalam Ensikiopedi Fiqh, Mausu’ A1-Fiqh Al-Islami, ulama Madzhab Syafi’i yang menganggap istilah semata-mata hak suami mengatakan, hal itu sunah bagi suami yang tidak memenuhi kebutuhan biologis istrinya ketika membutuhkan.

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika sahabat Abdullah Ibnu Al-’Ash ditanya Rasulullah: “Apakah kamu berpuasa pada siang hari?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Lalu ditanya lagi, ‘Apakah kamu melakukan ibadah malam hari?’ Dia juga mengiyakan. Selanjutnya beliau bersabda:


Artinya : “Tetapi saya berpuasa dan berbuka, melakukan shalat, tidur, dan menggauli istri, maka barangsiapa tidak senang pada sunahku, dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di sampmg itu, tidak terpenuhinya kebutuhan biologis bisa berdampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga, serta tidak baik secara mental dan psikologis. Sementara ulama cenderung berpendapat, hal tersebut merupakan salah satu hak istri dan kewajiban suami. ini merupakan pendapat golongan Madzhab Dzahiriyah, sesuai dengan metodenya dalam memahami teks-teks Al-Quran dan hadis menurut arti lahirnya. Mereka mendasarkan pendapat tersebut kepada firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 222:
Artinya: “Apabila mereka bersuci (mandi) bersetubuhlah kamu dengan mereka, sebagaimana Allah telah menyuruhmu.” (QS. A1-Baqarah: 222)

Di sini ada perintah bersetubuh. Dan perintah itu pengertian lahirnya menunjukkan kewajiban, atau menurut bahasa ushuliyin, al-amr haqqatan 1i al-wujub. Berdasarkan ayat itu pula mereka berkesimpulan minimal dalam masa suci (bebas haid) satu kali menyetubuhi istrinya.

Sebagian ulama ada yang mengaitkan kewajiban menyetubuhi istri dengan ayat 19 dan surat An-Nisa, yaitu firman Allah:
Artinya: “Bergaullah dengan mereka (istrimu) dengan cara yang baik.“ (QS. An-Nisa’: 19)

Pemenuhan kebutuhan biologis sang istri adalah satu dari bentuk ber-mu’asyarah (bergaul) dengan mereka secara baik.

Kewajiban itu bisa dianggap sebagai nafkah batin (nafaqah bathiniyah), dan menurutnya tidak kalah penting dibandingkan dengan nafkah dalam bentuk materi (nafaqah maaliyah).

Semua itu menunjukkan dalam masalah pemenuhan kebutuhan biologis sekalipun Islam memberikan perhatian. Meski tanpa aturan dalam bentuk hak dan kewajihan, manusia secara naluriah akan melakukannya. Ditambah lagi nilai ibadah yang dikandungnya.

Bukankah Rasulullah pernah bersabda, Hadis diriwayatkan dari sahabat Abi Dzar dan termaktub dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah. Hadis itu menjelaskan bahwa “menyetubuhi istri itu pahalanya seperti pahala sedekah”.


Sumber :
Buku Dialog Dengan Kiyai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat)

Tabir Wanita